Tentang sengketa politik ini menarik dikemukakan catatan kaki; (footnotes) dari' Oppenheims Lauterpacht bahwa sengketa politik apabila dipengaruhi oleh tiga kategori persengketaan yaitu:
- It may be based on the view that some disputes or political or, non-justiciable because owing to the defective development of International Law they can not be decided by existing rules of law;
- It may be grounded in the opinion that certa in disputes are “political” inasmuch as they affect so vitally the independence and sovereignity of States as to render unsuitable a decision based exclusively on legal considerations,
- It may have reference to the attitude of the partly putting forward a claim or a defence
Dengan demikian kiranya semua unsur yang tidak termasuk dalam kategori penyelesaian hukum dianggap sebagai sengketa politik. Dalam sengketa mengenai status kedaulatan negara kadang-kadang secara “politis” negara-negara yang bersengketa menempuh penyelesaian sendiri secara sepihak sebagai alasan untuk keutuhan wilayah dan kemanan nasionalnya. Oleh patokan Oppenheims-Lauterpacht inilah yang dijadikan acuan sarjana-sarjana berikutnya yang pada umumnya menganggap bahwa sengketa dengan jalan kekerasan adalah sengketa politik. Kekerasan tentunya dilakukan secara sepihak atau bersama-sama negara seide tanpa melibatkan negara lain sebagai lawan sengketa. Penyelesaian sengketa dengan cara-cara militer sepihak dianggap jalan “politik” bukan hukum. Yang menarik lainnya dalam analisa Oppenheims Lauterpacht adalah apa yang ditulisnya tentang “a claim for a change in the law are disputes as to ‘conflicts of interest, and as such political and non-justiable.” Dengan demikian suatu tuntutan yang tadinya dalam kategori sengketa hukum dapat berubah menjadi ‘konflik berdasarkan keinginan sendiri' dan dengan demikian terjerumus menjadi sengketa politik. Sebagai contoh kasus Teluk Sidra di Laut Tengah (Mediteranean) yang sebetulnya merupakan kasus hukum tetapi berubah menjadi sengketa politik (conflict of in terest) karena masing-masing pihak, baik Lybia maupun Amerika Serikat ingin menyelesaikan dengan caranya sendiri-sendiri. Kadang-kadang suatu konsepsi hukum hanya dijadikan sebagai dalih untuk kepentingan politik apabila masing-masing negara teIah terjerumus ke dalam suatu konflik. Amerika Serikat misalnya hanya menjadikan pasal 10 ayat 4 dan 5 Konvensi Hukum Laut sebagai dalih untuk menyerang Lybia dalam kasus Teluk Sidra. Dengan demikian perubahan solusi dari hukum ke politik sangat berpengaruh dalam suatu. sengketa.
Di Laut Cina pengaruh perubahan solusi semacam itu sangat potensial. Pengamatan-pengamatan para ahli memperhadapkan kita pada penganalisaan yang sama membingungkannya. Konteks penyelesaian hukum dalam praktek lebih nihil dibanding penyelesaian politik. Realitas politik, dalam penyelesaian sengketa di kawasan tampak lebih dominan. Seperti telah dikemukakan dalam bab pendahuIuan bahwa di Laut Cina selain masalah sengketa yurisdiksi negara-negara telah diperparah juga dengan perbedaan Ideologi politik dari negara yang saling bersengeta. Persengetaan dengan dasar ideologi mempengaruhi seputar kawasan yang membentang dari Selat Proliv-Semenanjung Kamchatca di Utara Timur Laut sampai ke kizaran Kepulauan Spratly di Laut Cina Selatan. Seperti telah diketahui bahwa ideologi yang saling berhadap-hadapan di sepanjang kawasan Laut Cina adalah dasar ideology sosialis-komunisme dan kapitalis-liberalisme. Persilangan dasar ideologi ini banyak berpengaruh terhadap keseluruhan implikasi perimbangan politik di kawasan Asia-Pasifik.
