Jumat, 24 Februari 2012

Perang Makassar (Studi Modern Awal Kebiasaan dalam Hukum Perang)

0

Assalamu alaikum Wr. Wb
Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua
Yang Terhormat
Ketua dan Anggota Dewan Penyantun Universtas Hasanauddin
Ketua, Sekretaris dan Anggota Dewa Guru Besar Universitas Hasanuddin
Para Ketua Lembaga Universitas Hasanuddin
Para Dosen, Karyawan, dan Mahasiswa
Para Undangan dan Hadirin yang Saya Muliakan

Sebelum memulai Pidato pengukuhan ini izinkanlah saya memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala berkat, karunia dan pengasihanNya, sehingga hari ini dapat saya melaksanakan orasi ilmiah dalam rangka pengukuhan jabatan guru besar tetap dalam bidang hukum internasional pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Kewajiban melaksanakan orasi ini, merupakan suatu kehormatan dan sangat saya nantikan sebagai seorang tenaga pengajar yang ingin dikenang sebagai guru yang baik. Kesempatan yang indah ini ingin saya manfaatkan untuk menyampaikan pandangan saya mengenai Hukum Inernasional Perang Makassar (Studi Hukum Modern Perang Di India Timur).

Para hadirin yang saya muliakan
Dari segi hukum internasional setidak-tidaknya ada dua hal yang membawa pengaruh besar terhadap Perang Makassar (1660-1670) yaitu pengaruh dari Perjanjian Westhpalia 1648 dan yang kedua adalah pengaruh dari perkembagan doktrin Hugo Grotius Eropa. Dua peristiwa ini membawa pengaruh atas Bangsa-bangsa Eropa pada abad pertengahan. Perjanjian Westhapalia merupakan perjanjian yang mengakhiri perang tiga puluh tahun yang sudah berlangsung di Eropa dari Tahun 1618 sampai Tahun 1648 yang merupakan perang dalam bentuk perseteruan agama, Katolik dan Protestan. Hampir semua negara terlibat dalam perang tiga puluh tahun tersebut. Salah satu klusula dalam deklarasi Osnanbruck Swedia dalam perjanjian Westhpalia tersebuat adalah diakuinya eksistensi protestanisme dalam tradisi kristen yang sudah banyak dianut di Jerman, Nederland, Inggris, Perancis dan sebagainya. Sementara itu dalam deklarasi tersebut dikemukakan bahwa negara-negara Eropa di manapun mereka membawa koloninya tidak boleh berperang maka akan menerima sanksi berdasarkan perjanjian Westhpalia (Katolik dan Protestan) harus saling menghormati dimanapun mereka berada, di daerah-daerah koloni mereka sekalipun.
Isi perjanjian ini kemudian membawa pengaruh sampai ke daerah-daerah koloni Eropa di Timur. Situasi rekonsialisi Eropa di Timur. Situasi rekonsialiasi oleh akibat langsung Westhpalia membawa kepada pembagian wilayah-wilayah koloni jajahan. Timur misalnya dalam satu perjanjian di Heidebart, India, dibagi menjadi dua bagian yaitu India Barat (West India) dan India Timur (East India). Perjanjian Heidebart ini bukanlah perjanjian India sesudah Perang Dunia II yang sudah membagi India Barat dan India Timur yang kemudian menjadi Pakistan, tetapi perjanjian pembagian koloni jajahan antara Inggris dan Nederland dimana Inggris mendapatkan India Barat yang terdiri wilayah-wilayah seluruh India sebelum terpecah (India, Paksitan, Bangladesh, Kolombo) dan lain sebaginya sedangkan Nederland mendapatkan wilayah koloni di India Timur (East India) yang terdiri seluruh wilayah Indonesia sekarang. Pada jamannya Nederland memberinya nama dengan Oost Indies.
Dengan latar belakang perjanjian Westhpalia dan perjanjian Heidebart inilah Nederland berusaha semakin merapatkan monopoli keuasaannya atas seluruh wilayah India Timur atau Oost Indies. Portugis yang sudah lama rajin menjalin hubungan raja-raja di Timur Oost Indies seperti Maluku, Sulawesi dan Timor tentu saja tidak ingin megakui deklarasi Heidebart itu karena memang Portugis tidak disertakan. Malahan menganggapa sebagai persekongkolan antara inggris dan nederland. Portugis memperotes isi deklarasi itu, tetapi faktor inggris ini unik, karena meras diikiat oleh deklarasi heiderabat dia hanya bisa berdagang di Oost indies sambil berusaha mencipatkan ondisi politis bersama kawan-kawan eropanya yang lain. Bahw ayang masuk dalam kategori oost indie hanyalah java dan andalas, sedangkan seluruh wilayah timur Oost indies tidak tergolng sebagai wilayah Oost indies. Khususnya suatu kerajaan besar dan makmur dan sudah menanamkan imperium di sekuruh wilayah timur yaitu kerajaan Gowa
Jauh sebelum kedua perjanjian ini (Westhpalia dan Heiderabart) dideklarasikan, kerajaan gowa sudah muncul menjadi suatu kerajaan maritim besar dan merupakan bandar niaga maritim besar. Inggris sudah lama mejalin hubungan dgang dengan kerajaan ini. Lebih dari itu inggris menganggap bahwa kerajaan gowa ini tidak termasuk dalam klausul perjanjian Heiderabat.

Hadirin yang saya muliakan,
Sekalipun perjanjian heidebart telah ada dan mengikat anatara belanda dan inggris tetapi tidak mengurangi persaingan keduanya sebagai negara penaluk dan berkekuatan besar di lautan. Mereka bahkan seringkali bererang di lautan dan yang terbesar diantaranya perang cape hope bay, afrik bagian selatan (1652-1654) dan perang selat Hindi (1664-1667). Perang yang terakhir inilah yang berimbas langsung terhadap perang makassar karena salah seorang admiral belanda yang memawa kemenagan dalam perang selat hindi beranama admiral Cornelius Jancoon Speelman ditarik dari India ke Batavia untuk penaklukan Gowa yang banyak dibantu oleh Inggris dan Perancis bersama beberepa negara Eropa lainnya.
Dalam pada itu segi-segi hukum perang tidak banyak diungkapkan sebagai implikasi dari Perang Makassar padahal perang yang berlangsung selama 10 Tahun (1660-1670) ini merupakan perang yang terbesar di Asia tenggara (East Indie).
Perang Makassar tidak banyak dimunculkan implikasi kemanusiaannya dalam tulisan para ahli, padahal untuk studi hukum hukum perang termasuk hukum perang hal ini sangat penting. Skepstisisme sesungguhnya muncul mengapa tulisan para ahli, khususnya ahli-ahli Belanda tidak mengungkapkan hal-hal ini. Apakah sengaja disembunyikan untuk suatu justifikasi menyesatkan bahwa lawan Belanda dalam perang Makassar bukan negara yang beradab dan punya pemerintahan yang mendapatkan pengakuan internasonal melainkan Perompak dan Bajak laut ? menangkal justifikasi itu tidak bisa dengan pemikiran temparamen yang sempit tetapi harus dibongkar melalui penelitian-penelitian ilmiah dengan argumentasi hukum kenegaraan dan hukum internasional yang kuat. Apakah kerajaan Gowa memang merupakan kerajaan Perompak, kerajaan bajak laut seperti yang dituding oleh kompeni VOC dalam banyak tulisan ? apakah kompeni VOC satu-satunya negara yang beradab dengan tradisi kristen protestan yang penuh di India Timur abad ke 17 ? apakah kerajaan Gowa yang dianggap bajak laut pembunuh dengan tradisi agama Islam suku Makassar biadab, tanpa etika kenegaraan sopan santun dan tata krama dalam perang ?

Hadirin yang saya muliakan,
Perang Makassar
Perhatian yang kompherensif terhadap hukum perang berdasarkan penelusuran relatif masih kurang. Perang Makassar (Makassar War) eksistensinya diakui oleh para sarjana (Andaya, Reid, Mattulada, Staffel, Zainal Abidin Farid, Valentijn, Pelras, Noorduyn, Edward Pollinggomang, Kern, Mangemba, Patunru, Sagimun) agak sayang sedikit sekali terungkapkan soal-soal hukum perang tentang perang Makassar. Padahal melakukan studi tentang perang tidak bisa lepas kaitannya dengan implikasi-implikasi humaniter. Barangkali inilah beban yang sedikit berat yang akan dialami para Penulis ini mengingat karena kurangnya data-data. Adalah sukar melakukan rekonstruksi sejarah hukum (khususnya hukum internasional) dengan data-data yang sedikit. Padahal untuk melakukan studi tentang perang diperlukan materi dan kasus-kasus sejarah secara umum yang jelas. Sebagai contoh beberapa kasus yang ditulis secara sambil lalu oleh para sarjana: kasus perbudakan mengenai penggalian Kanal Tallok, kasus pembantaian (holocoust) di Pulau Banda. Kasus pembantaian tawanan (trial sacrifice) di Pulau Liwoto, Selat Buton, kasus pembumihangusan di Benteng Somba Opu 1669, kasus pembumihangusan Benteng Tosora 1670. Kasus-kasus ini ditulis dalam berbagai refrensi tetapi cenderung dilakukan hanya sambil lalu serta tidak sistematis dan kompherensif. Begitu pula tentang data-data kuantitatif yang saling berbeda satu sama lain. Data korban tentang pembantaian tawanan di Pulau Liwoto (sekarang pulau Makassar), sebuah pulau yang terletak kurang lebih satu mil di luar Kota Bau-bau saling berbeda antara Matulada dan Andaya. Dalam bukunya Menelusuri Jejak Sejarah Kebudayaan Sulawesi Selatan, Mattulada mematok jumlah korban pembantaian di pulau kecil itu sebanyak 9000 orang. Sedangkan dalam bukunya Andaya, the Herritage of Arung Palakka, dituliskan dengan jumlah 5000 orang korban. Jumlah mungkin tidak penting, tetapi untuk keperluan penelitian diperlukan data-data eksistensial yang akurat.
Masih sehubungan dengan hal diatas beberapa sumber pada tingkat observasi ditemukan beberapa tempat yang memiliki nama yang sama yaitu; Kanre Apia (Makassar) atau Kanre Api (bugis) atau Kande Api (Mandar) merupakan nama-nama yang berhubungan implikasi hukum perang Makassar. Kanre Apia yang terdapat di Desa Lembanna, kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa memiliki karakter peristiwa yang sama dengan Kande Api di Kabupaten Majene serta Kandre Api di Kabupaten maros. Kanre Api artinya pembakaran kampung atau tempat atau logistik merupakan tindakan pembumihangusan yang dilakukan oleh pasukan Arung Palakka dalam rangka blokade atau meruntuhkan tentang Gowa agar tidak lagi melakukan perlawanan. Tradisi pembakaran kampung kadang-kadang disertai dengan pembakaran hidup-hidup orang yang masih loyal terhadap musuh merupakan hukum alam yang berlaku dalam perang.

Hadirin yang saya muliakan
Selain tradisi Kanre Apia (pembumihangusan) maka terdapat tradisi perang lain dalam peperanga klasik di abad ke 17 yaitu tradisi pemenggalan kepala bagi pemimpin tentara (Lasykar). Tradisi ini dikenal selama berlangsungnya perang Makassar sebagai Tunibatta (Makassar), Todipolong (Mandar), Todigerek (bugis). Banyak pemimpin perang kedua bela pihak mengalami eksekusi seperti ini dan hal ini nampaknya sudah menjadi hukum kebiasaan dalam perang. Sama dengan tradisi Kanre Apia, dalam tradisi Tunibatta adalah merupakan salah satu bentuk untuk meruntuhkan moral tentara yang dipimpinnya. Malahan seringkali kepala pemimpin perang yang dikenal kharismatik diambil sebagai hadiah buat raja untuk mendapatkan pengakuan bahwa sang pemimpin sudah dikalahkan dalam perang.
Sesungguhnya tradisi Kanre Apia Dan Tunibatta pada abad ke 17 sudah berlaku sebagai hukum kebiasaan internasional. Tradisi hukum perang klasik seperti itu berlaku universal tidak saja terjadi pada perang Makassar. Dalam rangkaian peperangan pada masa Imperium Roma (Roman Empire) tradisi hukum perang ini telah terjadi. Hal ini agaknya sudah menjadi legalitas umum dalam rangkaian peperangan dimasa imperium Roma. Pernyataan kekalahan dalam perang senantiasa disertai dengan tindakan perlambang kekuasaan bagi pemenang perang, apakah dengan cara pembakaran kota atau wilayah yang dikalahkan dalam peperangan, ataukah dengan cara memenggal kepala panglima perang untuk diserhakan kepada Kaisar (dalam catatan Cicero, 1954: 4-5).
Kelihatannya legalitas penghukuman seperti ini memang kejam tetapi tentu saja pada masa itu belum ada hukum-hukum perang yang lebih manusiawi apalagi dengan Konvensi Internasional tentang perang, seperti Konvensi Jenewa 1940. Prinsip-prinsip hukum perang yang berlaku adalah prinsip-prinsip perang yang adil. Dalam Estimasi Cicero (1954: 7) yang dimaksudkan dengan perang yang yang adil pada Rus Romanium adalah menjalankan prinsip-prinsip resiprositas. Prinsip lain agaknya belum ada. Resiprositas di sini tentu saja tidak dapat dipandang sebagai balas dendam. Karena cara-cara yang mereka lakukan berdasarkan pertimbangan yang adil. Sebagai contoh apabila musuh membunuh delapan orang prajurit maka pihak lain pun akan membalasnya dengan jumlah yang sama.
Pertanyaan apakah tradisi hukum perang klasik Romawi juga berlaku sepanjang perang Makassar ? tidak ada studi khusus yang terfokus terhadap hubungan ini. Tetapi hubungan hukum antara hukum Belanda (yang dipakai oleh VOC) dengan hukum Romawi sangat erat kaitannya, dapat menjadi skpetisisme tersendiri untuk membongkar kaitan ini. Apalagi munculnya pemikiran besar dari Hugo Grotius tahun 1648 dipandang banyak dipengaruhi oleh pikiran-pikiran Cicero tentang perang yang adil. Jika menelusuri latar belakang lahirnya hukum belanda maka tidak bisa lepas dari hukum Romawi.
Terdapat banyak catatan menarik mengenai pengaruh hukum Romawi terhadap hukum Eropa pada umumnya dan hukum Belanda pada khususnya, tetapi paling penting diantaranya adalah apa yang dicatat oleh Rene Daniel sebagai kelompok keluarga hukum Romawi Germania (Maramis, 1994: 17), pengaruh hukum publik terutama hukum internasional pidana dan tata negara agaknya tidak teradaptasi dari hukum Romawi lebih dari hukum perdata (sipil) kebanyakan teradaptasi adalah hukum sipil yang lebih dikenal dengan Ius Civil. Hal ini tidak lepas dari sejarah imperium roma itu sendiri.

Hadirin yang saya muliakan
Hiruk Pikuk Deklarasi Bongaya
Seberapa jauh penggambaran pengaruh-pengaruh hukum romawi dalam sistem hukum perang klasik selama perang Makassar. Jika membaca referensi yang menggambarkan kejadian dalam perang maka terasa sekali pengaruh-pengaruh itu ada. Sebagai contoh dalam praktek resiprositas tentang karangnya kapal Belanda De Walvis tahun 1662 dan De Leeuwin tahun 1664 (F.W. Stapel, 1922; Abdurrazak Daeng Patunru, 1967: Leonard Y. Andaya, 1981; Mattulada, 1991).
Kapal Belanda De Walvis yang berlayar dari Batavia menuju Maluku tahun 1662 memasuki perairan Makassar dan kandas di atas sebuah gunung di lautan Makassar. Orang-orang makassar yang mengejar kapal itu dapat menyita 16 pucuk meriam dari kapal itu. Kemudian Belanda menuntut kepada Sultan Hasanuddin agar mengembalikan meriam-meriam itu, akan tetapi tuntutan itu ditolak oleh Sultan berhubung waktu itu antara kerajaan Gowa dengan Belanda masih dalam keadaan perang (Patunru, 1967: 48).
Mattulada (1991: 78) secara menarik membelah kasus ini dalam dua versi yaitu dalam versi Belanda dan versi Makassar. Menurut versi Belanda dalam tahun 1662 sebuah kapal Belanda De Walvis namanya, terdampar di perairan Makassar. Kapal yang terdampar ini dirampok oleh orang-orang Makassar. Enam belas pucuk meriam jatuh ke dalam tangan seorang Rijkgraten (pembesar kerajaan) dan tidak mau mengembalikannya.
Meurut versi Makassar, dalam tahun 1661, ada sebuah kapal Belanda bernama De Walvis, memasuki batas perairan Makassar tanpa pemberitahuan lebih dahulu. Kapal disergap oleh kapal-kapal pengawal pantai kerajaan Gowa di perairan Makassar. Kapal itu sesungguhnya dikejar dalam wilayah kedaulatan Perairan Makassar, namun karena tidak mengetahui letak-letak kerajaan Gowa, maka kapal itu disita dan enam belas pucuk meriam yang dipergunakan dalam melakukan perlawanan itu disita oleh pemerintah kerajaan Gowa.
Hadirin yang saya muliakan,
Sementara itu, insiden kapal De Leeuwin terjadi dua tahun kemudian, 24 Desember 1664. Kapal Belanda De leeuwin yang dahulu telah membawa Arung Palakka dan kawan-kawannya dari Buton ke Batavia, kandas di Pulau Doang-Doang. Kapal ditahan oleh Armada Gowa yang menjaga perairan Makassar untuk mempertahankan kedaulatan kerajaan Gowa. Dari anak-anak buah kapal itu ada 40 orang yang masih hidup diangkat oleh orang-orang Makassar ke Somba Opu. Akan tetapi kemudian dari pihak Belanda menyampaikan tuduhan bahwa dari atas kapal itu ada sebuah peti yang berisi uang perak sebanyak 1425 ringgit yang telah disita oleh orang-orang Makassar. Berhubungan dengan tenggelamnya De Leeuwin, maka Onder-koopman Belanda yang bernama Ir. Cornelius Kuyff bersama 14 orang anak buahnya berangkat ke tempat di mana kapal itu kandas untuk memeriksa sendiri keadaan kapal itu, akan tetapi kepergiannya ke sana tidak diketahui dan tidak seizin Sultan. Baru saja mereka itu tiba di sana, maka pasukan kerajaan Gowa yang menjaga tempat itu memerintahkan supaya orang-orang Belanda itu menyerah, akan tetapi mereka itu menolak, bahkan mengadakan sehingga terjadi pertempuran yang mengakibatkan habis terbunuh semua oleh tentara Gowa (Patunru, 1967: 44).
Insiden De Walvis dan De leeuwin ini menarik, karena insiden inilah yang dipandang sebagai implemetasi dari azas-azas resiprositas yang diacu oleh Belanda dari hukum Romawi (azas ius gentium dan ius generale). Insiden ini menjadi pasal paling krusial diperbincangkan dalam perjanjian Bongaya tahun 1667. Untuk menekankan pentingnya azas resiprositas ini Belanda memajukan khusus dua pasal dalam perjanjian Bongaya yaitu:

Pasal 3: bahwa kepada kompeni akan diserahkan dan dikembalikan semua perlengkapan kapal, meriam-meriam, mata uang-mata uang, dan barang lainnya tanpa kecuali, yang disita dari kapal de Walvis di pulau Selayar dan kapal yang karam di Pulau Doang-doang.
Pasal 4: bahwa akan dilaksanakan secepatnya proses peradilan di hadapan dan dilaksanakan oleh presiden Makassar terhadap orang-orang yang bersalah dan masih hidup karena melakukan pembunuhan terhadap orang-orang Belanda di tempat-tempat yang berbeda itu.

