Selasa, 09 April 2013

Insiden Sabah dan Klaim Batas Sejarah

0

Duta Besar RI untuk Filipina Letjen Leo Lapoulisa baru bertugas selama delapan bulan ketika tiba-tiba Pemerintah Filipina meminta agar Pemerintah RI menarik kembali dubesnya tersebut.
Presiden Filipina Ferdinand E Marcos mengemukakan pernyataan persona nongrata (rasa tidak senang dalam tradisi diplomatik) atas pernyataan Leo Lapoulisa dalam surat kabar Bulletine Today Filipina, April 1982.

Leo Lapoulisa mengemukakan bahwa untuk memelihara persaudaraan dan kekerabatan antarnegara ASEAN, kiranya Pemerintah Filipina melepaskan saja klaimnya atas Sabah. Pernyataan Leo ini sungguh-sungguh membuat Marcos marah dan saat itu juga Marcos meminta Departemen Luar Negeri Filipina mengeluarkan surat pernyataan persona nongrata yang meminta Leo Lapoulisa segera meninggalkan Filipina dalam waktu 1 x 24 jam. Demi persahabatan dan hubungan baik dengan Filipina, Jakarta terpaksa menarik kembali Leo Lapoulisa.

Filipina sesungguhnya sampai hari ini belum mengeluarkan pernyataan resmi melepaskan klaimnya atas Sabah, suatu wilayah subur dan indah di timur laut Kalimantan. Filipina beranggapan, wilayah itu adalah wilayah nenek moyang mereka dan sudah ditempati turun-temurun Keluarga Sultan Sulu hingga Pemerintahan Federal Kerajaan Malaysia mengusir mereka. Karena itu, Filipina tidak akan melepaskan klaim yang berdasarkan sejarah tersebut sampai sekarang sekalipun pemerintah Benigno Aquino III meminta para penyusup bersenjata ke Sabah tersebut untuk menyerah.

Adalah sangat memprihatinkan sesungguhnya ketika Malaysia dengan emosional melakukan pengepungan bersenjata untuk mengusir para penyusup dengan paksa sehingga menewaskan 14 penyusup (Kompas, 2/3), disusul penyerangan lima polisi Malaysia (Kompas, 4/2). Insiden ini sesungguhnya memang cukup sulit penyelesaiannya karena sampai hari ini Filipina masih mengklaim Sabah adalah wilayah integral mereka.

 Malaysia tentu saja tidak akan meminta bantuan Filipina untuk mendeportasi warga mereka. Bahkan, terkesan saran yang dilontarkan Presiden Aquino III setengah hati, tidak menunjukkan gelagat diplomatik yang serius. Negara-negara ASEAN lain juga tidak berani mengemukakan pernyataan penyelesaian karena wilayah ini sungguh merupakan wilayah yang sangat sensitif bagi kedua negara, bahkan wilayah panas bagi mereka berdua.
Sumber: jokes-humor-bizarre.blogspot.com
 Batas Klaim Sejarah
 Sebagai orang Maluku, kita tidak paham pernyataan yang dikemukakan Leo Lapoulisa di Bulletine Today tersebut meskipun menyangkut klaim unilateral yang dilakukan para raja atau dinasti berdasar klaim sejarah. Apa yang diklaim Belanda ketika memegang koloni di Indonesia adalah berdasarkan penetapan unilateral yang dilakukan raja-raja Nusantara. Sebagai contoh, Belanda mengklaim wilayah Papua Barat karena hal itu berdasarkan penetapan secara unilateral yang dilakukan Sultan Ternate.

 Ketika Belanda datang sebagai penguasa koloni, ditetapkanlah seluruh Kepulauan Maluku, termasuk wilayah Papua Barat, sebagai batas wilayah kekuasaan Sultan Ternate. Sebagian wilayah itu sesungguhnya sudah dimasuki Inggris dari timur (Papua Niugini) dan dari selatan (Australia), tetapi Belanda tetap bertahan berdasarkan patok-patok yang ditetapkan Sultan Ternate. Atas dasar itulah, Belanda dan Inggris melakukan perjanjian di Den Haag dan menetapkan wilayah-wilayah batas yang mereka klaim masing-masing, dan Belanda tetap mempertahankan semua batas-batas wilayah yang ditetapkan Sultan Ternate secara unilateral.

 Inggris mengakui klaim Belanda berdasar patok sejarah yang diletakkan Sultan Ternate dan menarik seluruh wilayah koloninya di Papua Barat. Contoh sama dilakukan klaim oleh unilateral yang dilakukan Sultan Bulungan di Kalimantan yang dijadikan dasar pada Perjanjian London yang melahirkan Konvensi London 1893 antara Belanda dan Inggris yang menjadi landasan perbatasan Kalimantan sekarang.