Yang menarik terhadap studi sengketa politik di Laut Cina ini adalah terdapatnya persilangan sengketa dasar ideologi politik ini pada sepanjang garis pantai sehingga seorang ahli politik Amerika Serikat George F. Kennan mengeluarkan teorinya yang terkenal yang disebut “Rimland Theory” (teori daerah pinggiran). Teori ini mengemukakan bahwa pengaruh-pengaruh politik dasar pantai di Laut Cina (coastline political influences) sangat bergantung dari dua sisi yang sama berat. Sisi satunya yaitu pendekatan posisi daratan. (Mainland position approach) dimana akar tunggang komunisme bertumbuh. Dengan demikian dalam posisi daratan ini terdapat negara-negara Uni Soviet yang bergaris pantai di Laut Jepang; Korea Utara yang bergaris pantai di Laut Jepang dan Laut Kuning; Republik Rakyat Cina yang bergaris pantai dari Laut Kuning, Laut Cina Timur sampai di Laut Cina Selatan; Vietnam yang bergaris pantai dari Teluk Tonkin di Laut Cina Selatan hingga Teluk Taiwan. Negara-negara yang menduduki posisi daratan ini semuanya menganut faham sosialis-komunisme. Sedangkan sisi yang satunya lagi yaitu pendekatan dalam posisi kepulauan (archipelago position approack) dimana akar kapitalis-liberalisme bertumbuh. Dalam posisi kepulauan ini, terdapat negara-negara Kepulauan Jepang di sisi. Timur Laut Jepang dan Laut Cina, Timur; Republik Cina Taiwan di Pulau Formosa di Laut Cina Timur; Negara Kepulauan Hongkong dan Macao di Laut Cina Timur. Kepulauan Pilipina di sisi Timur Laut Cina Selatan dan Malaysia Timur (Serawak) serta Brunei disisi Timur Laut Cina Selatan. Negara-negara kepulauan ini menganut paham non-komunis.
Rimland Theory inilah yang dijadikan landasan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Foster Dalles. (dimasa pemerintahan Presiden Eisenhower) tahun 1952, melakukan politik pengepungan komunisme yang terkenal dengan sebutan Containment Policy. Politik ini berusaha membendung pengaruh-pengaruh komunis meluas ke wilayah kepulauan di sepanjang Pasifik. Politik pembendungan ini ditancapkan dari Laut Jepang membentang sampai di Laut Cina Selatan. Akibat adanya pagar pembendungan politik ini tidak ayal lagi menimbulkan banyaknya insiden politik dan militer di kawasan. Provokasi yang dilakukan secara sporadis dan terus-menerus dari satuan-satuan angkatan laut dan udara Uni Soviet memasuki wilayah perairan dan udara Jepang di sepanjang Laut Jepang. Klaim Uni Soviet atas ketiga selat yang masuk kedalan perairan Jepang yaitu Selat Soya (yang menghubungkan antara Pulau Hokaido dan Kepulauan Kuril di Utara); Selat Tsugaru (yang menghubungkan antara Pulau Honsu dan Pulau Hokaido) dan Selat Tsushima (yang menghubungkan antara Pulau Tsushima yang diklaim Korea Selatan dan Pulau Shikoku) yang menganggap ketiga selat itu adalah selat internasional. Klaim Uni Sovet itu merupakan alasan politik karena hanya pada ketiga selat itulah kapal-kapal selamnya (yang bertenaga nuklir) bisa Iewat memasuki Samudra Pasifik. Akibat lain dari containment policy ini adalah meletusnya Perang Vietnam tahun 1967 sampai dengan kekalahan Vietnam Selatan tahun 1974. Perang Vietnam ini dapat dipandang sebagai insiden politik dan militer yang paling berdarah dan paling bersejarah di Asia Pasifik dan Timur Jauh.