Pasal-pasal ini mejadi gempar dan terjadi keributan dan kepanikan bahkan beberapa petinggi Gowa mencabut badik berteriak-teriak menghujat pasal yang tidak adil ini. Sesungguhnya pasal ini telah dirundingkan setahun sebelumnya, 17 Desember 1666. Perundingan berlangsung di atas sebuah kapal Belanda yang bernama Tertholen, di perairan Tana Keke (Andaya, 1981: 73). Dua orang bangsawan Gowa datang ke kapal dengan maksud baik untuk berdamai sambil membawa 1.056 emas sebagai tebusan atas terbunuhnya orang Belanda di pulau Doang-doang dari insiden De Walvis dan 1435 ringgit Belanda yang diambil dari bangkai kapal De Leeuwin. Reaksi Speelman kemudian meminta utusan itu untuk mengirim suratnya, mereka menolak dengan mengatakan sampai mati pun mereka tidak akan melakukannya karena mereka hanya diperintah untuk mengantar uang itu, dan tidak untuk lainnya.
“Darah dibayar dengan darah, tidak dengan uang !”, dalam pernyataan Admiral Cornelius Jancoon Speelman ini nampak arogan dan menantang, namun itulah karakter pencapaian azas resiprositas yang berlaku. Selain tentunya pengembalian harga diri bangsa. Penyitaan dua kapal tersebut disertai dengan pembunuhan dan penawanan anak-anak buah kapal dipandang telah menjatuhkan harga diri dan martabat Belanda serta merupakan tindakan pelecehan. Selain itu bertentangan dengan perjanjian yang telah disepakati antara Gowa dan Belanda tahun 1660. Oleh karena itu Belanda menuntut pengembalian harga diri tersebut.
Hadirin yang saya muliakan,
Perdebatan panas tentu saja tidak bisa dihindari karena para perunding Gowa yang disangsikan langsung oleh Sultan Hasanuddin menolak mentah-mentah usulan dua pasal ini. Andaya (1981: 76) menggambarkan perundingan panas ini berlansung selama enam hari dan separuh waktu dihabiskan memperkarakan dua klausul tentang insiden kapal De Walvis dan De Leeuwin ini. Perundingan ini awalnya dipimpin langsung oleh Sultan Hasanuddin dari pihak Gowa dan Speelman dari pihak Belanda. Tetapi karena faktor komonikasi bahasa, maka ditetapkan karaeng Karunrung sebagai juru runding. Sekalipun Karaeng Karunrung tidak sehebat ayahnya, Karaeng Pattingaloang, dalam soal bahasa-bahasa Eropa, namun Karaeng Karunrung sangat fasih dalam dua bahasa Portugis dan Inggris. Disepakati dipergunakan bahasa Portugis. Dalam Kronik Entje Amin (Skinner, 1967: 178-180) digambarkan bahwa sesungguhnya Speelman fasih juga dalam bahasa Inggris, namun ajakan Karaeng Karunrung untuk menggunakan bahasa Inggris dalam perundingan ditolak oleh Speelman. Penolakan itu bukan karena ketidakfasihan Speelman melainkan lebih karena kebenciannya yang mendalam terhadap orang-orang Inggris yang menjadi lawannya berperang dalam perang di Teluk Benggali (selat Hindi) India, penugasan sebelumnya ketika kemudian ditarik untuk memimpin tentara Belanda Makassar yang digambarkannya lebih ganas dari perang Teluk Benggali.
Sesungguhnya tuntutan Belanda Pasal 3 perjanjian Bongaya bisa dilakukan oleh Gowa untuk mengembalikan semua barang-barang yang disita dari kapal termasuk ganti kerugian barang-barang yang disita dari kapal termasuk ganti kerugian barang-barang yang telah hancur dan sekalipun tuntutan itu berlebihan. Tetapi Pasal 4 sangat berat dilaksanakan oleh pemerintah Gowa. Orang-orang yang dianggap bertanggung jawab terhadap penyergapan kapal itu serta pembunuhan dan penahanan awaknya merupakan prajurit-prajurit resmi gowa yang menjalankan perintah komandan mereka. Beberapa nama yang masuk dalam daftar tuduhan Belanda adalah bangsawan-bangsawan utama kerajaan Gowa, beberapa diantaranya menjadi saksi dalam perundingan ini. Secara rahasia Karaeng Karunrung meminta daftar pencarian orang (DPO) buatan Speelman dan karaeng karunrung kaget melihat daftar itu. Karena selain Itanrawa RI Ujung Karaeng Bontomarannu (Panglima perang kerajaan Gowa yang ditakuti dengan sebutan Del Monte Maranno) bersama raja Bima, Raja luwu, arung Matoa Wajo, Raja Balanipa (Mandar), Raja Tambara, Raja Sanggar serta Karaeng Dompo (Dompu), yang semuanya ditempatkan dalam pasal tersendiri (Pasal 15), juga terdapat beberapa bangsawan yang ikut serta mengawal perundingan ini. Serta Karaeng Karunrung menolak pasal ini, karena yang dituduhkan Belanda dalam DPO tersebut adalah panglima-panglima kerajaan Gowa yang sama sekali tidak terlibat dalam penyergapan itu, tetapi kebanyakan penentu kebijaksanaan, menyerahkan orang-orang ini sama saja menggerogoti kekuatan perang Kerajaan Gowa. Lagi pula mereka ini tidak dapat dituntut sebagai pelaku pembunuhan karena situasinya dalam perang (Mattulada,1991: 89).

Hadirin yang saya muliakan
Kesimpulan
Amar yuridis menyangkut interpretasi kedua klausul krusial dalam perjanjian Bongaya ini adalah alasan-alasan kedua belah pihak.
Pihak Belanda memandang bahw a tindakan itu perampokan (phiracy), perampasan dan pembunuhan karena kedua kapal itu melakukan transit serta membuang jangkar dengan damai di peraiaran bebas, di luar tapal-batas perairan kedaulatan Gowa. Serangan itu dilakukan secara tiba-tiba tanpa pernyataan perang lebih dahulu dan hal ini melanggar kebiasaan perang (secara internasional) yang berlaku. Lebih dari itu serangan ini merupakan pelanggaran terhadap azas perjanjian yang telah disepakati antara Gowa dan Belanda tahun 1660 sebagaimana kesepakatan yang telah tertuang dalam Pasal 2 perjanjian Bongaya.
Pihak Gowa menilai bahwa perjanjian tahun 1660 itu dengan sendirinya telah tereliminir arena Beanda sendiri dipandang telah menyatakan perang setelah melakukan pembantaian di Pulau Banda Februari 1661 karena penduduk Banda masih merupakan federasi protektorat dari Gowa. Bukan saja pembantaian di pulau Banda yang menjadi musabab timbulnya perang antara Belanda dan Gowa, melainkan Blokade yang dilakukan kapal-kapal belanda terhadap kapal-kapal asing lainnya (terutama kapal dagang Inggris) yang menjadi sahabat Gowa serta kapal-kapal Gowa sendiri di perairan laut bebas menjadi isyarat bagi Gowa bahwa perjanjian tahun 1660 sudah tidak berlaku lagi dan dengan demikian perang sudah dinyatakan tidak berlaku lagi dan dengan demikian perang sudah dinyatakan oleh Belanda.
Alasan yang kedua dalam interpretasi Gowa adalah bahwa kedua kapal itu tidak melintas dengan damai tetapi melakukanka perlawanan. Pasukan pengawal pantai kerajaan Gowa diperintahkan untuk memeriksa kapal itu karena telah berada dalam perairan kedaulatan Gowa tetapi mereka memperlihatkan isyarat untuk berperang, padahal sultan Gowa sudah meminta pengawal Pantai Menanya baik-baik apa tujuan mereka berlabuh di perairan ini.

Read more

Minggu, 19 Februari 2012

Laporan Hasil Penelitian Sengketa Internasional Di Kawasan Perairan Laut Cina

0

Akhir-akhir ini Laut Cina Selatan kembali menjadi fokus perhatian masyarakat internasional setelah Cina dan beberapa negara di kawasan Asia Tenggara terutama Pilipina, Vietnam dan Malaysia mempertegas klaim mereka. Bahkan Cina telah mengeluarkan ancaman untuk mengambil tindakan militer jika integritas wilayah kawasannya di Laut Cina Selatan terancam. Cina menganggap bahwa wilayah itu adalah bagian integritasnya oleh karena itu di beri nama demikian.






Demikian pula di kawasan Laut Cina Timur telah menimbulkan konflik sengketa wilayah antara Cina dan Jepang di perairan bagian timur Kyushu dan Pulau Nansei milik Jepang. Kepualauan yang di persengketakan terutama adalah Kepulauan Diaoyu (versi Cina) atau Kepulauan Senkaku (versi Jepang).



Terjadinya persengketaan mereka karena masing-masing mengajukan metode penyelesaian sengketa yang berbeda. Cina menggunakan konvensi hukum laut ketiga (UNCLOS III) sedangkan Jepang menggunakan konvensi hukum laut kedua (UNCLOS II). Selain itu juga antara Cina dan Jepang berbeda resim. Cina memiliki resim landas kontinen sedangkan Jepang memiliki resim kepulauan.

Read more

Rabu, 08 Februari 2012

Sikap Negara-Negara Berkembang Terhadap Hukum Internasional

0

Pada bagian kedua abad ke-20, salah satu ciri pokok masyarakat internasional ialah bermunculannya negara­-negara baru sebagal akibat implementasi dekolonisasi. Bila di waktu berdirinya di tahun 1945, PBB hanya beranggotakan 51 negara, sekarang jumlah tersebut hampir mencapai 4 kali lipat yaitu 191, ditambah Vatikan yang tetap berada di luar organisasi dunia tersebut. jumlah negara merdeka di dunia dewasa ini adalah 192 dan 141 lahir sesudah tahun 1945. Ini berarti bahwa negara-negara baru tersebut sama sekali tidak ikut merumuskan ketentuan-ketentuan hukum internasional zarnan sebelumnya yang mengatur kehidupan dalam pergaulan antarbangsa. Lalu timbul pertanyaan mengenai sikap mereka terhadap, hukum internasional.

Negara-negara berkembang yang jumlahnya sekitar 145 dengan sistem pemerintahan yang saling berbeda tidak selalu mempunyai pandangan dan sikap yang sama terhadap hukum internasional. Namun dalam banyak hal terutama bagi Negara-negara Asia dan Afrika terdapat kesamaan pandangan terhadap sistem hukum tersebut.

Sebelumnya negara-negara Asia dan Afrika mempunyai sikap yang kritis terhadap hukum internasional dengan alasan sebagal berikut:

1. Pengalaman pahit yang dialami di waktu berada di bawah hukum internasional di zaman kolonial karena ketentuan‑ketentuan hukum yang dibuat pada waktu itu hanya untuk kepentingan kaum penjajah. Bahkan akibatnya masih dirasakan sampai zaman sesudah kemerdekaan.

2. Negara-negara tersebut belum lahir waktu dibentuknya hukum internasional. Dengan demikian nilai-nilai, kebudayaan dan kepentingan mereka tidak tercerminkan dalam hukum internasional waktu itu. Ketentuan-­ketentuan hukum internasional tersebut dibuat tanpa partisipasi negara-negara Asia dan Afrika yang keselu­ruhannya didasarkan atas nilai-nilai dan kepentingan Eropa dan karena itu tidak sesuai dengan kepentingan negara-negara tersebut." Oleh karena hukum inter­nasional tersebut merupakan produk kebudayaan Eropa, sehingga tidak dapat bersikap tidak memihak terhadap sengketa-sengketa yang terjadi antara Negara-negara Eropa dan Afrika.14

3. Dalam hal tertentu, negara-negara Barat menggunakan hukum internasional untuk memelihara status quo dan mempertahankan 'kolonialisme." Hukum internasional pada waktu itu tidak banyak membantu pelaksanaan hak menentukan nasib sendiri kecuali setelah suatu negara memulai perjuangan kemerdekaannya.

4. Di antara negara-negara Asia dan Afrika, banyak yang berada dalam keadaan miskin dan karena itu berusaha keras untuk memperbaiki keadaan ekonomi mereka. Di antara negara-negara tersebut ada pula yang mempraktek­kan sistem ekonomi sosialis yang tentunya bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum internasional klasik.

5. Jumlah wakil-wakil dari Asia dan Afrika dalam berbagai badan hukum PBB seperti Mahkamah Internasional, Komisi Hukum Internasional dan Biro-biro Hukum berbagai organisasi internasional, sampai akhir-akhir ini sangat sedikit, sehingga menyebabkan mereka tidak terwakili secara memadai dalam badan-badan tersebut dan tidak dapat berpartisipasi dalam menciptakan norma­-norma hukum internasional.

Itulah antara lain faktor-faktor yang menyebabkan negara-negara Asia dan Afrika sebelumnya sangat kritis terhadap hukum internasional. Tetapi itu bukan berarti bahwa negara-negara tersebut menolak hukum inter­nasional. Walaupun hukum internasional tersebut tidak memadai seperti yang dikemukakan di atas namun negara­-negara berkembang, meskipun selalu bersikap kritis, tetap mendukungnya dan dalam hal-hal tertentu hukum internasional telah banyak membantu perjuangan negara­-negara berkembang seperti contoh-contoh berikut:

1. Perjuangan kemerdekaan Indonesia dan juga bangsa-­bangsa terjajah lainnya mendapat perhalian penuh dan PBB karena perjuangan tersebut sesuai dengan prinsip­-prinsip dalam Piagam PBB tentang hak menentukan nasib sendiri. Di samping itu Negara negara Afrika selalu menunjuk pada prinsip-prinsip umum hukum inter­nasional dalam per uangannya melawan kolonialisme dan imperialisme.16

2. Langkah pertama yang diambil oleh negara-negara yang baru merdeka adalah mencalonkan diri untuk menjadi anggota PBB dan Badan-badan khusus lainnya. Sebagai anggota, negara-negara baru tersebut ikut merumuskan ketentuan-ketentuan baru untuk memperjuangkan dan melindungi kepentingan mereka.

3. Walaupun sudah merdeka, banyak negara-negara baru tersebut masih lemah, baik dari segi ekonomi maupun dan segi militer. Satu-satunya perlindungan terhadap intervensi asing adalah pengandalan dari dukungan terhadap hukum internasional. Oleh karena itu negara­negara tersebut selalu merujuk pada prinsip-prinsip hukum internasional yang mendasari hubungannya dengan negara-negara lain.17

4. Negara-negara berkembang pada hakekatnya men­dukung hukum internasional mengingat besarnya manfaat yang diperoeh melalui kerjasama internasional untuk mempercepat terlaksananya pembangunan nasional di berbagai bidang. Dukungan mulai nampak nyata dari partisipasi aktif negara-negara tersebut dalam berbagai forum untuk merumuskan dasar-dasar kerja­sama dalam bidang-bidang yang baru. Sebagai kesimpulan dapat dinyatakan bahwa pada mulanya negara-negara berkembang sangat kritis terhadap hukum internasional yang sama sekali tidak mencerminkan nilai-nilai kebudayaan dan kepentingan mereka. Tetapi segera setelah lahir, dengan aktif negara-negara tersebut berperan serta dalam berbagai forum dunia untuk ikut merumuskan berbagai ketentuan hukum yang selanjutnya juga mencer­minkan pandangan dan kepentingan dunia ketiga. Forum PBB dan berbagai forum dunia lainnya telah dapat dimanfaatkan oleh negara-negara berkembang untuk mengakhiri era kolonialisme dan memperjuangkan kepentingan mereka di bidang ekonomi dan sosial. Usaha­-usaha ini masih tetap dilanjutkan untuk merombak ketentuan-ketentuan yang masih berbau kolonial di samping upaya untuk mewujudkan suatu tatanan dunia baru yang bebas dari perang, ketidakadilan, kemiskinan dan keter­belakangan. Karena mayoritas negara di dunia dewasa ini terdiri dan negara-negara berkembang, maka dapatlah diharapkan bahwa selanjutnya hukum internasional akan lebih memperhalikan aspirasi dan kepentingan negara­-negara dunia ketiga.

Read more

PENGAKUAN DALAM HUKUM INTERNASIONAL

0

1. Pendahuluan

Apabila Idta mempelajari hukum internasional, terutama sejak abad ke-18 sampai dewasa ini, maka kita akan menemukan betapa pentingnya peranan lembaga pengakuan internasional dalam hubungan antar negara sebagaimana diakui oleh semua sarana hukum internasional. Malahan tidak berlebihan kalau kita mengatakan disini bahwa pemberian atau dalam segi negatifnya penolakan pemberian pengakuan itu, telah merupakan faktor yang banyak pengaruhnya terhadap perkembangan sejarah internasional.

Penolakan pemberian pengakuan oleh Amerika Serikat kepada Uni-Soviet selama 16 tahun lamanya misalnya semenjak revolusi Oktober 1917 di Rusia telah sangat mempengaruhi keadaan dunia pada masa tersebut, sebagaimana halnya penolakan pemberian pengakuan oleh Amerika Serikat kepada pemerintah Republik Rakyat Tiongkok semenjak berkuasanya rezim itu di Tiongkok mulai akhir tahun 1949, sangat banyak mempengaruhi keadaan politik di dunia umumnya, di Asia khususnya.

Pembahasan mengenai lembaga pengakuan inter­nasional ini semoga ada manfaatnya, oleh karena tetap merupakan suatu masalah aktual yang menyangkut berbagai bidang hubungan antar negara. Masyarakat internasional merupakan masyarakat yang dinamis berubah dari waktu ke waktu ada negara yang dikuasai negara lain dan ada pula negara baru yang lahir. Demikian pula pemerintah lama terguling, pemerintah baru lahir. Lahirnya negara/ pemerintah tersebut ada yang melalui cara-cara damai, ada pula yang melalui cara-cara kekerasan. Perubahan­-perubahan ini menyebabkan anggota masyarakat inter­nasional lainnya dihadapkan pada dua pilihan, yaitu mau menyetujui atau menolaknya. Tanpa mendapatkan penga­kuan ini negara tersebut akan mengalami kesulitan dalam mengadakan hubungan dengan negara lainnya. Negara yang belum mendapatkan pengakuan dapat memberi kesan dalam negara lain bahwa negara tersebut tidak mampu menjalankan kewajiban-kewajiban internasional. Oppen­heim mengatakan bahwa pengakuan merupakan suatu pernyataan kemampuan suatu negara baru.1 Nampaklah bahwa negara-negara dalam memberikan pengakuan ini semata-mata hanya didasarkan pada alasan-alasan politis, bukan alasan hukum. Dari praktek negara-negara tidak ada keseragaman dan tidak menunjukkan adanya aturan-aturan hukum dalam masalah pengakuan ini. Namun dengan diakuinya suatu negara/pemerintah baru, konsekuensi yang ditimbulkannya dapat berupa konsekuensi politis tertentu dan konsekuensi yuridis antara negara yang diakui dengan Negara yang mengakui.