 Berdasar catatan Profesor Harry Roque dari Universitas Filipina (Kompas, 5/3), pada tahun 1658 Sultan Brunei menghadiahkan wilayah Sabah ke Sultan Sulu atas bantuan yang diberikan dalam melawan pemberontakan di Brunei. Pada masa penjajahan Inggris tahun 1878, wilayah Sabah disewa British North Borneo Company. Perusahaan ini membayar uang pajak senilai 1.600 dollar AS per tahun. Kontrak ini dipandang sebagai manifestasi pengakuan Inggris atas wilayah Kesultanan Sulu di Sabah. Uniknya, kontrak yang sama dibayarkan Malaysia ketika Inggris meninggalkan Sabah dan menyerahkan wilayah konsesi tersebut kepada Malaysia. Sewa yang dibayarkan Malaysia selama ini tetap dipandang sebagai manifestasi pengakuan Malaysia atas wilayah Kesultanan Sulu di Sabah.

 Gambaran apa yang tampak dari petikan di atas menandai sesungguhnya bahwa penetapan batas negara berdasarkan sejarah (historical boundary) telah menjadi hukum kebiasaan internasional (international customary law) sebagai awal penetapan batas wilayah negara. Contoh kasus yang paling populer kini adalah klaim China atas Laut China Selatan. China Menganggap seluruh wilayah Laut China Selatan adalah wilayah milik Dinasti Ming di bawah pemerintahan Kaisar Yung-lo (1473).

 Ketika Yung-lo berkuasa, panglimanya yang bernama Cheng-ho membuat peta pelayarannya selama 15 tahun dan membangun wilayah gugus kepulauan di daerah selatan tersebut. Dalam peta yang dibuat Cheng-ho, wilayah-wilayah seluruh gugus kepulauan di Laut China Selatan tersebut disebutnya sebagai Nansha Chuntao. Meskipun demikian, penetapan berdasar sejarah memang sering kali menimbulkan konflik yang berkepanjangan karena berbenturan dengan penetapan wilayah berdasar prinsip keadilan hukum (median line atau equidistance line).

 Latar Sewa-Menyewa
 Menarik dalam studi sejarah hukum ini (seperti dikutip Kompas, 4/3), persoalan awalnya muncul ketika Inggris memerdekakan Malaysia tahun 1963 saat Sabah dinyatakan masuk wilayah Malaysia, secara sepihak Inggris menginterpretasikan isi kontrak secara berbeda. Inggris menganggap uang sewa yang dibayarkan untuk pengalihan hak milik yang seterusnya diwariskan kepada Pemerintah Malaysia agar suatu saat diselesaikan hak kepemilikan itu kepada Malaysia. Pihak Kesultanan Sulu menganggap uang itu tetap uang sewa dan kepemilikan tetap ada pada Sultan Sulu. Itu sebabnya Prof Roque berpendapat, ”Dalam opini saya, uang itu seharusnya memang tetap uang sewa karena tidak ada penjualan yang harganya tidak tetap dan terus dibayar sampai kiamat.”

 Barangkali, berdasar pada interpretasi hukum yang berbeda tersebut, Presiden Marcos sangat berkeras untuk mempertahankan wilayah Sabah sebagai bagian integral dari Filipina. Adapun nuansa politik yang muncul akibat Perjanjian Damai antara Pemerintah Filipina dan Kelompok MILF dengan mengabaikan Kesultanan Sulu adalah persoalan lain. Uji materi dari Mahkamah Internasional, sesungguhnya dalam menyelesaikan sengketa ini, tidak bisa berdasar pada penguasaan efektif (effective occupation) semata seperti yang mereka terapkan pada kasus Sipadan-Ligitan antara Indonesia dan Malaysia karena bukti-bukti sewa-menyewa sampai hari ini masih berlangsung.
 Analogi hukum yang sama sesungguhnya terjadi pada sewa-menyewa atas wilayah Hongkong dan Makau selama 100 tahun oleh Inggris atas China, 28 Maret 1897 di Peiping (Bejing sekarang) dan sewa-menyewa pangkalan militer antara Filipina dan Amerika Serikat di Subic Bay dan Clark Field selama 32 tahun, 14 Maret 1947-14 Maret 1990.

 Setelah berakhirnya Perang Candu (opium war) 1895, ditandatangani perjanjian penyewaan Hongkong oleh Kaisar Dinasti Manchu, I Kuang Ching, 28 Maret 1897, dengan utusan Ratu Victoria dari Inggris, Lord Berersford. Pada waktu bersamaan, Pulau Makau disewakan kepada Portugis oleh raja yang sama dengan tenggang waktu sama, 100 tahun. Tiga pergolakan politik di China, Revolusi Republik Nasionalis Oktober 1911, dan Revolusi Komunis 1949 tidak membatalkan sewa-menyewa tersebut.