Yang cukup menarik adalah terjadinya alur (trend) negara-negara komunisme di daratan Laut Cina dalam paskah Perang Vietnam. Terjadi konflik Sino-Soviet dan Sino-Vietnam. Perubahan alur ini membuat Amerika Serikat mendekati Cina apalagi dengan dibubarkannya Partai Komunis Indonesia yang dianggap ancaman potensil dari strategi Amerika Serikat di Asia Tenggara. Cina mererima baik uluran tangan Amerika Serikat dan di sepakatilah suatu perjanjian hubungan baik antara Cina dan Amerika Serikat yang disebut Shanghai-Communique (Komunike Shanghai) tahun 1972. Isi dari Komunike Shanghai itu berbunyi:
Kedua negara berhasrat mengurangi bahaya konflik militer internasional;
Tidak satupun diantara mereka ( baik Cina maupun Amerika Serikat) akan mengusahakan hegemoni di Kawasan Asia Pasifik atau di sesuatu kawasan lain di dunia dan masing-masing pihak menentang usaha-usaha oleh sesuatu negara lain atau kelompok negara lain untuk membangun hegemoni semacam itu;
Tidak satupun diantara mereka bersedia berunding atas nama sesuatu pihak ketiga, atau masuk kedalam persetujuan-persetujuan atau saling pengertian dengan lainnya yang ditujukan kepada negara lain;
Amerika Serikat mengakui posisi Cina bahwa hanya ada satu Cina dan Taiwan adalah bagian dari Cina;
Kedua belah pihak percaya bahwa pemulihan hubungan Cina-Amerika Serikat bukan saja demi kepentingan rakyat-rakyat Cina dan Amerika, akan tetapi juga memberikan sumbangan bagi usaha menciptakan perdamaian di Asia dan di dunia.
Walaupun telah disepakati Komunike Shanghai ini masih ada ganjalan dalam hubungan kedua negara yaitu mengenai Status Taiwan (pasal 4 dari Komunike). Apalagi dalam Komunike Bersama (Joint Communique) antara Amerika Serikat dan Cina pada Agustus 1982 disepakati tiga pasal mengenai Status Taiwan yaitu:
There is but one China, and Taiwan is part of China;
The Chinese on both sides of the Taiwan Strait should resolve their dispute peacefully;
U.S. sales of militery equipment to the government on Taiwan should be for defensive purposes only, and should be reduced as the threat of the use of force to resolve the conflict recerdes.
Melihat kedua komunike di atas maka terdapat ganjalan yang sangat mendasar dari hubungan kedua negara yaitu masalah status Taiwan. Sampai hari ini Amerika Serikat masih segan melepas Taiwan sementara Cina terus-menerus menuntut agar Taiwan diserahkan pada Cina.
Akibat lain dari Komunike Shanghai ialah semakin memburuknya hubungan Cina dengan Vietnam. Seringnya terjadi konflik perbatasan antara kedua negara terutana serangan pasukan-pasukan Cina kedalam wilayah Vietnam pada 17 Pebruari 1979. Insiden-insiden berdarah antara Cina dan Vietnam sebetulnya telah ada ketika Cina melancarkan penyerbuan ke Pulau Hainan di Teluk Tonkin dan melakukan okupasi di pulau itu pada Juli 1974, penyerbuan itu kemudian dilancarkan sampai ke Kepulauan Paracel dan menduduki gugus kepulauan tersebut. Selain dari itu pula semakin memanasnya insiden-insiden perbatasan antara Korea Utara dan Korea Selatan, tidak saja insiden-insiden di daratan, tetapi juga di laut yaitu Laut Kuning dan Laut Jepang.
Berdasarkan beberapa pemikiran di atas merupakan akumulasi untuk memasuki sengketa Laut Cina seperti telah dikemukakan di atas maka sengketa Laut Cina merupakan sengketa yang seringkali status hukumnya tidak jelas, disamping itu pengaruh solusi politik yang demikian besarnya. Beberapa wilayah yang sering menimbulkan kerawanan dan mengancam perdamaian serta keselamatan ummat manusia. Bukan saja masalah tuntutan wilayah kedaulatan yang berpengaruh besar atau merupakan faktor dominan dalam sengketa tetapi lebih dari itu faktor ideologi yang berbeda yang seringkali menimbulkan kesenjangan dalam penyelesaian sengketa di Laut Cina.
0 komentar:
Posting Komentar