Konsekuensi politis misalnya, antara kedua negara dapat dengan leluasa mengadakan hubungan diplomatik, sedangkan konsekuensi yuridis misalnya berupa: Pertama, pengakuan tersebut merupakan pembuktian atas keadaan yang sebenarnya, Kedua, pengakuan menimbulkan akibat­-akibat hukum tertentu dalam mengembalikan tingkat hubungan diplomatik antara negara yang mengakui dan yang diakui; Ketiga, pengakuan memperkokoh status hukum negara yang diakui dihadapan pengadilan negara yang mengakui.2

Selain alasan politis pemberian pengakuan suatu Negara kepada negara lain terlebih dahulu harus ada keyakinan bahwa negara baru tersebut telah memenuhi unsur-unsur minimum suatu negara menurut hukum internasional dan pemerintah baru tersebut menguasai dan mampu memimpin wilayahnya.3 Adapun unsur-unsur lain dari pemberian pengakuan yaitu: Pertama, pemerintah dalam negara baru tersebut harus mendapatkan kekuasaannya melalui cara-cara konsitutisional, kedua, negara tersebut harus mampu bertanggung jawab terhadap negara lain.4 Berangkat dari fakta-fakta tersebut, maka dicoba memberikan definisi tentang pengakuan, yaitu tindakan politis suatu negara untuk mengakui negara baru sebagai subyek hukum internasional yang mengakibatkan hukum tertentu.5





2. Fungsi Pengakuan

Para Sarjana Hukum Internasional pada umumnya berpendapat bahwa "Pengakuan" (Inggris: Recognition, Prancis: reconnaissance, Jerman: Anerkennung) adalah suatu lembaga yang sangat penting artinya dalam hubungan antar negara.6

Dalam abad ke-20 ini tidak ada satu negarapun dapt hidup terasing dari negara-negara lainnya dan alat-alat komunikasi modern telah mendorong menciptakan hubungan interpendensi yang erat antara negara-negara di dunia ini.

Tetapi sebelum suatu negara baru dapat mengadakan hubungan dalam berbagai bidang dengan negara-negara lainnya, baik politik, ekonomi, sosial budaya dan sebagainya, maka terlebih dahulu harus melalui pengakuan. Dengan demikian, fungsi pengakuan adalah untuk menjamin suatu negara baru dapat menduduki tempat yang wajar sebagai suatu organisms politik yang merdeka dan berdaulat di tengah-tengah keluarga bangsa-bangsa, sehingga secara aman dan sempuma dapat mengadakan hubungan dengan negara-negara lainnya, tanpa mengkhawatirkan bahwa kedudukannya sebagai kesatuan politik itu akan diganggu oleh negara-negara yang telah ada.7

Brierly mengatakan, bahwa lembaga pengakuan internasional disamping nantinya yang penting dilihat dari segi doktrin hukum internasional, juga merupakan masalah yang selalu menjadi pemikiran bagi kementerian-kemen­terian luar negeri dan bagi para sarjana hukum internasional yang perhaliannya terutama tertuju kepada penerapan sistem itu dalam praktek.8

Demikian pula Starke berpendapat bahwa masalah pengakuan kelihatannya merupakan suatu masalah yang sederhana, tetapi kesan itu tidak demikian, karena masalah ini merupakan salah satu bagian yang paling sulit dalam hukum internasional, bukan saja dilihat dari segi asas-asas, tetapi juga secara intrinsik karena banyaknya masalah-­masalah sulit yang sering terjadi dalam praktek.9

Nampaklah bahwa tidak terdapat perbedaan pendapat diantara para ahli mengenai arti penting dari pengakuan intervensional, sehingga pembahasan mengenai pengakuan masih tetap, penting.

3. Bentuk-Bentuk Pengakuan

Pada umumnya terdapat persamaan pandangan diantara para sarjana Hukum Internasional tentang bentuk-­bentuk pengakuan, Oppenheim-Lauterpacht membagi bentuk pengakuan sebagai berikut :10

a. Recognition of states (pengakuan negara);

b. Recognition of new heada of governments of old states (Pengakuan kepala pemerintah baru dari negara yang lama)

c. Recognition of governments and representation in the United Nation (Pengakuan pemerintah dan perwakilan dalam PBB)

d. Recognition of belligerency (pengakuan beligerensi)

e. Recognition of insurgency (pengakuan pemberontakan)

f. Recognition of new terotorial titles and international situation (pengakuan hak-hak teritorial dan situasi internasional baru)

Schwarzenberger melihat pengakuan itu dalam arti yang lebih luas, bahwa pengakuan dapat diartikan sebagai penerimaan suatu situasi dengan maksud menerima akibat­akibat hukum dari keadaan sedemikian itu.11

Dalam tulisan ini akan dibatasi pada pembahasan bentuk-bentuk pengakuan terpenting yang selalu menarik perhalian umum, yaitu :

a. Pengakuan negara baru

b. Pengakuan pemerintah baru

c. Pengakuan sebagai pemberontak

d. Pengakuan beligerensi

e. Pengakuan sebagai bangsa

f. Pengakuan hak-hak teritorial dan situasi internasional baru

Bentuk pengakuan ini akan dibahas baik berdasarkan teori maupun praktek yang dilakukan oleh negara-negara, beberapa yurisprudensi terkenal dari berbagai negara.

4. Pengakuan Negara Baru (Teori-Teori Pengakuan)12

Di kalangan para sarjana hukum internasional, terdapat 2 (dua) golongan besar yang mengemukakan pendapat yang berbeda.

Golongan pertama berpendapat, bahwa apabila semua unsur kenegaraan telah dimiliki oleh suatu masyarakat politik, maka dengan sendirinya telah merupakan sebuah negara dan harus diperlakukan secara demikian oleh negara­-negara lainnya. Jadi secara ipso facto harus menganggap masyarakat politik yang bersangkutan sebagai suatu negara dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dengan sendirinya melekat padanya.

Pengakuan hanyalah bersifat pernyataan dari pihak­-pihak lain, bahwa suatu negara baru telah mengambil tempat disamping negara-negara yang telah ada. Golongan pertama ini dikatakan menganut teori declaration.

Sebaliknya golongan kedua berpendapat, walaupun unsur-unsur negara telah dimiliki oleh suatu masyarakat politik, namun tidak secara langsung dapat diterima sebagai negara di tengah-tengah masyarakat internasional. Terlebih dahulu harus ada pernyataan dari negara-negara lainnya, bahwa masyarakat politik tersebut benar-benar telah memenuhi semua syarat sebagai negara.

Apabila telah ada pernyataan demikian dari negara­negara lainnya, masyarakat politik tersebut mulai diterima sebagai anggotabaru dengan kedudukannya sebagai sebuah negara, di tengah-tengah negara lainnya yang telah ada. Setelah itu barulah dapat menikmati hak-haknya sebagai negara baru. Golongan kedua ini dikatakan menganut teori Konstitutif.

Diantara kedua golongan ini terdapat beberapa sarjana yang menganut pendirian jalan tengah, memang selalu terdapat perbedaan dalam praktek negara dalam memberikan pengakuan terhadap negara atau pemerintah baru yang pada hakekatnya dapat dikembalikan pada perbedaan pendapat antara penganut teori deklarator dan teori konstitutif. Penganut teori deklarator antara lain: Brierly, Erich, Fiscker Williams, Francois, Tervboren, Schwezen­berger. Dalam tulisan ini akan dibahas beberapa pendapat Para sarjana tersebut.

Brierly menganggap teori konstitutif sulit dipertahankan secara konsekuen dengan mengemukakan, bahwa kemung­kinan ada suatu negara yang diakui oleh negara A, tetapi tidak diakui oleh negara B, dengan demikian pada saat yang sama negara yang bersangkutan bagi negara. A merupakan pribadi internasional, tetapi tidak untuk negara B.

Demikian Pula kritik terhadap teori konstitutif terletak pada adanya keharusan bagi penganutnya, bahwa suatu negara yang tidak diakui tidak memiliki hak-hak dan kewajiban menurut hukum internasional misalnya intervensi pada umumnya dianggap sebagai suatu perbuatan illegal, namun tidak demikian jika dilakukan terhadap negara yang tidak diakui sebaliknya jika negara yang tidak diakui terlibat dalam suatu peperangan, maka negara tersebut tidak berkewajiban menghormati hak-hak negara netral sebagaimana diharuskan oleh hukum internasional.

Erich berpendapat bahwa ia cenderung mengatakan bahwa pengakuan itu sifatnya declaration semata, karena yang diakui adalah negara yang sudah ada. Kalau suatu pemerintah asing mengakui suatu negara baru, maka pemerintah itu menyatakan sikapnya, bahwa ia berhadapan dengan kenyataan yaitu dengan suatu badan tersusun yang tidak dapat dibantah lagi dan diakui karena memang ada dalam kenyataan.

Schwarzenberger condong pada teori deklaration, tetapi tidak dinyatakan secara tegas. la berpendapat bahwa setiap negara bebas untuk memberikan atau menolak memberikan pengakuan. Dengan demikian dapat terjadi suatu negara dalam hubungannya dengan satu atau beberapa subyek Hukum Internasional, tetapi tidak dengan yang lainnya.

4.1. Teori Konstitutif

Penganut teori ini adalah Wheaton, Hershey, Von Liszt, Moore, Schuman dan Lauterpacht dalam pembahasan ini akan diuraikan beberapa pendapat dari pelopor aliran/teori ini.

Isheaton berpendapat bahwa jika negara baru ingin berhubungan dengan negara-negara lainnya dalam masyarakat internasional yang anggota-anggotanya memiliki hak-hak dan kewajiban tertentu dan diakui oleh masing-masing, maka negara baru itu terlebih dahulu memerlukan pengakuan dari negara-negara lainnya sebelum dapat mengambil bagian sepenuhnya dalam kehidupan antar negara.

Moore berpendapat bahwa meskipun sebuah negara baru memiliki hak-hak dan atribut-atribut kedaulatan, terlepas dari soal pengakuan, tetapi hanya jika negara baru itu diakui barulah mendapat jaminan untuk menggunakan hak-haknya itu.

Lauterpacht berpendapat bahwa suatu negara untuk menjadi pribadi internasional hanya melalui pengakuan saja. Namun walaupun pemberian pengakuan itu sepenuhnya merupakan kebijakan dari negara yang memberikannya, tindakan itu bukanlah suatu tindakan yang semena-mena saja, tetapi pengakuan atau penolakan itu harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip hukum.

Jadi pengakuan itu memang konstitutif sifatnya, tetapi ada kewajiban bagian negara-negara yang telah ada, jika semua syarat kenegaraan pada negara baru itu telah dipenuhi, untuk memberikan pengakuan yang telah menjadi hak negara baru itu.

4.2. Teori Jalan Tengah

Kedua teori yang telah dikemukakan tidak sepenuhnya memuaskan, sehingga beberapa sarjana telah merumuskan teori baru yang dinamakan teori jalan tengah atau teori pemisah. Penganut teori ini adalah : Rivier, Cavare, Verdross dan Starke.

Rivier berpendapat bahwa adanya suatu negara yang berdaulat adalah terlepas dari adanya pengakuan negara­-negara lain. pengakuan hanya merupakan pencatatan dari suatu hal yang telah terjadi dan sifatnya hanya persetujuan akan hal tersebut. Dengan demikian pengakuan mengadakan ikatan formal untuk menghormati pribadi baru itu, hak-hak dan atribut kedaulatan di bawah hukum internasional. Hanya sesudah mendapat pengakuan, penggunaan hak-hak tersebut akan terjamin. Hubungan politik yang teratur hanya mungkin terjadi antara negara-negara yang saling mengakui. Starke berpendapat, bahwa kebenaran mungkin berada di tengah-tengah kedua teori itu.

Praktek internasional menunjukkan bahwa baik teori deklarasi maupun konstitutif keduanya dianut. Teori konstitutif digunakan apabila pengakuan itu diberikan karena alasan-alasan politik. Negara-negara biasanya memberikan atau menolak memberikan pengakuan atas dasar prinsip­-prinsip hukum atau berdasarkan preseden. Demikian juga pengakuan ditangguhkan karena alasan politik sampai akhirnya pengakuan diberikan sebagai imbalan atas pemberian keuntungan diplomatik secara materil dari negara atau pemerintah yang meminta pengakuan.

Starke menunjukkan pula, bahwa teori declaration mendapat dukungan dari asas-asas yang berlaku dalam masalah pengakuan, yaitu

a. Jika timbul persoalan dalam badan pengadilan negara­-negara baru mengenai lahirnya negara itu, tidak penting untuk memperhatikan bilamana mulai berlakunya perjanjian-perjanjian dengan negara-negara lain yang memberikan pengakuan itu jika semua unsur kenegaraan secara nyata telah dipenuhi, maka saat itulah yang menentukan lahirnya negara tersebut.

b. Pengakuan terhadap, suatu negara mempunyai akibat surat (retroaktif) sampai saat lahirnya negara itu secara nyata sebagai negara merdeka. Asas ini juga berlaku terhadap perkara-perkara di pengadilan yang dimulai sebelum tanggal diberikannya pengakuan itu.

Jika diteliti praktek yang berlaku mengenai persoalan pengakuan ini, terdapat kenyataan bahwa hanya negara-negara yang menentang lahirnya suatu negara yang membuat pernyataan, sedangkan pada umumnya pengakuan yang diberikan pada suatu negara yang baru lahir hanya bersifat implisit, yaitu tampak adanya pengakuan dalam bentuk pernyataan-pernyataan, kecuali negara yang baru lahir tersebut membuat arti dan hubungan yang khusus dengan negara-negara tertentu. Tidak banyak negara lahir di tahun 60 dan 70-an, terutama negara kecil di kawasan Afrika, Pasifik dan Karibia, tanpa disambut berbagai pernyataan pengakuan tetapi itu bukan berarti bahwa kelahirannya ditolak oleh masyarakat internasional. Tetapi ada beberapa pengecualian dimana kelahiran suatu negara ditentang oleh masyarakat internasional dengan merujuk pada sikap PBB.

Sejarah mencatat ada beberapa negara yang kelahiran­nya ditentang oleh masyarakat internasional, yang pada akhirnya negara baru tersebut akan bidang keberadaannya.

Rhodesia misalnya yang memproklamirkan kemer­dekaannya pada tanggal 11 Nopember 1965 melalui kelompok minoritas kulit putih yang dibawah pimpinan Ian Smith dengan melepaskan diri dari kekuasaan Inggris, mendapat kecaman keras dari PBB yang meminta kepada negara-negara anggota PBB untuk tidak mengakuinya dan tidak mengadakan hubungan diplomatik dan hubungan-­hubungan lainnya dengan kekuasaan yang illegal tersebut.

Rhodesia tidak dapat bertahan lama dan kemudian digantikan oleh Zimbabwe yang lahir pada tahun 1980. Contoh lain yaitu kelahiran negara yang ditentang oleh masyarakat internasional ialah Turkish Republic of Northern Cyprus tanggal 15 November 1983. Dalam waktu tiga hari Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi yang mengecam pendirian negara tersebut yang menyebutnya "Legally Invalid".

Pakistan adalah satu-satunya negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang menentang resolusi tersebut dan sampai sekarang hanya. Turki yang mengakui negara tersebut.

Demikian pula dengan negara Israel yang lahir tanggal 14 Mei 1948, sampai sekarang masih tetap tidak diakui oleh negara­-negara Arab, kecuali 2 negara yang telah membuat perjanjian perdamaian dengan negara tersebut, yaitu : Mesir pada bulan Maret 1979 dan Yordania pada bulan Oktober 1994.

Negara-negara berpenduduk Islam non-Arab lainnya juga tidak mempunyai hubungan dengan Israel. Walaupun Israel telah menjadi anggota PBB sejak tanggal 11 Mei 1949, namun keanggotaanya sama sekali tidak merubah sikap kelompok negara tersebut, sampai dicapainya penyelesaian secara menyeluruh sengketa Timur Tengah dengan mengakui hak rakyat Palestine untuk mendirikan negaranya sendiri di wilayah Palestine.13

Dari contoh yang telah dikemukakan, nyatalah bahwa pengakuan adalah suatu kebijaksanaan politik. Pengakuan negara hanya dilakukan satu kali, perubahan bentuk suatu negara tidak akan merubah statusnya sebagai negara. Sebagai contoh: Perancis sejak tahun 1791 sampai tahun 1875 beberapa kali mengalami perubahan, dari kerajaan, republik, kekaisaran, kembali ke kerajaan dan republik dengan pembentukan Republik III tahun 1875, Republik IV tahun 1941 dan sejak tahun 1958 Republik V tetap merupakan negara Perancis.

5. Pengakuan Pemerintah Baru

Pengakuan pemerintah ialah suatu pernyataan dari suatu negara, bahwa negara tersebut telah siap dan bersedia mengadakan hubungan dengan pemerintahan yang baru diakui sebagai organ yang bertindak untuk dan atas nama negaranya. Pengakuan pemerintah ini penting, karena suatu negara tidak mungkin mengadakan hubungan resmi dengan negara lain yang tidak mengakui pemerintahannya. Akan tetapi secara logika pengakuan terhadap suatu negara juga berarti pengakuan terhadap pemerintah negaranya.

Akan tetapi berbagai peristiwa dapat terjadi dengan pemerintah didalam negara jika negara itu suatu kerajaan, maka Raja yang memerintah suatu waktu meninggal dunia dan diganti oleh putra mahkota. Dalam hal negara itu republik, maka presidennya dapat diganti karena meninggal dunia dalam jabatan atau karena habis masa jabatannya. Demikian pula dengan negara yang menganut asas demokrasi parlementer dengan pemerintah yang dikepalai oleh seorang Perdana Menteri, pemerintah itu dari waktu ke waktu dapat berganti.

Oppenheim-Lauterpach14 berpendapat, bahwa dalam hal pergantian kepala negara dari sebuah negara, apakah ia seorang Raja atau Presiden, maka biasanya negara-negara diberitahu tentang penggantian itu dan umumnya negara lain mengakui Kepala Negara baru itu melalui suatu tindakan resmi, misalnya berupa ucapan selamat pemberitahuan dan pengakuan itu sebuah arti hukum, sebab dengan pemberian itu sebuah negara mengumumkan, bahwa individu yang bersangkutan adalah organ-organnya yang tertinggi dan berdasarkan hukum nasionalnya mempunyai kekuasaan untuk mewakili negaranya dengan keseluruhan, hubungan internasionalnya dan sebagai imbangannya dengan adanya pengakuan dari negara-negara lain yang menyatakan bahwa mereka bersedia berunding dengan individu itu sebagai organ tertinggi dari negaranya.

Dalam praktek, kalau Kepala Negara Baru mendapat kedudukannya dengan cara normal dan konstitusional, maka pengakuan itu diberikan sebagai suatu hal yang lumrah.