 Inggris tetap mengakui status Hongkong sebagai wilayah China sampai dikembalikan tahun 1997. Sementara penyewaan pangkalan militer AS di Subic Bay dan Clark Field ditandatangani pada 21 Januari 1948 di bawah pemerintahan Presiden Manuel V Roxas dan Dubes AS untuk Filipina Paul V Me Nutt sebagai wakil Pemerintah AS. Perjanjian itu tenggang waktunya 42 tahun. Di zaman Presiden Filipina Corazon Corry Aquino (ibunda Presiden Aquino III sekarang) berkuasa, AS meminta perpanjangan sewa pangkalan militer mereka, tetapi ditolak Corry sehingga militer AS angkat kaki dari Filipina.

 Perjanjian penyewaan Hongkong-Makau dan Subic Bay-Clark Field jelas statusnya. Bagaimana dengan Sabah yang sampai hari ini Malaysia masih membayar uang sewa terhadap Kesultanan Sulu? Jika berdasar pada patron sewa-menyewa itu, bagaimana status hukum wilayah itu kemudian dalam pengujian Mahkamah, baik Mahkamah Internasional maupun Mahkamah Arbitrasi? Agak sayang memang karena Benigno Aquino III tak setegas Marcos menghadapi tuntutan Sabah atas Malaysia.
 Aquino III agaknya lebih banyak ditaktiki Malaysia yang memang sangat terkenal gigih dan kuat dalam soal klaim-klaim wilayah. Indonesia saja sudah kalah satu kosong atas sengketa Sipadan-Ligitan, berikutnya mengancam sengketa Blok Ambalat di Laut Sulawesi. Atau, barangkali memang sudah ada niat dari Aquino III untuk menyerahkan Sabah kepada Malaysia demi solidaritas dan persaudaraan ASEAN? Kita Tunggu !





Oleh;
S.M Noor
Guru Besar   Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin dan Author negarahukum.com