Penggantian Kepala Negara sebenarnya adalah urusan intern dari negara yang bersangkutan. Pemberitahuan kepada negara-negara lain boleh dianggap suatu formalitas belaka, suatu "Courtesy" dalam kehidupan internasional dan pengakuan seperti itu bukan pengakuan dalam arti hukum. Jika dalam suatu negara berlaku sistem demokrasi parle­menter dimana kepala pemerintah adalah seorang Perdana Menteri, apabila pergantian pemerintah terjadi secara konstitusional, maka praktek menunjukkan bahwa tidak timbul pengakuan Perdana Menteri baru oleh negara-negara lainnya. Sebagai contoh konkrit misalnya, pemerintah buruh yang berkuasa di Inggris dikalahkan dalam pemilihan umum oleh partai konservatif dan terbentuklah pemerintah baru dibawah seorang Perdana Menteri Konservatif, maka pemerintah yang baru ini sama sekali tidak memerlukan pengakuan dari manapun juga.15

Sebagai kesimpulan dapat dikemukakan bahwa setiap penggantian pemerintah yang terjadi secara normal dan konstitusional, menurut hukum internasional tidak memerlukan pengakuan bagi pemerintah baru itu.

6. Macam-Macam Pengakuan Pemerintah Baru

Hukum internasional mengenal dua macam bentuk pengakuan pemerintah baru, yaitu pengakuan pemerintah secara de facto dan pengakuan pemerintah secara de jure.16

Pengakuan de facto biasanya diberikan oleh suatu negara kepada suatu pemerintah baru jika masih timbul keragu-­raguan terhadap stabilitas dan kelangsungan hidup suatu negara, atau terhadap kemampuannya dalam memenuhi kewajiban-kewajiban internasional. Negara yang memberi­kan pengakuan seperti ini masih melihat dan menunggu kelangsungan pemerintah baru tersebut, apakah pemerintah baru itu permanen, dihormati dan ditaati oleh rakyatnya, apakah berhasil menguasai dan mengontrol secara efektif wilayahnya ataukah mampu memenuhi kewajiban-­kewajiban internasional.

Menurut praktek yang dilakukan oleh beberapa negara, diantaranya Inggris, pemberian pengakuan de facto biasanya tidak menimbulkan hubungan diplomatik yang sempurna ataupun memberikan hak-hak imunitas diplomatik kepada wakil-wakil dari pemerintah de facto itu.

Walaupun para sarjana sependapat, bahwa pengakuan de facto sifatnya hanya sementara dan kalau perlu dapat ditarik kembali, namun sekali pemberian pengakuan de facto, akibat hukumnya demikian luas bagi pemerintah yang bersangkutan, sehingga dalam banyak hal tidak berbeda kedudukannya dari suatu pemerintah yang telah mendapat pengakuan de jure.

Sebagaimana dikemukakan juga oleh Oppenheim, bahwa pengakuan de facto walaupun sifatnya sementara dan dapat ditarik kembali, namun pada hakekatnya tidak dapat dibedakan dari pengakuan de jure, karena semua perundang­-undangan dan tindakan-tindakan intern lainnya dari penguasa yang diakui secara de facto itu, dimuka pengadilan dari negara yang memberikan pengakuan diperlakukan sederajat dengan tindakan-tindakan yang diambil oleh suatu pemerintah yang tidak diakui secara de jure.17

Pengakuan de jure diberikan kepada suatu pemerintah baru apabila negara tersebut sudah tidak ragu-ragu lagi terhadap pemerintah tersebut. Pengakuan de jure diberikan berdasarkan atas penilaian faktor-faktor faktual dan faktor-­faktor hukum.

Pemerintah yang diakui secara de jure adalah peme­rintah yang telah memenuhi tiga ciri, yaitu: 18

a) Efektivitas : Kekuasaan yang diakui di seluruh wilayah negara.

b) Regularitas : Berasal dari pemilihan umum atau telah disahkan oleh konstitusi.

c) Eksklusivitas : Hanya pemerintah itu sendiri yang mempunyai kekuasaan dan tidak ada pemerintahan tandingan

Praktek negara-negara mewujudkan, bahwa sering negara-negara mengakui de facto terlebih dahulu dengan membuka hubungan dagang, kemudian diikuti dengan pengakuan de jure. Demikian pula Indonesia juga diakui secara de facto terlebih dahulu oleh sejumlah negara pada waktu revolusi fisik tahun 1945-1949 dan nanti setelah pemulihan kedaulatan diberi pengakuan de jure. Mesir mempunyai tempat tersendiri sebagai negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia secara de facto pada tanggal 23 Maret 1946 dan kemudian secara de jure tanggal 18 November 1946 bersama Syria, Libanon, Saudi Arabia, Yordania dan Yaman dalam kerangka Liga Arab.19

7. Perbedaan Antara Pengakuan Negara dan Pemerintah

1. Pengakuan negara adalah pengakuan terhadap suatu entitas baru yang telah mempunyai semua unsur konstitutif negara dan yang telah mewujudkan kemam­puannya untuk melaksanakan hak-hak dan kewajiban sebagai anggota masyarakat internasional.

2. Pengakuan negara ini mengakibatkan pula pengakuan terhadap pemerintah negara yang diakui dan berisikan kesediaan negara yang mengakui untuk mengadakan hubungan dengan pemerintah yang baru itu.

3. Pengakuan terhadap suatu negara sekali diberikan tidak dapat ditarik kembali, sedangkan pengakuan terhadap suatu pemerintah dapat dicabut sewaktu-waktu. Bila suatu pengakuan ditolak atau dicabut setelah terbentuknya suatu pemerintah baru, maka negara yang menolak atau mencabut pengakuan tersebut tidak lagi mempunyai hubungan resmi dengan negara tersebut. Bila suatu pengakuan ditolak atau dicabut, maka personalitas internasional negara tersebut tidak berubah karena perubahan suatu pemerintah tidak mempengaruhi personalitas internasional suatu negara.

Mengenai pengakuan de jure yang mungkin diberikan kepada pemerintah pelarian (government in exile), hal seperti ini hanya terjadi dalam keadaan perang, yaitu apabila suatu negara diduduki oleh suatu kekuasaan asing dan beberapa pemimpin dari negara tersebut melarikan diri keluar wilayahnya. Di luar negeri mereka membentuk suatu pemerintah pelarian, seperti contoh pemerintah Belanda yang dibentuk di London ketika Nederland diduduki oleh Nazi Jerman selama Perang Dunia ke II.

Pengakuan de jure seperti ini biasanya diberikan oleh negara lain yang juga sedang berperang dengan negara yang menduduki wilayah negara yang bersangkutan.20

8. Penyalahgunaan Pengakuan Pemerintah Baru

Tujuan penyalahgunaan pengakuan pemerintah baru adalah bahwa pengakuan yang diberikan kepada suatu pemerintah baru yang bersifat sebagai alat politik nasional guna menekannya supaya memberikan konsesi-konsesi politik dan lain-lain kepada negara yang akan memberikan pengakuan.21

9. Pengakuan Terhadap Pemberontak (Belligerency)

Bila di suatu negara terjadi pemberontakan dan pemberontakan tersebut telah memecah belah kesatuan nasional dan efektivitas pemerintahan, maka keadaan ini menempatkan negara-negara ketiga dalam keadaan yang sulit terutama dalam melindungi berbagai kepentingannya di negara tersebut. Dalam hal ini, lahirlah sistem pengakuan belligerency. Negara-negara ketiga dalam sikapnya mem­batasi diri negaranya sekedar mencatat bahwa para pemberontak tidak kalah dan telah menguasasi sebagian wilayah nasional dan mempunyai kekuasaan secara fakta. Bentuk pengakuan ini telah dilakukan beberapa kali di masa lampau oleh Amerika Serikat dan juga Inggris. Contoh yang paling dikenal adalah pengakuan belligerency yang diberikan kepada orang-orang Selatan di Amerika Serikat pada waktu perang saudara oleh Perancis dan Inggris serta Negara-negara Eropa lainnya.

Historis:

1. 13 koloni Amerika memisahkan diri dari Inggris tanggal 4 Juli 1776. Kemudian Perancis mengakui koloni-koloni tersebut tanggal 6 Februari 1778 agar dapat membantu mereka. Kebijaksanaan Perancis tersebut dianggap Inggris sebagai kasus Belli. Waktu itu, dalam hukum internasional belum dikenal istilah pengakuan belligerency.

2. Permulaan abad 19, koloni-koloni Spanyol memberontak dengan memproklamasikan kemerdekaan. Inggris dan Perancis mengakui pemberontak sebagai belligerent.

3. Puncak aplikasi Perang saudara Amerika Serikat (1861-1865).

a) Negara-negara bagian selatan, dengan ibukota Richmond, dengan pemerinta dibawah pimpinan Jefferson Davis, dan Angkatan Bersenjata yang di­kepalai Jenderal Lee, pada tanggal 4 Februari 1861 me­nyatakan diri berpisah dari Pemerintah Federal.

b) Pemerintah tandingan ini diakui sebagai Negara oleh negara-negara Eropa tetapi hanya sebagai belligerent terutama oleh Perancis dan Inggris.

c) Mulai saat itu berkembanglah pengertian belligerency dalam hukum internasional.

Pengakuan belligerency berarti:

1. Memberikan kepada pihak yang memberontak hak-hak dan kewajiban suatu negara merdeka selama ber­langsungnya peperangan.

2. Ini berarti:

a. Angkatan perangnya adalah kesatuan yang sah sesuai dengan hukum perang dan bukan para pembajak

b. Peperangan antara pihak harus sesuai dengan hokum perang.

c. Kapal-kapal perangnya adalah kapal-kapal yang sah dan bukan bajak laut.

d. Blokade-blokade yang dilakukannya di laut harus dihormati oleh negara-negara netral.

3. Di lain pihak, pemerintah yang memberontak tersebut tidak dapat merundingkan perjanjian-perjanjian inter­nasional, tidak dapat menerima dan mengirim wakil-wakil diplomatik dan hubungannya dengan negara-negara lain hanya bersifat informal. Pemerinta tersebut tidak dapat menuntut hak-hak dan kekebalan-kekebalan di bidang internasional. la merupakan subyek hukum internasional dalam bentuk terbatas, tidak penuh dan bersifat sementara.

4. Sebagai akibat pengakuan belligerency oleh Negara-negara ke-3, negara induk dibebaskan tanggungjawab terhadap negara-negara ke-3 tersebut sehubungan dengan perbuatan-perbuatan kelompok yang memberontak.

5. Bila negara induk memberikan pula pengakuan bellige­rency kepada pihak yang memberontak, ini berarti kedua pihak harus melakukan perang sesuai denagn hukum perang. Dalam hal ini, pihak ke-3 tidak boleh ragu-ragu lagi untuk memberikanb, pengakuan yang sama.

6. Pengakuan belligerency ini bersifat terbatas dan sementara serta hanya selama berlangsungnya perang tanpa memperhalikan apakah kelompok yang memberontak itu akan menang atau kalah dalam peperangan.

7. Dengan pengakuan belligerency ini, Negara-negara, ke-3 akan mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai Negara netral dan pengakuan belligerency ini terutama diberikan karena alasan humaniter.

Read more

Istilah Dalam Hukum Internasional.

0

Istilah lain yang juga sering digunakan untuk hukum internasional ini adalah hukum bangsa-bangsa (the law of nations), hukum antar bangsa (the law among nations), dan hukum antar negara (inter-states law). Dalam batas-batas tertentu, istilah-istilah itu juga menggambarkan ruang lingkup dan substansi dari hukum internasional itu sendiri, bahkan juga menunjukan masa lalunya. Misalnya istilah hukum bangsa-bangsa dan hukum antar bangsa digunakan ketika mulai dikenal negara-negara yang berdasarkan asas kebangsaan, dimana negara dan bangsa dipandang identik, dan dalam prakteknya digunakan silih berganti. Prinsip-­prinsip dan kaidah-kaidah hukum yang tumbuh dari hubungan hukum antar bangsa-bangsa atau negara-negara yang berasaskan kebangsaan disebut hukum bangsa-bangsa atau hukum antar bangsa.
 
 
Dengan munculnya pembedaan antara negara dan bangsa dimana negara-negara yang belakangan tidak lagi didasarkan atas asas kebangsaan tetapi atas dasar ke­wilayahan atau teritorialitas, jadi antara negara dan bangsa tidak lagi selalu identik. Istilah hukum bangsa-bangsa maupun hukum antar bangsa telah bergeser kedudukannya dan digantikan oleh istilah hukum antar negara (inter-states law). Istilah yang belakangan ini menjkadi semakin populer sejalan dengan perkembangan negara-negara yang lebih menonjolkan asas kewilayahan atau teritorialitas. Meskipun demikian, dalam kenyataannya ketiga istilah tersebut (hukum bangsa-bangsa, hukum antar bangsa, dan hukum antar negara), terutama dikalangan para sarjana, masih tetap digunakan secara silih berganti.

Oleh karena itu, dalam perkembangannya, selain istilah hukum internasional, juga dikenal istilah hukum publik internasional atau hukum internasional publik. Ketiga istilah itu, yaitu hukum internasional, hukum publik internasional, dan hukum internasional publik masih juga sering digunakan silih berganti namun dalam pengertian yang sama. Sedangkan untuk menunjukan hubungan-hubungan hukum antara subyek-subyek hukum yang melintasi batas­-batas wilayah negara yang bersifat perdata (bukan publik), digunakan istilah hukum perdata internasional. Seperti halnya hukum (publik) internasional, hukum perdata internasional-pun memiliki sifat dan ciri tersendiri.

Read more

SENGKETA INTERNASIONAL DI KAWASAN PERAIRAN LAUT CINA

0

DRAF PUBLIKASI ILMIAH
SENGKETA INTERNASIONAL
DI KAWASAN PERAIRAN LAUT CINA
ABSTRACT

The South China Sea has some of the world's busiest shipping lanes and is believed to hold huge oil and gas reserves. China claims all of it, while several Southeast Asian nations claim parts.

In the South China Sea, China says the area has "always" been part of China because they had a name for it. And they have produced sup­posedly ancient maps that they con­strue as being maps of China.

The East China Sea is bounded on the east by Kyushu and the Nansei Islands of Japan, on the south by the island of Taiwan, and on the west by mainland China and the Asian continent. It is connected with the South China Sea by the Taiwan Strait and with the Sea of Japan by the Korea Strait; it opens in the north to the Yellow Sea.

There are disputes between the People's Republic of China (PRC), Japan, and South Korea over the extent of their respective exclusive economic zones.

The dispute between the PRC and Japan concerns the different application of UNCLOS II and UNCLOSE III. China proposed the application of UNCLOS III, considering the natural prolongation of its continental shelf (advocating the possibility of extending it as far as the Okinawa Trough). Japan, based on UNCLOS II, proposed the Median line division of EEZ, which has international legal precedents including the case concerning the Malta-Libyan dispute in 1980.

About 40,000 square kilometers of EEZ are in dispute. China and Japan both claim 200 nautical miles EEZ rights, but the East China Sea width is only 360 nautical miles. China claims an EEZ extending to the eastern end of the Chinese continental shelf (based on UNCLOS III) which goes deep into the Japanese's claimed EEZ.

A. Latar Belakang

Sengketa Laut Cina adalah merupakan sengketa in­ternasional yang didominasi oleh sengketa hukum (legal dispute). Faktor dominan yang mempengaruhi sengketa internasinal di Kawasan Laut Cina adalah sengke­ta hukum laut internasional. Oleh karenanya prinsip-prinsip yang dipergunakan atau yang dijadikan sebagai standar untuk menganalisa sengketa di Laut Cina ada­lah prinsip-prinsip hukum laut internasional ditambah dengan doktrin-doktrin yang sehubungan dengan prinsip itu. Dalam hubungan ini dicoba dikaji materi-materi persengketaan yang dominan banyak mempengaruhi sengketa Laut Cina.

Sebagaimana diketahui bahwa timbulnya persengketaan antara negara-negara tidak saja dipengaruhi oleh issu persilangan kedaulatan antara negara-negara tetapi issu yang paling dominan adalah issu ekonomi. Issu ini terutama sekali paling banyak melatari sengketa antara negara-negara di lautan. Adalah muskil seka­Ii melakukan penganalisaan atas sengketa hukum laut internasional dengan mengabaikan issu dominan yang berpengaruh di dalamnya yaitu issu ekonomi.

Dalam skala perkembangan hukum laut internasional beberapa kepentingan yang melatarbelakangi timbulmya, persengketaan. Kepentingan-kepentingan tersebut dapat dikonkulasikan dalam tiga faktor utama yaitu;

Faktor utama dalam bidang ekonomi,

Faktor utama dalam bidang kedaulatan,

Faktor utama dalan bidang sekuriti (ideolo­gi dan politik).

Faktor utama dalam bidang ekonomi dapat dilihat dari perkembangan tata-aturan dalam hukum laut dengan pengaturan dari rezin ke rezim. Sejarah telah menunjukkan terjadinya kasus yang terkenal da­lam literatur hukum laut inetrnasional yang disebut "Anglo-Norwegian Fisheries Case," (berdasarkan Keputusan Mahkamah Internasional tahun 1951). Kasus wilayah penangkapan ikan di Laut Utara ini telah menimbulkan aspirasi baru dalam perkembangan hukum laut internasional di kemudian hari. Dari kasus inilah dimulai babab baru dalam penetapan penarikan batas wilayah laut dengan garis pangkal lurus. Tidak diungkap lebih jauh Kasus Anglo-Norwegian ini disini daripada sekedar mengemukakan bahwa pertimbangan utama dari tuntut-menuntut antara Inggris dengan Norwegia dalam kasus ini adalah pertimbangan ekonomi (sumberdaya perikanan). Demikian pula halnya terhadap penetap­an rezim landas kontinen (continental shelf) yang diumumkan oleh Presiden Amerika Serikat Harry S. Truman dalam tahun 1945 mengenal sumberdaya ekonomi di da­sar laut, dan tanah di bawahnya. Yang paling mengesan­kan dalam perkembangan hukum laut dari segi kepentingan ekonomi ialah apa yang ditetapkan oleh Chili, Ecu­ador dan Peru tahun 1947 mengenal klaim 200 mil, laut yang dikemudian hari menimbulkan inspirasi lahirnya satu rezim hukum yang terbaru dalam sejarah hukum laut yaitu zona ekonomi eksklusif (exclussive economic zone).

Dalam bidang kedaulatan sebetulnya berhubungan langsung dengan perluasan wilayah negara. Dalam seja­rah hukum laut internasional berturut-turut telah terjadi tiga kali perubahan pengaturan dalam penetapan batas-betas kedaulatan laut wilayah. Yang pertana penetapan batas laut wilayah sejauh tembakan merian (canon shot rule) kemudian penetapan batas laut wila­yah sejauh 3 mil laut, (three nautical miles) dengan melingkupi masing-masing daratan pulau atau kepulauan. Teori kedaulatan tiga mil laut ini relatif berta­han cukup lama. Lalu yang terakhir penetapan prinsip kedaulatan negara di wilayah laut dengan 12 mil (twelve nautical miles) dengan prinsip garis pangkal lurus (archipeIacic principle Into the outermost Paint to point).

Sedangkan faktor utama dalam bidang sekuriti (ideologi dan politik) merupakan ciri khusus beberapa kawasan negara-negara yang terlibat dalam sengketa Iaut (caracter of the marine dispute).L Pengaruh ini sebetulnya adalah pengaruh psikologi politik dalam sengketa internasIonal yang banyak sekali mempengaruhi prinsip-prinsip dalam sengketa hukum. Di beberapa sengketa kawasan perairan ciri kekhususan dalam fak­tor sekuriti ini kadang-kadang kurang dominan kalau tidak dapat dikatakan tidak ada. Tetapi hampir semua sarjana yang melakukan studi dalam sengketa Laut Cina cukup mempengaruhi analisa mereka dalam ciri ke­khususan ini (adanya penetapan “Militery Zone" Korea Utara di Laut Jepang dan Cina di Laut Kuning).

Oleh Mochtar Kusumaatmadja ketiga faktor di atas sebetulnya merupakan tindakan atau aksi dalam hukum internasionaI untuk melindungi kepentingan negara-ne­gara di abad pertengahan secara sepihak. Mochtar menuliskan bahwa apabila kita analisa tindakan-tindakan sepihak negara-negara diabad pertengahan maka tindak­an-tindakan yang bertalian dengan laut yang dilakukan itu dapat dapat dikembalikan atau digolongkan dalam tindakan-tindakan penggunaan laut sebagai berikut: 1) Tindakan yang dilakukan untuk melindungi laut sebagai ­sumber kekayaan terutana perikanan; 2) tindakan yang menganggap Iaut sebagai jalur proteksi baik ia bertujuan melindungi kepentingan keamanan dan pertahanan, bea eukai, kesehatan dan lain-lain; 3) tindakan yang bertujuan melindungi Iaut sebagai sarana komunikasi .

Ketiga faktor yang pertama itu berbeda dengan ke­tiga faktor yang terakhir sebab selain perbedaan mo­mentum karena ukuran yang dilakukan oleh Mochtar Kusumaatmadja adalah ukuran abad pertengahan yang relatif persoalan hukum laut belum kompleks maka hal lain tuntutan perkembangan dalam ilmu dan teknologi kelautan yang demikian pesat. Ukuran ketiga faktor yang perta­ma adalah ukuran modern di penghunjung abad ke-20. Tuntutan yang paling utama dalam sengketa itu adalah masalah wilayah-wilayah konsesi minyak. Urgensi utama faktor ekonomi yang menyoroti sengketa wilayah Laut Cina adalah tumpang-tindih wilayah-wilayah konsesi minyak. Hampir semua analisa sarjana dalam kasus sengketa Laut Cina tidak bisa mengindahkan masalah sengketa wilayah konsesi minyak ini. Laut Cina dalam dimensi perekonomian memang termasuk wilayah yang mempunyai pertumbuhan ekonomi paling cepat di dunia. Pertumbuhan itu paling banyak dalam pacuan perkembangan industri manufaktur daripada industri jasa dan ri­ngan (home industry) Dengan demikian memerlukan bahan bakar minyak untuk kebutuhan pabrik-pabrik industrinya yang setiap tahun bertambah. Terutama untuk kebutuhan pabrik-pabrik di negara-negara Soviet-Asia, Jepang, RRC, Korea dan Vietnam. Akibatnya negara-negara ini berlomba mencari ladang minyak dilepas pantai sepanjang kawasan perairan Laut Cina mulai laut Je­pang, Laut Kuning, Laut Cina Timur dan Laut Cina Selatan.

Dari apa yang telah dituliskan di atas pendekatan-pendekatan yang sangat menentukan pada semua analisa adalah doktrin para sarjana. Sebagai salah satu sumbur hukum dalam hukum internasional maka doktrin para sarjana relatif baik untuk dijadikan titik pang­kal penganalisaan lebih lanjut apalagi dalam sengke­ta Laut Cina status wilayah atas beberapa pulau, la­ut dan teluk masih terkatung-katung. Pemilikan atas pulau-pulau masih belum jelas, sehingga argumentasi para ahli dari masing-massing negara yang mengajukaim klaim atas pulau-pulau itu menarik diamati. Demikian pula pernyataan (statement) para pemimpin negara-negara yang bersangkutan. Pandangan ahli terutama sekali cukup menarik pada persepsi mereka terhadap dokumen-dokumen hukum yang telah lahir melandasi status wilayah di Laut Cina itu. Demikian pula mengenai hasil-hasil rumusan Konvensi Hukum Laut Internasional di Jene­wa tahun 1958 dan Konvensi Hukum Laut Internasional di Montigo Bay Jamaica, tahun 1982. Khususnya menarik partisipasi sebagian peserta pada perumusan hasil-hasil konperensi hukum laut pada kedua konvensi tersebut. Terutama di Laut Cina pada Konvensi Hukum. Laut di Jenewa tahun 1958 beberapa negara tidak ikut menan­datanganinya sehingga mempengaruhi klaim atas tuntutan hukum, di perairan kawasan itu. Dua negara yang melaku­kan klaim terbesar di sepanjang wilayah perairan Laut Cina yaitu RRC dan Jepang tidak ikut. dalam konperensi Hukum Laut Internasional 1958 di Jenewa. Khususnya Cina dan ikut menandatangani Konvensi Hukum Laut Inter­nasional 1982 di Montigo Bay, Jamaica, tetapi beberapa sidang konperensi hukum laut ketiga (UNCLOS III) tidak dihadirinya.

Hal-hal inilah sebagai metode utama yang menarik untuk kita paparkan dalam menganalisa sengketa Laut Cina

B. Pengertian Sengketa, Internasional Dalam Kasus Laut Cina
1 Sengeta Hukun Internasional.

Sengketa perairan teritorial di kawasan Laut Cina adalah sengketa internasional (international dispute). Oleh karena itu sebelum tiba pada analisa yang lebih jauh mengenai sengketa pera­iran teritorial Laut Cina terlebih dahulu di­ungkap serba sedikit tentang sengketa internasional (International dispute) sebagai pengantar memasuki sengketa perairan-teritorial Laut Cina. Setalah memaparkan secara umum, gambaran sengketa-internasional, kemudian dianalisa, serara khusus model-model sengketa Laut Cina seba­gai obyek pembahasan pokok dalam tulisan ini. Apalagi dalam penyelesaian sengketa internasional Laut Cina mempunyai ciri kekhususan berdasarkan pengamatan para akhli hukum internasional karena merupakan kombinasi penyelesaian sengketa hukum dan politik (to combined both settle­ment disputes Judicial and politic).

Kesimpulan sementara dari rumusan para akhli mengemukakan bahwa sengketa internasional a­dalah sengketa yang melibatkan antara dua nega­ra atau lebih terhadap suatu obyek yang dipersengketakan. Obyek yang dipersengketakan pada umumnya dapat berupa masalah kedaulatan negara, masalah perbedaan panutan ideologi dan persaingan dalam bidang ekonomi. Tanpa mengindahkan obyek sengketa internasional maka berdasarkan rumusan yang sempit ini, subyek sengketa internasional adalah negara. Negaralah yang dapat dikategorikan sebagai subyek dalam sengketa internasional. Sekalipun demikian beberapa ahli tetap melibatkan individu atau badan-badan hukum lain sebagai subyek dalam sengketa internasional. Starke misalnya menuliskan bahwa timbulnya sengketa negara-negara pada umumnya dengan tim­bulnya sengketa antara individu-individu, kecuali akibatnya sengketa pertama dapat lebih ber­bahaya.

Sengketa internasional secara umum terbagi dalam dua jenis yaitu; sengketa dalam hukum in­ternasional (legal dispute) dan sengketa poli­tik (political dispute). Pembagian umum sengke­ta internasional ini sebenarnya merupakan pembagian yang cukup klasik, tetapi bertahan sampai sekarang. Dalam hal ini Oppenheims-Lauterpach mengemukakan bahwa:

"International differences can arise from a va­riety of grounds. They are generally divided in to legal and political. Legal differences are those in which the parties of the dispute base, their respective claims and contentions on gro­und recognised by International Law. All other controversies are usually referred to as political or as conflicts of interest."

Lebih jauh dikemukakan:

"Political and legal differences can be settled either by amicable or by compulsive meansMost State have now undertaken wide obligations in sphere of compulsory Judicial settlement.. The majority of then are bound by the obligations of the so-called optional clause of the Statu­te of the International Court of Justice and even more comprehensive commitments. But this instrument do not substantially affect the rule expressly affirmed by the court that no universal international legal duty as yet exist far state or settle their differences through arbitration or judicial process."

Sebetulnya pandangan Oppenheims Lauterpacht di atas tidak memberi kejelasan yang tepat dimana letak perbedaan antara kedua sengketa hukum dan politik dalam skala internasIonal. Kekaburan yang lama juga dilakukan oleh sarjana-sarjana lain. Dalam praktekpun tergambar secara terang-benderang tentang bagaimana sesungguhnya penyelesaian sengeta menurut hukum (judicial settlement) dan penyelesaian sengketa secara politik. (Political settlement). Jika berpatokan dari cara penye­lesaian untuk mengukur jenis sengketa maka kesu­litan penting dari keduanya karena cara-cara pe­nyelesaian sering terjerumus pada tumpang-tindih keduanya. Apalagi kadang-kadang penawaran penyeIesaian hukum tidak disepakati secara bersama.

Keputusan Mahkamah Internasionalpun sering ti­dak diindahkan oleh salah satu pibak. Sedangkan tindakan kekerasan hanya bisa dilakukan berdasarkan persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan menurut penelitian Dewan Keamanan PBB pasal 34:

"The Security Counsil may investigate any dispute, or any situation which might lead to inter­national friction or give rise to a dispute, in the order to determine whether the continuance of the dispute or situation is likely to endanger the maintenance of international peace and security”

Yaitu yang memang benar-benar membahayakan keamanan dan terciptanya perdamaian internasional.

Sekalipun timbul kekaburan dalam menganalisa secara parsial kedua jenis sengketa ini tetap beberapa sarjana mencoba memberinya perbedaan terutama patokan mereka pada tafsiran Piagam PB­B. Sebagaimana dituliskan oleh Starke25 peratur­an-peraturan dan prosedur yang telah diterima oleh hukum internasional berkenan dengan pertika­ian itu sebagian berupa kebiasaan atau praktek dan sebagian merupakan konsepsi-konsepsi yang membentuk hukum seperti Konpensi Den Haag 1899 serta 1907, guna penyelesaian secara damai dari pertikaian-pertikaian internasional (Pacific Settlements of International Disputes) serta Piagam PBB yang dibuat di San Francisco 1945. Pandangan Starke ini kurang lebih banyak dijadikan patokan para ahli berikutnya sebagai sandaran un­tuk menganalisa sengketa hukum internasional u­tamanya kebiasaan-kebiasaan dalan praktek dan konsepsi hukum tentang sengketa internasio­nal.

Apabila diambil pedoman pandangan di atas maka terutana dalan praktek dan konsepsi hukum landasan pokok yang pada umumnya dijadikan patokan para ahli untuk menganalisa sengketa hukum internasional adalah pasal.33. Bab VI Piagam PBB :

"The parties to any dispute, the continuance of which is likely to endanger the maintenance of international peace and security, shall, first of all, seek a solution- by, negotiation, enquiry, mediation, conciliation, arbitration, judicial settlement, resort to regional agencies or arrangements, or other peaceful means of their own choice," (ayat 1).

Patokan pasal 33 ayat 1 ini merupakan landasan secara umum dari keseluruhan Bab VI Piagam PBB yang disebutnya Penyelesaian Sengketa Secara Da­mai (Pacific Settlement of Dispute), dan menjadi analisa panjang para ahli.

Yang cukup mengesankan dari analisa-analisa para ahli hukum internasional adalah ditariknya semua konsepsi pasal 33 ini sebagian cara penyelesaian menurut hukum, tanpa mengindahkan bahwa terdapat anak kalimat dalam pasal ini mengenai penyelesaian secara hukum (judicial settlement). Dalam praktekpun seringkali beberapa unsur dalam pasal 33 diwarnai dengan “Solusi politik”. Terutama sekali dalam hal "seek a solution by negotiation and mediation”' kadang-kadang negara-negara yang menjadi penengah sering “berpihak,". Contoh, kedudukan Amerika Serikat dalam menyelesaikan Perang Arab-Israel. Pandangan ini sesungguhnya cukup kontroversial karena dominasi penyelesaian, sengketa secara damai dianggap pula sebagai penyelesaian sengketa secara hukum.

Jika semua unsur yang terdapat dalam pasal 33 Piagan ini diterima sebagai patokan penyelesaian merurut hukum (judicial settlement) yang berarti timbulnya sengketa internasional yang berpatokan pada pasal ini, lalu sengketa politik itu bagaimana ?

b.2. Sengketa Politik Internasional

Tentang sengketa politik ini menarik dikemu­kakan catatan kaki; (footnotes) dari' Oppenheims Lauterpacht bahwa sengketa politik apabila dipe­ngaruhi oleh tiga kategori persengketaan yaitu:

1) It may be based on the view that some dispu­tes or political or, non-justiciable because owing to the defective development of Inter­national

Law they can not be decided by existing rules of law;

2) It may be grounded in the opinion that certa in disputes are “political” inasmuch as they affect so vitally the independence and sove­reignity of States as to render unsuitable a decision based exclusively on legal conside­rations,

3) It may have reference to the attitude of the partly putting forward a claim or a defence

Dengan demikian kiranya semua unsur yang tidak termasuk dalam kategori penyelesaian hukum di­anggap sebagai sengketa politik. Dalam sengketa mengenai status kedaulatan negara kadang-kadang secara “politis” negara-negara yang bersengketa menempuh penyelesaian sendiri secara sepihak sebagai alasan untuk keutuhan wilayah dan kemanan nasionalnya. Oleh patokan Oppenheims-Lauterpacht inilah yang dijadikan acuan sarjana-sarjana berikutnya yang pada umumnya menganggap bah­wa sengketa dengan jalan kekerasan adalah seng­keta politik. Kekerasan tentunya dilakukan secara sepihak atau bersama-sama negara seide tanpa melibatkan negara lain sebagai lawan sengketa. Penyelesaian sengketa dengan cara-cara militer sepihak dianggap jalan “politik” bukan hukum. Yang menarik lainnya dalam analisa Oppenheims Lauterpacht adalah apa yang ditulisnya tentang “a claim for a change in the law are disputes as to ‘conflicts of interest, and as such political and non-justiable.” Dengan demikian sua­tu tuntutan yang tadinya dalam kategori sengketa hukum dapat berubah menjadi ‘konflik berdasarkan keinginan sendiri' dan dengan demikian terjerumus menjadi sengketa politik. Sebagai contoh kasus Teluk Sidra di Laut Tengah (Mediteranean) yang sebetulnya merupakan kasus hukum tetapi berubah menjadi sengketa politik (conflict of in terest) karena masing-masing pihak, baik Lybia maupun Amerika Serikat ingin menyelesaikan de­ngan caranya sendiri-sendiri. Kadang-kadang suatu konsepsi hukum hanya dijadikan sebagai dalih untuk kepentingan politik apabila masing-masing negara teIah terjerumus ke dalam suatu konflik. Amerika Serikat misalnya hanya menjadikan pasal 10 ayat 4 dan 5 Konvensi Hukum Laut seba­gai dalih untuk menyerang Lybia dalam kasus Te­luk Sidra. Dengan demikian perubahan solusi da­ri hukum ke politik sangat berpengaruh dalam suatu. sengketa.

Di Laut Cina pengaruh perubahan solusi se­macam itu sangat potensial. Pengamatan-pengamat­an para ahli memperhadapkan kita pada pengana­lisaan yang sama membingungkannya. Konteks penyelesaian hukum dalam praktek lebih nihil dibanding penyelesaian politik. Realitas politik, dalam penyelesaian sengketa di kawasan tampak lebih dominan. Seperti telah dikemu­kakan dalam bab pendahuIuan bahwa di Laut Cina selain masalah sengketa yurisdiksi negara-nega­ra telah diperparah juga dengan perbedaan Ideo­logi politik dari negara yang saling bersenge­ta. Persengetaan dengan dasar ideologi mempengaruhi seputar kawasan yang membentang dari Selat Proliv-Semenanjung Kamchatca di Utara Timur Laut sampai ke kizaran Kepulauan Spratly di La­ut Cina Selatan. Seperti telah diketahui bahwa ideologi yang saling berhadap-hadapan di sepan­jang kawasan Laut Cina adalah dasar ideology sosialis-komunisme dan kapitalis-liberalisme. Persilangan dasar ideologi ini banyak berpenga­ruh terhadap keseluruhan implikasi perimbangan politik di kawasan Asia-Pasifik.

Yang menarik terhadap studi sengketa politik di Laut Cina ini adalah terdapatnya persi­langan sengketa dasar ideologi politik ini pada sepanjang garis pantai sehingga seorang ahli politik Amerika Serikat George F. Kennan mengeluarkan teorinya yang terkenal yang disebut “Rimland Theory” (teori daerah pinggiran). Teo­ri ini mengemukakan bahwa pengaruh-pengaruh po­litik dasar pantai di Laut Cina (coastline political influences) sangat bergantung dari dua sisi yang sama berat. Sisi satunya yaitu pendekatan posisi daratan. (Mainland position approach) dimana akar tunggang komunisme bertumbuh. Dengan demikian dalam posisi daratan ini terda­pat negara-negara Uni Soviet yang bergaris pantai di Laut Jepang; Korea Utara yang bergaris pantai di Laut Jepang dan Laut Kuning; Republik Rakyat Cina yang bergaris pantai dari Laut Kuning, Laut Cina Timur sampai di Laut Cina Sela­tan; Vietnam yang bergaris pantai dari Teluk Tonkin di Laut Cina Selatan hingga Teluk Taiwan. Negara-negara yang menduduki posisi daratan ini semuanya menganut faham sosialis-komunisme. Se­dangkan sisi yang satunya lagi yaitu pendekatan dalam posisi kepulauan (archipelago position ap­proack) dimana akar kapitalis-liberalisme bertumbuh. Dalam posisi kepulauan ini, terdapat negara­-negara Kepulauan Jepang di sisi. Timur Laut Je­pang dan Laut Cina, Timur; Republik Cina Taiwan di Pulau Formosa di Laut Cina Timur; Negara Kepulau­an Hongkong dan Macao di Laut Cina Timur. Kepula­uan Pilipina di sisi Timur Laut Cina Selatan dan Malaysia Timur (Serawak) serta Brunei disisi Timur Laut Cina Selatan. Negara-negara kepulauan i­ni menganut paham non-komunis.

Rimland Theory inilah yang dijadikan landasan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Foster Dalles. (dimasa pemerintahan Presiden Eisenhower) tahun 1952, melakukan politik pengepungan komunisme yang terkenal dengan sebutan Containment Policy. Politik ini berusaha membendung pe­ngaruh-pengaruh komunis meluas ke wilayah kepulauan di sepanjang Pasifik. Politik pembendungan ini ditancapkan dari Laut Jepang membentang sam­pai di Laut Cina Selatan. Akibat adanya pagar pembendungan politik ini tidak ayal lagi menim­bulkan banyaknya insiden politik dan militer di kawasan. Provokasi yang dilakukan secara spora­dis dan terus-menerus dari satuan-satuan angka­tan laut dan udara Uni Soviet memasuki wilayah perairan dan udara Jepang di sepanjang Laut Je­pang. Klaim Uni Soviet atas ketiga selat yang masuk kedalan perairan Jepang yaitu Selat Soya (yang menghubungkan antara Pulau Hokaido dan Kepulauan Kuril di Utara); Selat Tsugaru (yang menghubungkan antara Pulau Honsu dan Pulau Hokaido) dan Selat Tsushima (yang menghubungkan an­tara Pulau Tsushima yang diklaim Korea Selatan dan Pulau Shikoku) yang menganggap ketiga selat itu adalah selat internasional. Klaim Uni Sovet itu merupakan alasan politik karena hanya pada ketiga selat itulah kapal-kapal selamnya (yang bertenaga nuklir) bisa Iewat memasuki Samudra Pasifik. Akibat lain dari containment policy ini adalah meletusnya Perang Vietnam ta­hun 1967 sampai dengan kekalahan Vietnam Selatan tahun 1974. Perang Vietnam ini dapat dipandang sebagai insiden politik dan militer yang paling berdarah dan paling bersejarah di Asia Pasifik dan Timur Jauh.