Tulisan Ini Juga di Muat di harian Kompas 14 Maret 2013

Read more

Rabu, 11 Juli 2012

Individu Sebagai Subjek Hukum Internasional

0

Perkembangan yuridis tentang kedudukan individu dalam arti terbatas sudah agak lama dianggap sebagai subyek hukum internasional. Menurut Krabbe dalam bukunya "Die Moderne Staatsidee" yang ditulis pada pada tahun 1906 mengatakan bahwa "...individual only may be subject of law... including international law..." Peristiwa lain yang menandai kedudukan individu sebagai subyek hukum internasional yaitu dengan dicantumkannya individu dalam perjanjian Versailles (Treaty of Versailles) tahun 1919 antara Jerman dengan Inggris, Perancis, dan sekutu-sekutunya. Pasal 297 dan 304 dari perjanjian tersebut memberikan ke­mungkinan bagi orang perorangan untuk mengajukan perkara kehadapan mahkamah-mahkamah arbitrase internasional. Ketentuan serupa diatur pula didalam perjanjian Upper-sile-sia pada tahun 1922 antara Jerman dan Polandia.
Ketentuan selanjutnya dapat ditemukan didalam Keputusan Mahkamah Internasional Permanen (Permanent court of International Justice) dalam perkara Kereta Api Danzig (Danzig Rail way official's case) pada tahun 1928,38 yang menyatakan bahwa apabila suatu perjanjian internasional, memberikan hak-hak tertentu kepada orang perorangan, maka hak-hak itu harus diakui dan mempunyai daya laku (dapat diterima) di dalam hukum internasional, artinya diakui oleh suatu badan Peradilan Internasional.
Ketentuan serupa ditemukan pula didalam keputusan Mahkamah Penjahal Perang yang dilaksanakan di Nu­remberg dan Tokyo, terhadap bekas pemimpin-pemimpin Perang Jerman dan Jepang setelah Perang Dunia II sebagai individu atau orang perorangan yang melakukan perbuatan- perbuatan yang dikualifikasikan sebagai kejahalan. Pengadilan Penjahal Perang ini didirikan dalam suatu perjanjian antara Inggris, Perancis, Rusia, dan USA di London, pada tanggal 8 Agustus 1945 yang dikenal dengan nama perjanjian London.39 Menurut pendapat Mahkamah Kejahalan Perang hanya dapat dilakukan oleh individu, dan bukan oleh suatu kesatuan seperti negara. Sedangkan menurut Mahkamah Peradilan Nuremberg dan Tokyo kejahalan-kejahalan yang dilakukan oleh bekas pemimpin Jerman dan Jepang dapat dikategorikan kedalam: (1) Kejahalan terhadap perdamaian.; (2) Kejahalan terhadap perikemanusiaan; dan (3) Kejahalan-kejahalan perang (yaitu pelanggaran terhadap hukum perang) dan permufakatan jahal untuk mengadakan kejahalan-kejahalan tersebut.40
Asas-asas hukum yang berhubungan dengan Nuren­berg dan Tokyo ini, kemudian dituangkan ke dalam The United Nations Draft Code of Offences Against The Peace and Security of Mankind, yang dirumuskan oleh International Law Commision (ILC).
Perkembangan selanjutnya mengenai kedudukan hukum individu sebagai subyek Hukum Internasional dikukuhkan dalam Konvensi Genosida atau Genocide Convention yang telah diterima oleh Sidang Umum PBB pada tanggal 9 Desember 1948.41 Genosida adalah Tindakan pembunuhan manusia secara masaal yang bertujuan untuk memusnahkan suatu kelompok bangsa atau suku bangsa, karena alasan ras, agama, dan sebagainya. Percobaan (attempt) atau "turut serta" dalam tindakan Genosida ini dapat dituntut pula.
Disamping beberapa kasus di atas, yang telah menjelaskan letak dan atau posisi individu sebagai subyek hukum internasional, masih terdapat pula kasus yang menggambar perkembangan kedudukan individu sebagai subyek hukum internasional dalam konteks tanggung jawab individu. Kasus tersebut dapat dilihat pada kasus Jenderal Augusto Pinochet di Chili Tahun 1973 dan kasus Presiden Filipina Ferdinand Marcos.
Pada kasus Jenderal August Pinochet, kasus ini meletakkan tanggung jawab pada individu yang melakukan tindak pidana kejahalan. Mantan diktator Chili yang terkenal dengan kebijakan pernerintahannya yang sangat fanatik anti komunis, Augusto Pinochet dikenakan tuduhan telah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) yang berkaitan dengan peristiwa penculikan dan hilangnya tujuh (7) orang yang terjadi sekitar awal pemerintahan Pinochet dari tahun 1973-­1990. Pada masa pemerintahannya Pinochet sekitar 3000 orang terbunuh dan hilang. Tuduhan ini merupakan bagian dari kasus pelanggaran HAM pada saat operasi militer yang dilakukan oleh Pinochet untuk menggulingkan pemerintahan terpilih dari sayap kiri, Salvador Alende pada tahun 1973 lewat kudeta berdarah yang dikenal dengan "Operasi Condor atau Operation Colombo", dimana dalam operasi ini 119 orang telah dinyatakan hilang. Dalam kasus ini Jaksa memberikan tuduhan terhadap Pinochet setelah menanyai terdakwa (Pinochet) dan bekas tentara polisi rahasia untuk mengetahui siapa yang bertanggung jawab atas hilangnya ke 119 orang tersebut. Pada akhirnya Jaksa menetapkan dan membebankan tanggung jawab atas tindak pidana kejahalan tersebut pada tanggung jawab individu yang harus dibebankan pada Pinochet, sehingga keputusan untuk kasus ini Pinochet dikenakan hukuman tahanan rumah.
Sedangkan pada kasus Presiden Filipina Ferdinand Marcos, bukan merupakan suatu pengecualian dari prinsip kedaulatan negara, karena pemerintah Filipina sendiri telah mencabut kekebalan (immunitas) yang dimiliki Marcos. Pada kasus ini, Marcos secara pribadi menguasai lembaga keamanan dan kemungkinan besar secara pribadi pula bertanggung jawab karena telah menyetujui kekejian yang menjadi subyek tuntutan tersebut, khususnya pada pen­culikan, penyiksaan dan pembunuhan terhadap mahasiswa Declemedes Trajano. Akan tetapi, akhir kasus ini belum memberikan keputusan apapun karena ketika proses penuntutan tengah berlangsung Marcos meninggal dunia.