Yang cukup menarik adalah terjadinya alur (trend) negara-negara komunisme di daratan Laut Cina dalam paskah Perang Vietnam. Terjadi konflik Sino-Soviet dan Sino-Vietnam. Perubah­an alur ini membuat Amerika Serikat mendekati Cina apalagi dengan dibubarkannya Partai Komunis Indonesia yang dianggap ancaman potensil dari strategi Amerika Serikat di Asia Tengga­ra. Cina mererima baik uluran tangan Amerika Serikat dan di sepakatilah suatu perjanjian hu­bungan baik antara Cina dan Amerika Serikat yang disebut Shanghai-Communique (Komunike Shanghai) tahun 1972. Isi dari Komunike Shanghai itu berbunyi:

1. Kedua negara berhasrat mengurangi bahaya konflik militer internasional;

2. Tidak satupun diantara mereka ( baik Cina maupun Amerika Serikat) akan mengusahakan hegemoni di Kawasan Asia Pasifik atau di sesuatu kawasan lain di dunia dan masing-masing pihak menentang usaha-usaha oleh sesuatu negara lain atau kelompok negara lain untuk membangun hegemoni semacam itu;

3. Tidak satupun diantara mereka bersedia berun­ding atas nama sesuatu pihak ketiga, atau ma­suk kedalam persetujuan-persetujuan atau saling pengertian dengan lainnya yang ditujuk­an kepada negara lain;

4. Amerika Serikat mengakui posisi Cina bahwa hanya ada satu Cina dan Taiwan adalah bagian dari Cina;

5. Kedua belah pihak percaya bahwa pemulihan hu­bungan Cina-Amerika Serikat bukan saja demi kepentingan rakyat-rakyat Cina dan Amerika, akan tetapi juga memberikan sumbangan bagi usaha menciptakan perdamaian di Asia dan di dunia.

Walaupun telah disepakati Komunike Shanghai ini masih ada ganjalan dalam hubungan kedua negara yaitu mengenai Status Taiwan (pasal 4 dari Komu­nike). Apalagi dalam Komunike Bersama (Joint Communique) antara Amerika Serikat dan Cina pada Agustus 1982 disepakati tiga pasal mengenai Sta­tus Taiwan yaitu:

1. There is but one China, and Taiwan is part of China;

2. The Chinese on both sides of the Taiwan Stra­it should resolve their dispute peacefully;

3. U.S. sales of militery equipment to the government on Taiwan should be for defensive purpo­ses only, and should be reduced as the threat of the use of force to resolve the conflict recerdes.

Melihat kedua komunike di atas maka terdapat gan­jalan yang sangat mendasar dari hubungan kedua negara yaitu masalah status Taiwan. Sampai hari ini Amerika Serikat masih segan melepas Taiwan sementara Cina terus-menerus menuntut agar Tai­wan diserahkan pada Cina.

Akibat lain dari Komunike Shanghai ialah semakin memburuknya hubungan Cina dengan Vietnam. Seringnya terjadi konflik perbatasan antara ke­dua negara terutana serangan pasukan-pasukan Cina kedalam wilayah Vietnam pada 17 Pebruari 1979. Insiden-insiden berdarah antara Cina dan Vietnam sebetulnya telah ada ketika Cina melan­carkan penyerbuan ke Pulau Hainan di Teluk Ton­kin dan melakukan okupasi di pulau itu pada Juli 1974, penyerbuan itu kemudian dilancarkan sampai ke Kepulauan Paracel dan menduduki gugus kepulauan tersebut. Selain dari itu pula semakin memanasnya insiden-insiden perbatasan anta­ra Korea Utara dan Korea Selatan, tidak saja insiden-insiden di daratan, tetapi juga di laut yaitu Laut Kuning dan Laut Jepang.

Berdasarkan beberapa pemikiran di atas meru­pakan akumulasi untuk memasuki sengketa Laut Cina seperti telah dikemukakan di atas maka sengketa Laut Cina merupakan sengketa yang sering­kali status hukumnya tidak jelas, disamping itu pengaruh solusi politik yang demikian besarnya. Beberapa wilayah yang sering menimbulkan kerawanan dan mengancam perdamaian serta keselamatan ummat manusia. Bukan saja masalah tuntutan wilayah kedaulatan yang berpengaruh besar atau merupakan faktor dominan dalam sengketa tetapi lebih dari itu faktor ideologi yang berbeda yang seringkali menimbulkan kesenjangan dalam penye­lesaian sengketa di Laut Cina.



C. Gambaran Umum Sengketa Perairan Teritorial Laut Cina
1. Keadaan Wilayah


Sebelum meninjau sebegitu jauh tentang kea­daan wilayah di Laut Cina maka menarik untuk digambarkan secara sepintas tentang pengertian Laut Cina dari sudut pandangan pergolakan politik (sengketa politik) dan Laut Cina dari su­dut pandangan sengketa hukum laut.

Laut Cina dari sudut pandang politik ada­lah merupakan bagian dari keseluruhan studi A­sia dalam pergolakan politik. Pembagian Asia, berdasarkan pendekatan-pendekatan politik (Asia Studies) sama halnya dengan pendekatan-pendekatan budaya sudut studi ketimuran (Oriental Studies). Kalau dalam studi ketimuran terbagi dalam Timur Dekat (Near-East). Timur Tengah (middle-East) dan Timur Jauh (Far-East) maka dalam Skala Asia terbagi dalam Asia Barat (West Asia), Asia Selatan (South Asia). Asia Tenggara (South­east Asia) dan Laut Cina (East Asia). Asia Barat (West Asia), yang dipengaruhi oleh latarbela­kang kebudayaan Sungai Tigris dan Eufrates terdapat gugus negara-aegara Arab Saudi, Kuwait, Lebanon, Jordania, Turki. Israel. Qatar, Yaman (Uta­ra-Selatan), Iran dan Irak. Asia Selatan (South Asia) yang dipengaruhi oleh latarbelakang kebu­dayaan Sungai Hindi terdapat gugus negara-nega­ra India, Caylon, Nepal, Pakistan, Banglades dan Afghanistan. Asia Tenggara (Southeast Asia) yang dipengaruhi oleh latar belakang kebudayaan Sungai Mekong dan Melayu-Malanesia terdapat gugus negara-negara Indonesia, Pilipina, Malaysia, Singapura, Thailand, Brunei, Vietnam, Laos dan Kamboja. Dan yang terakki-r Laut Cina (East Asia) yang di pengaruhi oleh latar belakang kebudayaan Sungai Kuning terdapat gugus negara-negara Cina (RRC) Jepang, Korea (Utara-Selatan), Taiwan, Hongkong dan Macao.

Dengan demikian ukuran-ukuran wilayah Laut Cina dalam pengertian politik hanya nencakup tiga wilayah peraira. yaitu Laut Kuning. (Yellow sea). Laut Cina Timur (East China Sea), dan Laut Jepang (Sea of Japan), dengan mengindahkan ­Laut Cina Selatan (South China Sea). Padahal da­lam studi sengketa hukum laut internasional me­nyangkut wilayah Laut Cina mencakup sepanjang wilayah Timur Uni Soviet sampai dengan Semenanjung Vietnam dan Kepulauan Pilipina di Asia Tenggara (dalam ukuran politis). Karena tulisan ini adalah sengketa dalam hukum laut maka tentunya pengertian Laut Cina yang dianut dalam tulisan ini adalah pengertian Laut Cina menurut ukuran dalam studi sengketa hukum laut.

Luas wilayah sengketa di Laut Cina mencakup 5.400.000 kilometer persegi. Wilayah itu men­bentang dari ujung Selatan Semenanjung Sakhalin dan Kamchatea di Utara Timur Laut sampai dengan gugus Kepulauan Spratly di Laut Cina Selatan. Perincian wilayah sengketa tersebut sebagai berikut; Laut Jepang dengan wilayah sengketa seluas 900.000 kilometer persegi yang membentang dari Semenanjung Kamchatca di Utara sampai ke pintu Laut Jepang di Selatan yaitu Selat Tsushima. Laut Kuning dengan luas wilayah sengketa 400.000 kilometer persegi yang membentang dari sepanjang sisi Selatan Tenggara Semenanjung Liao-Tung dan Delta Sungai Yalu di Teluk Po Rai sampai ke gugus Kepulauan. Sohuk­san (Sohuksan-Do,) yang terletak antara Semenanjung Kiang-su di daratan Cina dan Palau Cheju (Cheju Do) di Korea Selatan. Laut Cina Tiamur de­ngan luas wilayah 700.000 kilometer persegi-menmbentang dari Selat Tsushima-Pulau Cheju-Kepulau­an Sohuksan sampai ke Teluk Bashi. (Bashi Channel) sebelah Tenggara Pulau Formosa. Sedangkan Laut Cina Selatan yang merupakan wilayah perairan yang terluas di Laut Cina luas wilayahnya 3.400.000 kilometer persegi yang membentang dari gugus Kepulauan Pratas. (Pratas Islands-Tsungsha Chuntao) di Utara membujur sampai ke gugus Kepulauan Spratly di Selatan.

Dari keempat laut yang luasnya 5,4 juta kilo­meter tersebut bertebaran kurang lebih 124.000 pulau-pulau, kepulauan karang dan gugusan-gugusan yang tidak berpenghuni kurang lebih 200 teluk dan 100 buah selat.

Letak keempat laut di wilayah Laut Cina itu pun mempunyai ciri dan karakter tersendiri-sendi­ri. Laut Jepang mempunyai kedalaman rata-rata 100 sampai 200 meter merupakan laut yang mempunyai kedalaman yang tertinggi diantara keempatnya. Karena kedalaman yang demikian dan wilayah pesisirnya ba­nyak karang dan atol maka wilayah Laut Jepang sangat potensil dengan sumber daya perikanan teruta­ma di wilayah perairan Laut Jepang bagian Utara. Selain bagi potensi militer (terutana untuk Uni Soviet) maka Laut Jepang sangat memungkinkan diseli­weri oleh papal-kapal selam (sea laumched). Laut Kuning berbeda dengan Laut Jepang karena laut hanya mempunyai kedalaman rata-rata antara 50-100 meter dan mempunyai landas kontinen yang Iuas se­hingga pertikaian tumpang tindih wilayah (overlap­ping area) sangat banyak di laut ini. Apalagi Laut Kuning potensil dengan hasil-hasil dari pertambangan minyak. Hampir sebujur Laut Kuning ini terdapat wilayah-wilayah konsesi minyak. Laut Cina Timur ke dalamannya sangat bervariasi rata-rata antara 50-100 meter dan 100-150 meter dan juga mempunyai co­rak alamiah menyerupai Laut Kuning dengan landas­ kontinennya serta mempunyai hasil minyak yang ba­nyak serta ditambah sumber daya perikanan. Laut Cina Selatan karena mempunyai wilayah yang demikian luas maka corak alamiahnya berbeda-beda. Pada bagian Utara terdapat kedalaman rata-rata di atas 150 meter sedangkan bagian selatan rata-rata antara 50 sampai dengan 100 weter. Selain potensi minyak dan kekayaan perikanan maka wilayah ini menjadi re­butan karena sebagai wilayah rute suplai energi minyak dari ladang-ladang minyak di Timur Tengah ke negara-negara industri di Kawasan. Laut Cina.

Di wilayah perairan Laut Cina terdapat empat gugus kepulauan besar yang mempunyai potensi persengketaan terbesar. Gugus-gagus kepulau­an itu adalah gugus Kepulauan Kuril (Kurile Is­lands) di wilayah perairan Laut Jepang, gugus Kepulauan Ryukyu (Ryukyu Islands) di perairan. Laut Cina Timur gugus Kepulauan Paracel (Para­cel Islands) di Laut Cina Selatan dan gugus Ke­pulauan Spratly (Spratly Islands) juga diperai­ran Laut Cina Selatan.

Gugus Kepulauan Kuril, (Kurile Islands) oleh Uni Soviet diberi nama Kurilskiye Ostrova se­dangkan oleh Jepang diberi nama Chishima-Retto. Gugus Kepulauan Kuril mempunyai kurang lebih 56 pulau-pulau dan beberapa pulau-pulau kecil, ka­rang dan atol. Bagi Uni Soviet kepulauan ini masuk dalam Sakhalin Oblast (wilayah administrasi Sakhalin), sebelah Timur Jauh Republik Soviet Sosialis Rusia. Kepulauan ini membentang sepanjang 750 mil atau 1200 kilometer dari ujung bagian Selatan dari Semenanjung Kamchatka ke sebe­lah Utara Timur Laut dari pulau Hokaido dan memisahkan antara Laut Okhotsk (Sea of Okhotsk) dan Samudra Pasifik. Luas wilayah Kepulauan Kuril ini 6000 mil) persegi atau 15.000 kilometer perse­gi. Pulau-pulau besar dan terpenting yang membentang dari Utara ke Selatan yaitu : Shumushu, Paramushiro, Onnekotan, Shasukotan, Shimushiru, Matua, Ketoi, Uruppu, Etorofu, Shikotan dan Kunashi­ri. Keunikan dari kepulauan ini ialah karena wlilayah ini merupakan rantai bagian daerah siklus yang tidak stabil secara geologis di Pasifik. Kepulauan Kuril mempunyai banyak gunung api yang masih aktif. Ada kurang lebih 100 gunung api dan 38 buah diantaranya yang paling aktif. Kuril mem­punyai banyak puncak gunung yang tingginya rata-rata diatas 3000 kaki. Yang tertinggi diantaranya ialah Gunung Chachanobori di Pulau Kunashiri tingginya 7382 kaki. Dengan potensi gunung api maka kepulauan ini banyak mengandung sulphur sumber-sumber air panas dan dari retakan-retakan gunung api menghasilkan pancaran uap air panas dan asap. Hutan bambu dan pohon kani koniferus merupakan hasil pepohonan di kepulauan itu, sedangkan jenis-jenis binatang yang banyak mendiami kepulauan itu adalah beruang, musang dan rubah. Perikanan merupakan sumber yang subur untuk suplai minyak ikan, ikan kering serta banyak an­jing laut. Ikan paus, ikan, kayu, pertambangan sulfur adalah merupakan hasil pokok di Kepulauan Kuril. Gelombang musim panas, gempa bumi dan a­rus gelombang pasang merupakan kejadian sehari-hari di sepanjang kepulauan itu. Sepanjang kepa­lauan merupakan mata rantai paralel dari landasan Pasifik yang disebut Palung Kuril. Kanchatca de­ngan kedalaman kurang lebih 34.586 kaki atau 10.542 meter, adalah merupakan palung yang terdalam di dasar Pasifik. Iklim rata-rata sepanjang tahun adalah dingin, dingin dengan hujan salju musim basah dan musim panas yang berkabut. Sayur-mayur dan padang rumput terbanyak di kepulauan bagian Utara sedangkan bagian Selatan adalah hu­tan-hutan. Jenis-jenis ikan yang terbanyak pulau adalah kepiting dan udang laut. Kota terbesar di Kepulauan Kuril adalah kota Kurilsk di Pulau Etorofu, yang merupakan pulau terbesar dan kota lainnya adalah Severo-Kurilsk di Pulau Paramushiro. Suhu di kepulauan itu rata-rata 160C. Pada bulan Agustus 70C. pada bulan Februari hujan salju turun paling banyak yang mana berlangsung setiap bulan dari akhir September sampai dengan permulaan bulan Juni salju bisa mencapai 6,15 kaki kedalamannya. Angin bertiup sangat kencang dan mencapai hampir 46 km perjam. Menurut beberapa ca­tatan Kepulauan Kuril banyak terdapat burung-bu­rung banyak diantaranya sering pula berpindah-pindah. Rata-rata pulau-pulau dipisahkan oleh selat-selat yang dalam yang terdalam diantaranya yaitu Selat Bussol kurang lebih 6.600 kaki dan, Selat Kruzen Shterua kira-kira 5.940 kaki. Per­lu dicatat bahwa empat gunung api tertinggi yaitu Gunung Api Alaid di Pulau Atlasova tingginya 7674 kaki yang sering meletus sejak tahun 1778, Gunung Tyatya di Pulau Kunashiri tingginya 5978 kaki, Gunung Fuss di Pulau Paramushiro tingginya 5814 kaki dan Gunung Sorycheva di Pulau Matua tingginya 4908 kaki yang telah meletus tahun 1946. Gempa bumi umumnya terjadi disertai gelombang pasang. Gelombang pasang rekord terjadi tahun 1737 mencapai ketinggian 210 kaki. Walaupun banyak juga musim panas di kepulauan itu tetapi beberapa pulau sama sekali tidak dihinggapi musim panas.