Rentetan kasus-kasus yang menempatkan individu sebagai subyek hukum internasional, membawa sebuah konsekuensi logis yaitu berupa kecenderungan seusai Perang Dunia II untuk memberikan apresiasi yang besar terhadap eksistensi keberadaan manusia sehingga manusia harus dilindungi dan diakui hak asasinya. Kecenderungan ini didasarkan pada berbagai ketentuan yang diatur dalam salah satu Konvensi di Eropa yang dikenal dengan sebutan European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms,42 yang kemudian dibentuk aturan pelaksanaannya berupa Komisi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (European Commission on Human Rights) dan Mahkamah Eropa tentang Hak Asasi Manusia (European Court on Human Rights) yang telah mulai bekerja menangani perkara pada tahun 1959.
Jaminan hak asasi manusia yang diberikan oleh Komisi Eropa memberikan implikasi berupa jangkauan individu yang dapat mengadukan negaranya sendiri, sebagaimana diatur dalam Pasal 25 Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa (European Convention on Human Rights) yang menyebutkan bahwa "individuals can initiate claims alleging breaches of the Convention by their national state... "43 Akan tetapi, Komisi Eropa memberikan batasan atas kedudukan individu yaitu individu tidak dapat langsung mengajukan gugatannya, melainkan harus melakukannya melalui negaranya atau melalui Komisi Eropa.44
Perkembangan kedudukan individu sebagai subyek hukum internasional pada akhir abad ke-20 tepatnya dalam kurun waktu 1993-1998 ditandai dengan terjadinya peristiwa pembantai dan perbuatan keji di Yugoslavia dan Rwanda (Genosida dan kejahalan terhadap kemanusiaan) yang kemudian Melahirkan International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR),45 dimana individu harus memper­tanggungjawabkan perbuatannya karena disamping di­pandang pantas untuk mempertanggungjawabkan perbuatan secara pribadi, juga dalam kedudukannya sebagai subyek hukum internasional.
Individu (orang perorangan) dapat diminta pertanggungjawabannya selama satu (1) dari ketiga (3) hal dibawah ini terpenuhi, yaitu:
Dimana pribadi tersebut secara sengaja melakukan, merencanakan, membantu atau mendukung perencanaan, persiapan tindak pidana kejahalan yang dinilai sebagai pelaku tindak pidana kejahalan tersebut.
Pribadi atau individu tersebut bertanggung jawab atas keikutsertaan dalam rencana bersama atau konspirasi untuk memudahkan terjadinya tindak pidana kejahalan tersebut. Pribadi atau individu biasa dianggap bertanggung jawab sesuai dengan prinsip tanggung jawab individu.
Konsep tanggung jawab individu (orang perorangan) ini juga tercantum di dalam Pasal 6 Ayat (3) Statuta ICTR Tahun 1994 yang berjudul "tanggung jawab pidana individu (individual criminal responsibility)", dan di dalam Pasal 7 ayat (3) serta Pasal 25 Statuta Roma mengenai Mahkamah Pidana Internasional (Rome Statute of The International Criminal Court) tahun 1998. Pasal 25 Statuta Roma 1998 ini menyatakan bahwa: jurisdiksi International Criminal Court (Mahkamah Pidana Internasional) adalah orang-perorangan (natural-persons). Seorang tersangka dalam yurisdiksi Pengadilan, bertanggung jawab secara individual dan dapat dikenai hukuman sesuai ketentuan pidana dalam Statuta Roma.
Seseorang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dan dapat dijatuhi hukuman atas suatu kejahalan dalam yuridiksi International Criminal Court (ICC) apabila orang tersebut: Melakukan suatu kejahalan, baik sebagai seorang pribadi, bersama orang lain atau lewat seorang lain tanpa memandang apakah orang itu bertanggung jawab secara pidana atau tidak. Memerintahkan, mengusahakan, atau menyebabkan dilakukannya kejahalan semacam itu dalam kenyataan memang terjadi atau percobaan. Untuk mempermudah dilakukannya kejahalan tersebut, membantu, bersekongkol atau kalau tidak membantu dilakukannya atau percobaan untuk melakukannya termasuk menyediakan sarana untuk melakukannya.
Dengan cara lain, memudahkan atas dilakukannya atau percobaan dilakukannya tersebut oleh sekelompok orang yang bertindak dengan suatu tujuan bersama bantuan itu, harus bersifat sengaja dan harus dilakukan dengan tujuan untuk melanjutkan tindak pidana atau tujuan pidana kelompok itu, dimana kegiatan atau tujuan tersebut mencakup dilakukannya suatu kejahalan dalam yurisdiksi Pengadilan; Dilakukan dengan mengetahui maksud dari kelompok itu untuk melakukan kejahalan.
Berkenaan dengan kejahalan genosida secara langsung atau tidak langsung menghasut orang lain untuk melakukan genosida. Berusaha melakukan kejahalan semacam itu dengan langkah awal yang meyakinkan, namun kejahalan itu tidak terjadi karena keadaan-keadaan yang tidak tergantung pada maksud orang tersebut, tetapi seseorang yang membatalkan perbuatan kejahalan tidak dikenai pidana atas percobaan melakukan kejahalan seperti halnya juga bila orang tersebut secara sukarela membatalkan perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana individu ini tidak berpengaruh terhadap tanggung jawab negara berdasarkan hukum internasional. (Pasal 25 Statute Roma 1998).