Gugus Kepulauan Ryukyu, oleh Jepang disebut­nya sebagai Pyukyu-Retto atau Nansei-Shoto, oleh Cina disebutnya sebagai Kepulauan Liu-chiu. Kepulauan Ryukyu ini membentang sepanjang 6,50 mil atau 1050 kilometer antara Pulau Kyushu bagian paling Selatan dari keempat pulau Jepang sampai ke Pulau Formosa (Cina-Taiwan). Kepulauan Ryukyu memisahkan antara Laut Cina Timur dari Samudra Pasifik. Luas kepulauan ini adalah 1338 mil atau 3465, kilometer persegi. Kepulauan Ryukyu terbagi dalam tiga gugus kepulauan (yang dalam bahasa Jepangnya gunto), dengan jumlah total penduduk (menurut sensus tahun 1965) adalah 1720.369 orang. Ketiga gugus kepula­uan itu ialah gugus kepulauan bagian Utara yaitu Kepulauan Amami dengan jumlah penduduk 186.193 termasuk pulau-pulau Tokara. Gugus kepulauan bagian tengah ialah Kepulauan Okinawa dengan jumlah penduduk 812-339 termasuk pulau Okinawa, Iheya, Pulau Kerama, Pulau Ie dan Pulau Kume. Gugus ke­pulauan bagian Selatan ialah Kepulauan Sakishima dengan jumlah penduduk 121.837 terdapat grup pulau-pulau dan Miyako dan tersebar beberapa grup pulau-pulau kecil, satu kelompok diantaranya ialah Kepulauan Senkaku (Tiaoyutai) yang juga di­klaim oleh Cina. Okinawa merupakan pulau terbesar dan mempunyai penduduk yang terbanyak di Kepulauan Ryukyu. Naha yang terletak di Pulau Okinawa itu merupakan kota terbesar di Ryukyu dan menpunyai pelabuban serta pangkalan angkatan laut Amerika Serikat. Iklim di Ryukyu adalah iklim subtropik. Temperatur suhu sepanjang tahun rata-rata 210C dan hujan turun sepanjang tahun rata-rata 84 in­ci atau 2100 millimeter. Pada musim panas angin Topan yang merusak sering datang melanda kepulauan ini. Harimau, ular berbisa, babi hutan dan kelinci hitam merupakan margasatwa yang hidup di sepanjang kepulauan ini. Pertanian adalah merupakan pencaharian pokok penduduk terutama hasil-hasilnya seperti padi, pisang, bit gula, kecap dan kentang. Perikanan sudah merupakan industri uta­ma. Pabrik di kepulauan ini telah berdiri terutama untuk industri makanan, pakaian, keramik dan hasil-hasil tembakau. Dengan basis militer Amerika Serikat mempercepat pertumbuhan ekonomi di Okinawa. Penduduk Kepulauan Ryukyu menyerupai ciri-ciri pisik orang Jepang lainnya. Tetapi baha­sa orang-orang Ryukyu banyak berbeda dengan orang-orang Jepang. Sistem pendidikan mengikuti pola pendidikan Jepang. Universitas Ryukyu di Okinawa merupakan universitas yang telah berdiri se­jak tahun 1950 atas bantuan Amerika Serikat. Okinawa menjadi basis penting militer Amerika Seri­kat dalam perang dunia II. Selama perang dunia II lebih dari 100.000 prajurit Jepang dan 12.000 tentara Amerika gugur di pulau ini. Sesudah perang dunia II Ryukyu berada dibawah administrasi Amerika Serikat dan Okinawa dibangun menjadi pusat strategi pangkalan angkatan udara. Okinawa kembali menjadi pusat pangkalan angkatan laut dan uda­ra pada operasi perang Vietnam pertengahan tahun 1960-an. Sebetulnya militer Amerika telah memberi kemajuan berarti bagi kepulauan ini namun pihak oposisi di Ryukyu dan Jepang, menentang kehadiran militer Amerika itu. Pada 15 Mei 1972 Okinawa dan pulau-pulau-Ryukyu lainnya yang masih dibawah administrasi Amerika Serikat telah djkembalikan se­penuhnya dibawah pengawasan Jepang. Amerika Seri­kat hanya melanjutkan kontroI basis dan fasilitas, militernya berdasarkan perjanjian keamanan Jepang Amerika Serikat, kebutuhan itu dilakukan Amerika Serikat untuk membantu serta melatih prajurit-prajurit Jepang. Dengan demikian suatu saat Jepang bisa mempunyai daya tangkal menangkis serangan dari luar dan Jepang bisa mandiri di bidang pertahanan.

Tentang gugus Kepulauan Paracel dan Kepulauan Spratly berbeda dengan kedua kepulauan yang kita sebutkan diatas, Kepulauan Kuril dan Kepulauan Ryukyu. Kedua kepulauan ini berada di Laut Cina Selatan dan keduanya mempunyai corak dan keada­an wilayah yang sama karena keduanya berada pa­da iklim tropik. Temperatur rata-rata sepanjang tahun di wilayah ini adalah bervariasi antara 15 dan 280C. Hujan turun rata-rata 2500 millimeter. Tumbuhan utama di kepulauan ini adalah kelapa, pohon minyak kayu putih, jenis buah-buahan seperti apel dan pisang. Kepulauan ini mempunyai ha­sil ekonomi yang penting dibidang perikanan, selain guano (sejenis pupuk dari kotoran burung). Sedangkan hasil perikanan terpenting pada kedua gugus kepulauan di Laut Cina Selatan ini ialah daging ikan (yang mempunyai nilai gizi yang tinggi), sotong, teripang, kerang-kerangan, penyu, dan tiram. Pada kepulauan ini para nelayan sering pula menjaring burung yang dagingnya merupakan makanan kesukaan bagi rata-rata penduduk di Laut Cina. Hal yang paling utama dari kedua pulau ini karena landas kontinennya mengandung sumber-sumber minyak yang sangat kaya dan merupakan sumber ekonomi penting. Dari sudut strategis maka kedua kepulauan ini penting untuk mengontrol jalur pelayaran utama yang merupakan ja­lur suplai energi dunia dari Samudra India ke Samudra Pasifik. Terutama, Kepulauan Paracel sebab kapal-kapal yang berlayar dari Hongkong ke Singapura melewati antara Kepulauan Paracel dan Kepulauan Maclesfield. Bukan saja dari Hongkong tetapi kapal-kapal lain lewat disini datang dari Vladivistok, Pusan, Yokohama, Shimonosheki, Tsingtao terus ke Singapura selanjutnya ke Selat Malaka dan memasaki Samudra India. Bagi Cina ke­pulauan ini penting bagi keamanan nasionalnya.

Gugus Kepulauan Paracel, oleh Cina disebutnya Hsi-sha Chuntao, oleh Vietnam disebutnya Hoang Sa. Gugus kepulauan ini berada di-bawah kontrol Cina ­setelah serangannya pada 19 dan 20 Januari 1974 yang mendepak Vietnam keluar dari kepulauan ini. Kepulauan ini terletak antara Pantai Pulau Hainan di Teluk Tonkin kira-kira 350 kilometer sebelah Tenggara dari pelabuhan Yulinkang dan pantai Vietnam Tengah kira-kira 400 kilometer sebelah Timur Da Nang. Luas wilayah kepulauan ini kira-ki­ra 3 kilometer persegi. Kepulauan Paracel ini terbagi dalam dua gugus kepulauan yaitu gugus Kepulauan Amphitrite yang terletak pada bagian Timur Laut mempunyai 7 buah pulau, (lihat tabel 1).
TABEL 1
No
Nama Pulau
Panjang/ Km
Lebar/ KM
Kepentingan/
hasil
Barat
Cina
Vietnam
1.
Woody
Island
Lin
Tao
Yung
Hsing
Tao
Sa Phu
Lam

1,8



1,1



Guano dan tumbuh-tumbuhan
2.
Rocky Island
Shih
Tao
Hon Da
0,375

0,340
-
3.
Lincolm
Island
Wu-ho
Tao
Dao Lim
Con
2,3
0,800
Jalur pelayaran utama
4.
South
Island
Nan
Tao
Dao Nam
-
-
-
5.
Middle Island
Chung Tao
Duo Trung
-
-
-
6.
North Island
Pei
Tao
Dao Bac
-
-
-
7.
Tree
Island
Caho
Shu
Tao
-
-
-
-
Sedangkan gugus Kepulauan Cresent yang oleh Cina disebut Yung-lo Chuntao terletak pada bagian Ba­rat Daya dan mempunyai 8 pulau (lihat tabel 2)
TABEL 2
No
Nama Pulau
Panjang/ Km
Lebar/ KM
Kepentingan/
hasil
Barat
Cina
Vietnam
1.
Robert
Island
Kan-Chuan Tao
Dao cam
tuyen

0,750



0,400



Guano dan tumbuh-tumbuhan
2.
Pattle Island
Shan-hu Tao
Hoang
sa
0,0

0,500
Tumbuh-tumbuhan
3.
Triton
Island
Chun
Chien
Tao
Dao Tri
Ton

-

-
Gersang
4.
Duncan
Island
Tao-Kan
Chun
Tao
Dao Quang
Hoa

1,0

0,500

-
5.
Western
Island
Kuang-chin
Tao
Dao
Vinh
Loc

-

-

-
6.
Money Island
Chin-Yin
Tao
Dao Vinh
Loc

0,500

0,200

-
7.
Drun-mond
Island
Chin-Chin
Tao
Dao Duy
Mong

0,500

0,300

-
8.
Passu-keoh
Island
Pan-shi
Yu
Dao
Bach
Quy

-

-

-



Gugus Kepulauan Spratly, oleh Cina disebutnya sebagai Nansha Chuntao, Vietnam sebagai Truong Sa. Pada akhir tahun 1974 delapan pulau dari kepulauan ini pada bagian Selatan berada dibawah kontrol Vietnam, tiga atau empat dibawah Pilipina. Sedangkan Pulau itu. Aba telah menjadi pangkalan Cina-Taiwan. Pada bulan Mei 1975 tentara komunis Vietnam merebut lagi beberapa pulau di Spratly ini. Kepulauan ini terletak kira-kira 400 kilometer sebelah Timur Laut Kalimantan Utara dan Pulau Palawan Pilipina dan ki­ra-kira 500 kilometer dari pantai Vietnam bagian Selatan. Jarak antara Spratly dan Paracel kira-kira 700 kilometer, sedangkan jarak antara Spratly dan Pulau Hainan-Cina 1000 kilometer. Kupulauan Spratly ini mempunyai kurang lebih 100 buah pulau-pulau bervariasi dikuasai oleh Vietnam, Cina (Taiwan) dan Pilipina. Pulau-pulau penting diantaranya North-East Gaya (Pei-tzu-tao), kira-kira panjang 1 kilometer dan lebar 400 meter merupakan pulau berpadang rumput dan basah dengan pepohonan setinggi antara 6 sampai 9 meter. Thitu Island pandang 1,5 kilometer, lebar 1 kilometer merupa­kan pulau padang rumput, dan semak belukar serta pohon kelapa dan pulau ini bagian wilayah Pilipi­na. Sandy Gay nerupakan pulau kecil yang tidak a­da tumbuh-tumbuhan. Loai Ta Island ditumbuhi hu­tan mangrove, kelapa dan tumbuhan basah lainnya. Pulau itu Aba pandang dan kira-kira 1 kilometer dan lebar 400 meter, ditumbuhi oleh tumbuh-tumbuhan­ yang pendek dan subur, sampai akhir perang Viet­nam pulau ini dikuasai oleh Republik Vietnam. Amboyna Gay terdiri dari pantai berpasir putih dan batu-batu diliputi oleh guano.

Hanoi menguasai gugus Kepulauan Spratly de­ngan suatu penyerbuan besar-besaran segera sete­saigon jatuh pada tahun 1975. Vietnam menguasai Palau Spratly sendiri yang kemudian memberinya nama Vietnam Dao Truong Sa dan gugus pulau Gay Baratdaya yang diberinya nama Vietnam sebagai Tu Tay atau Pugad. Tadinya kedua pulau ini Pulau Spratly, dan Pulau Gay Baratdaya (Southwest Cay) dikuasai oleh Cina. Pada bulan Juni 1975 Vietnam melakukan operasi besar-besaran dengan nama san­di “Operasi Pembebasan Pulau Kita” dengan menge­rahkan lebih 10.000 pasukan terdiri dari angkat­an laut, darat dan udara dan menjarah serta mengusir pasukan-pasukan Cina dari sana. Setelah itu kembali membebaskan Pulau Sandy Gay yang berada di sebelah Selatan itu Aba, kemudian membebaskan pulau-pulau Sin Cowe dan Nam Yit.

Setiap tahun sekolah staf komando militer Vietnam selalu mendapat pendidikan khusus untuk indoktrinasi peta militer Spratly. Dalam peta militer Vietnam menunjukkan kontrol atas pulau­-pulau dan karang di wilayah ini yang mana Viet­nam memasukkan juga gugus Kepulauan Kalayan (Spratly Barat) yang diklaim oleh Pilipina seba­gai kedaulatan Vietnam. Selain itu, dalam gambar peta militernya Vietnam mengklaim juga gugus ke­pulauan yang dikuasai Pilipina yaitu Kepulauan Ladd Reef dan Owen Shoal dan semua pulau karang yang jauh dari Pulau Spratly.

Menurut laporan intelijen Barat, empat pulau yang dikuasai oleh. Vietnam yaitu Pulau Spratly, Southwest Cay, Nam Yit dan Sin Cowe telah diba­ngun instalasi-intalasi militer dan radar pengintai pesawat yang lewat di Laut Cina Selatan, juga membangun basis senapan mesin otomatis serta pos­-pos observasi minter. Di Pulau Spratly sendiri telah dibangun pangkalan udara lengkap dengan peralatan instalasi dan pengintaian moderen, pusat-pusat pengembangan militer Laut Cina Selatan dan menara komunikasi pengintai dalam radius sepanjang jalur Laut Cina Selatan. Pasilitas pembangunan pangkalan militer ini dilengkapi dengan akomodasi untuk teke off dan landing untuk berbagai jenis ­pesawat tempur yang dimiliki Vietnam. Peta mili­ter Vietnam menunjukkan berbagai kegiatan pemba­ngunan instalasi di seluruh pulau seperti lokasi penempatan senjata penembak moderen yang bisa menghancurkan kapal selam, juga penembak penang­kis udara. Pangkalan-pangkalan kecil lainnya di­bangun di 55 pulau dan karang, sangat penting sebagai basis angkatan laut. Pulau Spratly memang sedang dipersiapkan sebagai pangkalan militer besar seperti. Da Nang dan Teluk Cam Ranj. Tentunya pembangunan ini mendapat dukungan Uni Soviet karena pangkalan Spratly in nantinya bisa menjadi basis kapal induk Uni Soviet. Para ahli strategi Barat menjuluki. Kepulauan Sprtaly ini sebagai the Dangerous archipel and grounded. (tanah dan kepulauan yang berbahaya). Beberapa ahli menilai bahwa apa­bila pangkalan Spratly ini sudah menijadi basis militer Vietnam dan Uni Soviet dikhawatirkan sepa­ratisme komunis ke Asia Tenggara dan Pasifik Sela­tan dan Pasifik Barat Daya akan diekspor dari gugus kepulauan ini. Pada gilirannya nanti Kepulau­an Spralty merupakan wilayah yang banyak mempengaruhi pola perimbangan kekuatan militer di Asia Tenggara dan Pasifik.

Selain keempat kepulauan sengketa di atas (Ku­ril, Ryukyu, Paracel dan Spratly) masih ada beberapa kepulauan panting lainnya yang menjadi sengketa antaranya Kepulauan Danjo, Kepulauan Senkaku di Laut Cina Timur dan Kepulauan Pratas, Maclesfield Bank di Laut Cina Selatan (lihat gambar 1) .

2. Dasar Sengketa Wilayah

Seperti telah diketahui, Konperensi Hukum Laut 1958 telah menghasilkan landas kontinen yang memberikan hak sepenuhnya kepada negara pantai untuk mengadakan eksploitasi dan eksplorasi sumber-sumber kekayaan alamnya. Sejak konvensi ini dihasilkan sampai tahun 1960 tidak ada suatu negarapun yang mengadakan tuntutan terhadap landas kontinen wilayah-wilayah di Laut Cina. Tetapi setelah dikeluarkannya laporan dari ECAFE (Economic Commission for Asia and the Far Fast) yang menyatakan bahwa landas kontinen antara Taiwan dan Jepang merupa­kan salah satu sumber minyak yang paling kaya di dunia timbullah tuntutan-tuntutan terhadap lan­das kontinen di Kawasan Laut Cina. Negara-negara Cina (IRRC), Taiwan dan Jepang merupakan salah sa­tu sumber minyak yang paling kaya. Demikian pula Korea Selatan, Korea Utara, Vietnam telah menyatakan tuntutannya terhadap dasar laut di Laut cina Selatan dan Laut Cina Timur. Akibatnya terjadi wilayah tumpang-indih yang merupakan sumber per­sengketaan diantara negara-negara di kawasan ini.

Di Laut Cina Selatan, wilayah utama yang menjadi persengketaan antara Vietnam dan Cina meliputi hampir seluruh wilayah, dari Pulau Hainan meluas sampai ke pantai Kalimantan, mencakup Teluk Ton­kin, Kepulauan Paracel dan Kepulauan Spratly. Tuntutan Gina yang meluas sampai ke pantai Kalimantan mengakibatkan wilayah konsesi minyak Malaysia, Tsengmu Reef, di pantai Utara Serawak dan Sabah, masuk ke dalam tuntutan wilayah Cina di atas. Begitu pula dengan wilayah konsesi minyak di Pilipina di Reed Bank dekat Spratly. Secara keseluruhan tuntutan wilayah dasar laut Cina ini berbentuk lidah. (lihat gambar 2).

Di Laut Cina Timur, tuntutan Cina terhadap landas kontinen di wilayah ini, menciptakan be­berapa wilayah tumpang-tindih dengan tuntutan landas kontinen negara-negara Jepang, Taiwan dan Korea Selatan. Di landas kontinen yang terbentang dari sebelah Timur pantai Cina dan meluas sampai ke Okinawa Trough (Palung Okinawa), ter­masuk bagian Barat Daya Selat Taiwan, telah diberikan konsesi-konsesi minyak oleh ketiga negara tersebut. Dalam wilayah ini, 100 mil dari Timur Laut Taiwan terletak Kepulauan Sengkaku yang dipersensetakan oleh Taiwan, Jepang dan Cina. (Lihat gambar 3).

Cina mulai mengajukan tuntutannya terhadap landas kontinen dalam suatu kertas kerja mengenai yurisdiksi nasional atas wilayah laut dalam tahun 1973. Dalam kertas kerja ini di­kemukakan bahwa landas kontinen Cina adalah "The Natural Prolongation of the Continental Te­rritory." Dengan demikian Cina tidak mengikuti kriteria kedalanan 200 meter atau eksploitasi. Disamping itu Cina menghubungkan kedaulatan laut dan rancangan batas lautnya dengan tuatutan pulau. Hal ini yang menyebabkan tuntutan Cina demikian luas, mencakup pulau-pulau di tengah samudra (mid-ocean islands,) yang menimbulkan reaksi dari negara-negara lainnya. Masing-masing negara merasa berhak atas pulau-pulau tersebut dengan meng­ajukan dasar tuntutannya. Selain masalah tumpang tindih yang akan teriadi akibat tuntutan landas kontinen RFC di wilayah ini masalah tuntutannya terhadap Kepulauan Senkaku akan menimbulkan pertentangan dengan Jepang dan Taiwan yang juga menuntut kepulauan tersebut.

Di Laut Jepang, usaha pengembalian hubungan akrab antara Jepang dan RRC mempunyai latarbelakang pertentangan dengan Uni Soviet sangat mempengaruhi sikap-sikap Jepang dan Uni Soviet dalam persengketaan mereka atas Kepulauan Kuril. Kepulauan Kuril ditemukan oleh seorang pelaut Belanda Martin de Vries tahun 1634. Kemudian Uni Soviet menduduki bagian Utara dan Jepang menduduki bagian Selatan. Tahun 1875 Uni Soviet setuju memba­talkan tuntutannya sebagai ganti penarikan mundur pasukan Jepang dari Sakhalin. Tahun 1945 Uni So­viet menduduki Kuril sesuai dengan keputusan Kon­perensi Yalta 1945 sebagai imbalan peranannya mengalahkan Jepang. Tahun 1947 Kuril menjadi bagian Sakhalin Oblast, wilayah Uni Soviet. Dalam Perjanjian Perdamaian Amerika serikat-Jepang ta­hun 1951, Jepang melepaskan seluruh tuntutannya terhadap Kepulauan Kuril, tetapi tidak dinyatakan di serahkan secara khusus ke Uni Soviet. Pada ta­hun 1956, dalam perundingan normalisasi hubungan kedua negara, Uni Soviet memberikan jaminan akan mengembalikan Habomai dan Shikotan setelah persetujuan perdamaian tercapai. Tetapi Jepang mengi­nginkan pengembalian keempat pulau Kuril Selatan sebagai prasyarat untuk mencapai suatu persetujuan perdamaian tersebut. Dalam Sidang Umum PBB 21 Oktober 1970, Jepang mengajukan tuntutannya kembali, tetapi Uni Soviet menolak karena negara ini menganggap keempat pulau tersebut nerupakan bagian dari gugusan Kepulauan Kuril yang menjadi wilayahnya.

Semertara itu pada pertengahan April 1978, hubungan RRC dan Jepang menjadi tegang karena terjadinya insiden dimana kapal ikan RRC (sebagian daripadanya bersenjata) memasuki wilayah Senka­ku. Dua bulan setengah kemudian (Juli), setelah insiden reda, perundingan-perundingan kedua negara dimulai lagi dan tanggal 12 Agustus 1978 perjanjian perdamaian dan persahabatan RRC Jepang di tandatangani di Beijing.

Sebetulnya timbulnya insiden Senkaku dan ter­capainya perjanjian tersebut sangat erat kaitannya dengan motivasi-motivasi kedua negara.

Di dalam negeri Jepang, PM Fukuda mendapat desakan dari oposisi dan golongan penting dalam Partai Demokrasi Liberal (LDP) serta masyarakat bisnis Jepang untuk menandatangani perjanjian tersebut. Begitu Pula Amerika Serikat memberi lampu hijau untuk menandatanganinya. Sementara selama 1978, Jepang menghadapi tekanan RRC yang menginginkan perjanjian pihak Uni Soviet tidak ragu­-ragu menentangnya. Tetapi sehubungan dengan si­kap ini, Jepang percaya bahwa Uni Soviet tidak akan memperburuk hubungannya dengan Jepang, kare­na masih membutuhkan Jepang dalam eksplorasi dan pembangunan sumber-sumber mineral di Siberia, Soviet Timur Jauh. Uni Soviet akan mendapat beban berat jika melepaskan Jepang, karena sulit untuk­ menemukan penggantinya. Lagi Pula selama masalah teritorial ada diantara mereka, pihak Soviet je­las lebih lemah. Keinginan Jepang untuk membicarakan tuntutannya terhadap keempat pulau di sebelah Utara Hokaido, diremehkan. Hal ini menjauhkan Uni Soviet dari Jepang. Kepentingan Uni Soviet a­kan lebih diperhatikan jika negara ini dapat menerima tuntutannya terhadap kepulauan tersebut tetapi negara tersebut tidak memperdulikan hal i­ni, sementara RRC mendukung tuntutannya.

Bagi RRC suatu perjanjian perdamaian adalah penting untuk mengimbangi strategi “pincer” (sepitan) Vietnam-Uni Soviet. Perjanjian ini tidak saja perlu untuk menggambarkan kekuatirannya terhadap Uni Soviet kepada negara-negara Asia lainnya, tetapi juga diam-diam dia ingin memperoleh dukungan Jepang bagi posisinya. Selain itu perjanjian ini menggambarkan pula kepentingan politik dan teritorial yang lebih tegas di Laut Cina Laut. Terhadap masalah-masalah teritorial yang di tuntut RRC, Jepang dan Korea, negara ini ingin menegakkan pengaruhnya dan mengemukakan, bahwa masalah teritorial akan dikonsultasikan mengenai setiap permasalahan. Oleh karena itu RRC merasa terganggu dengan keseganan Jepang terhadap penan­datanganan perjanjian sehubungan dengan adanya galongan yang menginginkan penyelesaian masalah Senkaku dibicarakan terlebih dahulu, karena pemecahan masalah ini akan dibicarakan di masa yang akan datang. Faktor inilah yang sebenarnya menjadi latarbelakang insiden tersebut. Pengiriman kapal-kapal ikan yang berserjata ke wilayah Senkaku meru­pakan taktiknya untuk mengajak Jepang ke meja perundingan. Demikianlah perundingan perjanjian per­damaian, dan persahabatan kedua negara dimulai tanpa menyelesaikan terlebih dahulu masalah Senkaku.

Setelah RRC dan Jepang menandatangani perjan­jian mereka dan dinormalisasinya hubungan RRC-Amerika Serikat Uni Soviet menunjukkan rasa tidak­senangnya dengan meningkatkan perlengkapan latihan militernya di Shikotan. Negara ini telah menempatkan 2000 pasukannya di wilayah menurut informasi ‘Japan Defence Agency’ (JDA), secara ke seluruhan. terdapat 10.000 - 2.2.000 pasukan di ketiga pulau Etorofu, kunashiri dan Shikotan. Dengan tindakannya Uni Soviet berusaha memperingatkan dan menakut-nakuti Jepang bahwa dia bermaksud untuk mempertahankan wilayahnya di- Asia dan agar pihak lain yang menuntut wilayah tersebut mundur teratur. Jepang akan menghadapi tanggung-jawab yang serius jika negara itu melibatkan diri dengan suatu aliansi militer. Tetapi pada saat yang sama, adalah cukup jelas bahwa Uni Soviet menginginkan peningkatan hubungan bilateral de­ngan Jepang berupa bantuan ekonomi dalam rencana pembangunan Siberia.

Bagi Uni Soviet, Kepulauan Kuril mempunyai ar­ti strategis yang penting. Dengan menguasai wila­yah ini, maka praktis Laut Okhotsk yang terletak ­antara jazirah Kamchatca dan Kepulauan Kuril akan diawasi secara keseluruhan olehnya. Laut Okhotsk akan menjadi Laut dalam dia, sehingga dengan de­mikian armada lautnya tidak dapat diawasi oleh Jepang dan Amerika Serikat jika mereka akan keluar dari Vladivostok ke Sdamudra Pasifik, kecuali-le­wat Selat Tsushima.

Jepang menginginnkan kembali Kepulauan Kuril sebagai suatu kesatuan (integritas) wilayah yang juga menyangkut kepentingan keamanannya. Pembangunan perlengkapan militernya di wilayah itu merupakan ancaman dari utama apabila terbang permanen yang diperlengkapi dengan radar.

Sementara itu pula persepsi itu terhadap meningkatnya peranan laut bagi pembangunan ekonomi cenderung mendorong sengketa-sengketa ini mening­kat menjadi suatu sumber konflik yang lebih be­sar. Hal ini disebabkan makin majunya kemampuan tekonologi mengeksploitasi sumber-sumber daya laut baik hayati maupun non-hayati yang terdapat di dasar laut dan tanah dibawahnya serta air diatasnya. Diakuinya hak-hak yurisdiksi negara-negara pantai terhadap landas kontinen serta zona ekonomi eksklusif (ZEE) 200 mil untuk mengeksploitasi dan mengeksploitasi sumber-sumberr daya laut tersebut makin memperkuat persepsi tersebut.

Seorang ahli geologi dan Kelompok Peneliti Universitas Tokai meramalkan bahwa potensi mi­nyak di landas kontinen Laut Cina merupakan sa­lah satu dari lima wilayah penghasil minyak ter­besar di dunia, Baik Taiwan, Jepang dan Korea Selatan sejak tahun 1970 telah mengadakan konsesi­ minyak di landas kontinen laut Laut Cina.

Pada awal Agustus 1979 Cina mengadakan persetujuan dengan perusahaan-perusahaan asing untuk mengadakan seismic, yaitu Exxon, Philips, Union, Amoco, Atlantic Richfield. Begitu pula dengan Jepang diadakan suatu konsesi besar, yaitu setelah ditandatanganinya perjanjian, perdamaian dan per­sahabatan kedua negara 1978. Bagi Cina, minyak­ dan gas yang tersedia merupakan kepentingan eko­nomi dan strategis yang khusus terhadap Jepang yang berusaha mengurangi ketergantungan minyaknya dari Timur Tengah. Jepang merupakan pasar yang sudah tersedia bagi minyak dan gas Cina. Dewan Nasional perdagangan Cina-Amerika Serikat, mimperkirakan produksi minyak RRC kira-kira 102 juta ton dalam tahun 1978 dan akan meningkat sekitar 178-232 juta ton dalam tahun 1985. Dalam rangka rencana pembangunan ekonomi nasional sepuluh tahun (1976-1985)nya, RRC sangat membutuhkan teknologi dan keahlian pengelolaan (managerial skills) dari Jepang. Demikian pula landas kontinen laut Cina Selatan, khususnya “offshore sediamentary basin” yang meluas dari pantai-pantai Serawak, Brunei, Sabah sampai ke pantai Vietnan bagian Selatan. Muara Sungai Mekong di perkirakan mempunyai kekayaan minyak yang sangat potensial. Selain hasil perikanan laut Cina Selatan mencapai 5 juta ton tiap tahun, dan di-perkirakan akan me­ningkat dengan sebanyak 3 ton pertahun.

Cina dan Vietnam telah mengutamakan kepentingan penemuan sumber minyak dan kemudian mengekspioitasinya dalam rangka rencana pembangunan ekonomi mereka. Untuk membangun ekonomi negaranya yang hancur akibat perang selama 30 tahun, Viet­nam yang kurang mempunyai sumber-sumber lainnya untuk diekspor sangat mebutuhkan minyak tersebut. Dalam rangka ini Vietnam telah mengadakan kontrak prospek penggalian minyak dengan negara-nega­ra Comecon yaitu Uni Soviet, Cekoslowakia, Bulga­ria, Hongaria dan Polandia. Selain itu juga Vietnam berusaha melakukan hal yang sama dengan peru­sahaaan minyak asing Barat lainnya, yaitu Deminex (Jerman Barat), AGIP (Italia), Bow Valley (Cana­da), Elf-Awuitaine (Prancis). Diperkirakam kemam­puan minyak Vietnam mencapai 500.000 - 1000.000 barel perhari.

Di Laut Kuning adalah merupakan wilayah konsesi minyak yang terbanyak di Asia. Timur terutama wilayah-wilayah konsesi minyak Korea Selatan. Laut Kuning mulai dari Delta Sungai Yalu yang membelah Teluk Po Hai dan Teluk Korea pada bagian Utara sampai ke Delta Sungai Yangtze di Semenan­jung Kiangshu di Selatan merupakan paparan landas kontinen yang kaya dengan minyak sehingga pembagian landas kontinen di wilayah ini terjadi tumpang tindih antara negara-negara Korea Selatan, Korea Utara dan Cina. Selain masalah tumpang-tindih landas kontinen antara ketiga negara itu di Laut Ku­ning dimana wilayah-wilayah konsesi minyak. Korea Selatan SOCAL yang kerjasama dengan perusahaan pengeboran minyak Amerika Serikat TEXACO terdapat, juga tumpang-tindih masalah zona perikanan. Korea Selatan mengajukan tuntutan kepada Cina karena menganggap Cina telah melakukan kontrol wilayah perikanan memasuki wiIayah Korea Selatan terutama Proteksli Wilayah Perikanan Cina di Kepulauan, So­huksan (Sohuksan Do) yang diklaim oleh Korea Selatan. Korea Selatan menganggap bahwa Cina telah ditetapkan menurut hukum. Demikian pula dengan adanya hubungan yang tidak serasi antara dua Negara komunis Cina dan Korea Utara oleh penetapan zona militer (Militery Warning Zone) di mulut Teluk Po Hai yang sebagian masuk Wilayah Korea Utara di Teluk Korea. Penetapan Zona militer yang ditarik oleh Cina dari garis lurus yang membentang dari Tanjung Port Arthur di ujung semenjung Liao Thung ke Tanjung Peng-loi terus ke tanjung Jung-chen di Semenanjung Shan-tung terus ke Delta Sungai Yalu. Dengan demikian segi empat antara titik Port Arthur, Tanjung Peng-loi, Tanjung Jung-chen dan Delta Sungai Yalu telah ditetapkan oleh Cina sebagai Zona Militer (Lilitery Warnibf Zone).


KESIMPULAN


Selain mengangkat permasalahan atas sengketa hu­kum di perairan teritorial Kawasan Asia Timur maka tentunya menjadi obyek utama pula dalam tulisan ini masalah penerapan Konvensi Hukum Laut Internasional 1982. Prinsip-prinsip hukum lain, khususnya Konvensi Jenewa 1958 menjadi baban pembanding dalam studi ini. Dalam mengkaji sengketa Asia Timur nantinya akan dicoba dianalisa berbagai kasus pulau, kepulauan, laut, selat, selat, teluk dan landas kontinen yang tumpang-tindih di kawasan (overlapping area). Untmk memndahkan pengkajian dalam studi ini maka kawasan-kawasan yang bersengketa ditelusuri secara khusus. Hal ini dilakukan mengingat begitu luasnya wilayah yang akan dikaji disamping kompleksnya permasalahan. Dalam pengkajian analisa-analisa hukum (laut) internasional me­mang wenduduki porsi yang dominan diberbagai segi, namun tidak berarti persintuhan dengan analisa politik tidak ada. Kasus di Asia Timur memang berbeda dengan kawasan lain, sebab di Asia Timur terdapat kombinasi menarik antara studi sengketa hukum internasional politik. Rumitnya penyelesalan sengketa di Asia Timur karena bukan saja pertentangan wilayah yang saling tumpang-tindih dari dasar tuntutan negara-negara tetapi lebih jauh dari itu pertentangan ideologi yang ta­jam. Kontroversi perbedaan ldeologi dalam sengketa A­sia Timur memaksa semua ahli hukum yang melakukan studi atas kawasan itu sukar melepaskan analisa-analisa politik. Sekalipun demikian karena karya ini ada­lah analisa dalam studi hukum (laut) internasional maka analisa politik sedapat mungkin dikurangi.

SeIain itu dalam obyek penulisan karya ini bertumpu pokok pada dasar-dasar tuntutan wilayah apabila sudah dilakukan pemilahan untuk dikaji. Dasar-da­sar tuntutan dapat diliihat pada gambaran berikut; antara Jepang dan Uni Soviet pada Kepulauan Kuril (gu­gus pulau-pulau wilayah Utara Jepang), penetapan ba­tas wilayah tumpang-tindih antara Jepang dan Uni Sorvet serta Jepang dan Korea Selatan di Laut Jepang. Sementara itu di Laut Cina Selatan, wilayah utama yang menjadi persengketaan antara Vietnam dan Cina meliputi kampir seluruh wilayah, dari Pulau Hainan meluas sampai ke Kalimantan, mencakup Teluk Tonkin, Kepulauan Paracel dan Kepulauan Spratly. Tuntutan Ci­na (RRC) yang meluas sampai ke pantai Kalimantan mengakibatkan wilayah konsesi minyak Malaysia, Tsengmu Reef di pantai Utara Serawak dan Sabah, masuk dalam tuntatan wilayah Cina di atas. Begitupula dengan wilayah konsesi minyak di Pilipina di Reed Bank dekat Spratly. Di Laut Cina Timur, tuntutan cina terhadap landas kontinen di wilayah ini, menciptakann beberapa wilayah tumpang-tindih dengan tuntutan landas konti­nen negara-negara Jepang, Taiwan dan Korea Selatan. Di landas kontinen yang terbentang dari sebelah Ti­mur pantai Cina dan meluas sampai ke Palung Okinawa (Okinawa, Trough), termasuk bagian. Barat Daya Selat Taiwan, telah diberikan konsesi-konsesi minyak oleh ke tiga negara tersebut. Dalam wilayah ini 100 mil dari Timur Laut Taiwan terletak Kepulauan Senkaku yang dipersengketakan oleh Taiwan, Jepang dan Cina.

Alinea di atas merupakan landasan utama sebagai obyek studi dalam karya ini. Tentunya masih beberapa la­gi yang belum dipaparkan dalam pendahuluan yang sempit ini antaranya masalah tumpang-tindih di Laut Kuning (Yellow Sea) yang melibatkan Korea Selatan (Republik of Korea - ROK) dan RRC, demikian pula masalah status wilayah yang unik di Teluk Pohai di bagian Barat Laut dari Laut Kuning yang melibatkan Korea Utara (Republic Democratic Korea) dengan RRC.


DAFTAR PUSTAKA

AS. Sukanta HM, Konflik tak berujung, Jakarta: PT.Mizan Publika, 2007

Noor, S.M, Sengketa Internasional Kawasan Perairan Asia Timur, Makassar Pustaka Pena Press Makassar, 2009

Djelantik, Sukawarsini, Diplomasi antara Teori dan Praktik, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008.

Agreement UNCLOS. n.d. Diaskses dari http://www.un.org/Depts/los/convention_agreements/texts/unclos/c losindx.htm Diakses tanggal 3 Desember 2011

Convention Agreement. n.d Diakses dari

http-//www.un.org/Depts/los/convention_agreements/texts/unclos/c losindx.htm Diakses tanggal 3 Desember 2011

Q & A South China Dispute. http://www.bbc.co.uk/news/world-asia­pacific-13748349. Diakses tanggal 25 September 2011.

Regional Cooperation. n.d. Diakses dari

http://www.deplu.go.id/Pages/IFPDisplay.aspx?Name=RegionalCo operation&IDP=5&P=Regional&l=id Diakses tanggal 3 Desember 2011

Timeline: Disputes in the South China Sea. http,//www.siiaonline.org/?q=research/timeline-disputes-south­china-sea. Diakses tanggal 25 September 2011.

The South China Sea. http://www.economist.com/node/21016161. Diakses tanggal 24 September 2011.

Who's right in the South China Spat? http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia­pacific/7941425.stm. Diakses tanggal 23 September 2011.

Drifte, Reinhard (2008). Japanese-Chinese territorial disputes in the East

China Sea – between military confrontation and economic

cooperation. Working paper, Asia Research Centre, London

School of Economics and Political Science, London UK.

James Manicom. What is the East China Sea Worth? Conceptions of value in maritime territorial disputes. Flinders University

Mark J. Valencia. The East China Sea Dispute: Context, Claims, Issues, And Possible Solutions.

Ji Guoxing. "The Diaoyudao (Senkaku) Disputes and Prospects for Settlement, " The Korean Journal of Defense Analysis, vol. 6, No. 2 (Winter, 1994), pp. 285-311

James C. Hsiung. 2005. Sea Power, Law of the Sea, and China-Japan East China Sea "Resource War". New York University

East China Sea Energy Data, Statistics and Analysis - Oil, Gas, Electricit. Diakses melalui www.eia.doe.gov

Microsoft encarta, 2008.

Haslim Djalal, Potential Conflicts in the South China, Sea: - In Search of
Cooperation, The Indonesian Quarterly., Vol.XVIII, No.2, 1990

Dieter Heinzig, Disputed Island in the South China Sea, Otto Harrassowittz, Wieshaden 1976.

Mark J. Valencia, The South China Sea: Constrain to Marine
Regionalism, East-West Center Publications, Honolulu 1980.

South China Sea Oil, Two Power of Ownership and Development, Institute of Southeast Asian Studie (ISEAS), Singapore 1977.

Hoang Sa and Truong Sa Archipelagos Vietnamese Territories, Ministery of Foreign Affairs Socialist Republic of Vietnam, 1981.

Lee Lai To, Managing Potential Conflicts -in the South, china Sea: Political and Security Issue, The Indonesian Quarterly, Vol.XVIII, No.2, 1990.

Lau Teik Soon and Lee Lai To, The Security of the Sea Lanes in the Asia­Paciffe Region, Center for Advance Studies and Singapore Institute of International Affairs, Singapore 1988.

S M Noor, Some Basic Principles of International Dispute on East Asia, Skripsi Fakultas Hukum Unhas, 1986.

choon-ho Park, East Asia Asia The Law of the Sea, Seoul National University Press, Seoul 1983.

Read more

 
Design by r3d3 | Bloggerized by Blogger - desain blogger