Read more

Jumat, 24 Februari 2012

Perang Makassar (Studi Modern Awal Kebiasaan dalam Hukum Perang)

0

Assalamu alaikum Wr. Wb
Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua
Yang Terhormat
Ketua dan Anggota Dewan Penyantun Universtas Hasanauddin
Ketua, Sekretaris dan Anggota Dewa Guru Besar Universitas Hasanuddin
Para Ketua Lembaga Universitas Hasanuddin
Para Dosen, Karyawan, dan Mahasiswa
Para Undangan dan Hadirin yang Saya Muliakan

Sebelum memulai Pidato pengukuhan ini izinkanlah saya memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala berkat, karunia dan pengasihanNya, sehingga hari ini dapat saya melaksanakan orasi ilmiah dalam rangka pengukuhan jabatan guru besar tetap dalam bidang hukum internasional pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Kewajiban melaksanakan orasi ini, merupakan suatu kehormatan dan sangat saya nantikan sebagai seorang tenaga pengajar yang ingin dikenang sebagai guru yang baik. Kesempatan yang indah ini ingin saya manfaatkan untuk menyampaikan pandangan saya mengenai Hukum Inernasional Perang Makassar (Studi Hukum Modern Perang Di India Timur).

Para hadirin yang saya muliakan
Dari segi hukum internasional setidak-tidaknya ada dua hal yang membawa pengaruh besar terhadap Perang Makassar (1660-1670) yaitu pengaruh dari Perjanjian Westhpalia 1648 dan yang kedua adalah pengaruh dari perkembagan doktrin Hugo Grotius Eropa. Dua peristiwa ini membawa pengaruh atas Bangsa-bangsa Eropa pada abad pertengahan. Perjanjian Westhapalia merupakan perjanjian yang mengakhiri perang tiga puluh tahun yang sudah berlangsung di Eropa dari Tahun 1618 sampai Tahun 1648 yang merupakan perang dalam bentuk perseteruan agama, Katolik dan Protestan. Hampir semua negara terlibat dalam perang tiga puluh tahun tersebut. Salah satu klusula dalam deklarasi Osnanbruck Swedia dalam perjanjian Westhpalia tersebuat adalah diakuinya eksistensi protestanisme dalam tradisi kristen yang sudah banyak dianut di Jerman, Nederland, Inggris, Perancis dan sebagainya. Sementara itu dalam deklarasi tersebut dikemukakan bahwa negara-negara Eropa di manapun mereka membawa koloninya tidak boleh berperang maka akan menerima sanksi berdasarkan perjanjian Westhpalia (Katolik dan Protestan) harus saling menghormati dimanapun mereka berada, di daerah-daerah koloni mereka sekalipun.
Isi perjanjian ini kemudian membawa pengaruh sampai ke daerah-daerah koloni Eropa di Timur. Situasi rekonsialisi Eropa di Timur. Situasi rekonsialiasi oleh akibat langsung Westhpalia membawa kepada pembagian wilayah-wilayah koloni jajahan. Timur misalnya dalam satu perjanjian di Heidebart, India, dibagi menjadi dua bagian yaitu India Barat (West India) dan India Timur (East India). Perjanjian Heidebart ini bukanlah perjanjian India sesudah Perang Dunia II yang sudah membagi India Barat dan India Timur yang kemudian menjadi Pakistan, tetapi perjanjian pembagian koloni jajahan antara Inggris dan Nederland dimana Inggris mendapatkan India Barat yang terdiri wilayah-wilayah seluruh India sebelum terpecah (India, Paksitan, Bangladesh, Kolombo) dan lain sebaginya sedangkan Nederland mendapatkan wilayah koloni di India Timur (East India) yang terdiri seluruh wilayah Indonesia sekarang. Pada jamannya Nederland memberinya nama dengan Oost Indies.
Dengan latar belakang perjanjian Westhpalia dan perjanjian Heidebart inilah Nederland berusaha semakin merapatkan monopoli keuasaannya atas seluruh wilayah India Timur atau Oost Indies. Portugis yang sudah lama rajin menjalin hubungan raja-raja di Timur Oost Indies seperti Maluku, Sulawesi dan Timor tentu saja tidak ingin megakui deklarasi Heidebart itu karena memang Portugis tidak disertakan. Malahan menganggapa sebagai persekongkolan antara inggris dan nederland. Portugis memperotes isi deklarasi itu, tetapi faktor inggris ini unik, karena meras diikiat oleh deklarasi heiderabat dia hanya bisa berdagang di Oost indies sambil berusaha mencipatkan ondisi politis bersama kawan-kawan eropanya yang lain. Bahw ayang masuk dalam kategori oost indie hanyalah java dan andalas, sedangkan seluruh wilayah timur Oost indies tidak tergolng sebagai wilayah Oost indies. Khususnya suatu kerajaan besar dan makmur dan sudah menanamkan imperium di sekuruh wilayah timur yaitu kerajaan Gowa
Jauh sebelum kedua perjanjian ini (Westhpalia dan Heiderabart) dideklarasikan, kerajaan gowa sudah muncul menjadi suatu kerajaan maritim besar dan merupakan bandar niaga maritim besar. Inggris sudah lama mejalin hubungan dgang dengan kerajaan ini. Lebih dari itu inggris menganggap bahwa kerajaan gowa ini tidak termasuk dalam klausul perjanjian Heiderabat.

Hadirin yang saya muliakan,
Sekalipun perjanjian heidebart telah ada dan mengikat anatara belanda dan inggris tetapi tidak mengurangi persaingan keduanya sebagai negara penaluk dan berkekuatan besar di lautan. Mereka bahkan seringkali bererang di lautan dan yang terbesar diantaranya perang cape hope bay, afrik bagian selatan (1652-1654) dan perang selat Hindi (1664-1667). Perang yang terakhir inilah yang berimbas langsung terhadap perang makassar karena salah seorang admiral belanda yang memawa kemenagan dalam perang selat hindi beranama admiral Cornelius Jancoon Speelman ditarik dari India ke Batavia untuk penaklukan Gowa yang banyak dibantu oleh Inggris dan Perancis bersama beberepa negara Eropa lainnya.
Dalam pada itu segi-segi hukum perang tidak banyak diungkapkan sebagai implikasi dari Perang Makassar padahal perang yang berlangsung selama 10 Tahun (1660-1670) ini merupakan perang yang terbesar di Asia tenggara (East Indie).
Perang Makassar tidak banyak dimunculkan implikasi kemanusiaannya dalam tulisan para ahli, padahal untuk studi hukum hukum perang termasuk hukum perang hal ini sangat penting. Skepstisisme sesungguhnya muncul mengapa tulisan para ahli, khususnya ahli-ahli Belanda tidak mengungkapkan hal-hal ini. Apakah sengaja disembunyikan untuk suatu justifikasi menyesatkan bahwa lawan Belanda dalam perang Makassar bukan negara yang beradab dan punya pemerintahan yang mendapatkan pengakuan internasonal melainkan Perompak dan Bajak laut ? menangkal justifikasi itu tidak bisa dengan pemikiran temparamen yang sempit tetapi harus dibongkar melalui penelitian-penelitian ilmiah dengan argumentasi hukum kenegaraan dan hukum internasional yang kuat. Apakah kerajaan Gowa memang merupakan kerajaan Perompak, kerajaan bajak laut seperti yang dituding oleh kompeni VOC dalam banyak tulisan ? apakah kompeni VOC satu-satunya negara yang beradab dengan tradisi kristen protestan yang penuh di India Timur abad ke 17 ? apakah kerajaan Gowa yang dianggap bajak laut pembunuh dengan tradisi agama Islam suku Makassar biadab, tanpa etika kenegaraan sopan santun dan tata krama dalam perang ?

Hadirin yang saya muliakan,
Perang Makassar
Perhatian yang kompherensif terhadap hukum perang berdasarkan penelusuran relatif masih kurang. Perang Makassar (Makassar War) eksistensinya diakui oleh para sarjana (Andaya, Reid, Mattulada, Staffel, Zainal Abidin Farid, Valentijn, Pelras, Noorduyn, Edward Pollinggomang, Kern, Mangemba, Patunru, Sagimun) agak sayang sedikit sekali terungkapkan soal-soal hukum perang tentang perang Makassar. Padahal melakukan studi tentang perang tidak bisa lepas kaitannya dengan implikasi-implikasi humaniter. Barangkali inilah beban yang sedikit berat yang akan dialami para Penulis ini mengingat karena kurangnya data-data. Adalah sukar melakukan rekonstruksi sejarah hukum (khususnya hukum internasional) dengan data-data yang sedikit. Padahal untuk melakukan studi tentang perang diperlukan materi dan kasus-kasus sejarah secara umum yang jelas. Sebagai contoh beberapa kasus yang ditulis secara sambil lalu oleh para sarjana: kasus perbudakan mengenai penggalian Kanal Tallok, kasus pembantaian (holocoust) di Pulau Banda. Kasus pembantaian tawanan (trial sacrifice) di Pulau Liwoto, Selat Buton, kasus pembumihangusan di Benteng Somba Opu 1669, kasus pembumihangusan Benteng Tosora 1670. Kasus-kasus ini ditulis dalam berbagai refrensi tetapi cenderung dilakukan hanya sambil lalu serta tidak sistematis dan kompherensif. Begitu pula tentang data-data kuantitatif yang saling berbeda satu sama lain. Data korban tentang pembantaian tawanan di Pulau Liwoto (sekarang pulau Makassar), sebuah pulau yang terletak kurang lebih satu mil di luar Kota Bau-bau saling berbeda antara Matulada dan Andaya. Dalam bukunya Menelusuri Jejak Sejarah Kebudayaan Sulawesi Selatan, Mattulada mematok jumlah korban pembantaian di pulau kecil itu sebanyak 9000 orang. Sedangkan dalam bukunya Andaya, the Herritage of Arung Palakka, dituliskan dengan jumlah 5000 orang korban. Jumlah mungkin tidak penting, tetapi untuk keperluan penelitian diperlukan data-data eksistensial yang akurat.
Masih sehubungan dengan hal diatas beberapa sumber pada tingkat observasi ditemukan beberapa tempat yang memiliki nama yang sama yaitu; Kanre Apia (Makassar) atau Kanre Api (bugis) atau Kande Api (Mandar) merupakan nama-nama yang berhubungan implikasi hukum perang Makassar. Kanre Apia yang terdapat di Desa Lembanna, kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa memiliki karakter peristiwa yang sama dengan Kande Api di Kabupaten Majene serta Kandre Api di Kabupaten maros. Kanre Api artinya pembakaran kampung atau tempat atau logistik merupakan tindakan pembumihangusan yang dilakukan oleh pasukan Arung Palakka dalam rangka blokade atau meruntuhkan tentang Gowa agar tidak lagi melakukan perlawanan. Tradisi pembakaran kampung kadang-kadang disertai dengan pembakaran hidup-hidup orang yang masih loyal terhadap musuh merupakan hukum alam yang berlaku dalam perang.

Hadirin yang saya muliakan
Selain tradisi Kanre Apia (pembumihangusan) maka terdapat tradisi perang lain dalam peperanga klasik di abad ke 17 yaitu tradisi pemenggalan kepala bagi pemimpin tentara (Lasykar). Tradisi ini dikenal selama berlangsungnya perang Makassar sebagai Tunibatta (Makassar), Todipolong (Mandar), Todigerek (bugis). Banyak pemimpin perang kedua bela pihak mengalami eksekusi seperti ini dan hal ini nampaknya sudah menjadi hukum kebiasaan dalam perang. Sama dengan tradisi Kanre Apia, dalam tradisi Tunibatta adalah merupakan salah satu bentuk untuk meruntuhkan moral tentara yang dipimpinnya. Malahan seringkali kepala pemimpin perang yang dikenal kharismatik diambil sebagai hadiah buat raja untuk mendapatkan pengakuan bahwa sang pemimpin sudah dikalahkan dalam perang.
Sesungguhnya tradisi Kanre Apia Dan Tunibatta pada abad ke 17 sudah berlaku sebagai hukum kebiasaan internasional. Tradisi hukum perang klasik seperti itu berlaku universal tidak saja terjadi pada perang Makassar. Dalam rangkaian peperangan pada masa Imperium Roma (Roman Empire) tradisi hukum perang ini telah terjadi. Hal ini agaknya sudah menjadi legalitas umum dalam rangkaian peperangan dimasa imperium Roma. Pernyataan kekalahan dalam perang senantiasa disertai dengan tindakan perlambang kekuasaan bagi pemenang perang, apakah dengan cara pembakaran kota atau wilayah yang dikalahkan dalam peperangan, ataukah dengan cara memenggal kepala panglima perang untuk diserhakan kepada Kaisar (dalam catatan Cicero, 1954: 4-5).
Kelihatannya legalitas penghukuman seperti ini memang kejam tetapi tentu saja pada masa itu belum ada hukum-hukum perang yang lebih manusiawi apalagi dengan Konvensi Internasional tentang perang, seperti Konvensi Jenewa 1940. Prinsip-prinsip hukum perang yang berlaku adalah prinsip-prinsip perang yang adil. Dalam Estimasi Cicero (1954: 7) yang dimaksudkan dengan perang yang yang adil pada Rus Romanium adalah menjalankan prinsip-prinsip resiprositas. Prinsip lain agaknya belum ada. Resiprositas di sini tentu saja tidak dapat dipandang sebagai balas dendam. Karena cara-cara yang mereka lakukan berdasarkan pertimbangan yang adil. Sebagai contoh apabila musuh membunuh delapan orang prajurit maka pihak lain pun akan membalasnya dengan jumlah yang sama.
Pertanyaan apakah tradisi hukum perang klasik Romawi juga berlaku sepanjang perang Makassar ? tidak ada studi khusus yang terfokus terhadap hubungan ini. Tetapi hubungan hukum antara hukum Belanda (yang dipakai oleh VOC) dengan hukum Romawi sangat erat kaitannya, dapat menjadi skpetisisme tersendiri untuk membongkar kaitan ini. Apalagi munculnya pemikiran besar dari Hugo Grotius tahun 1648 dipandang banyak dipengaruhi oleh pikiran-pikiran Cicero tentang perang yang adil. Jika menelusuri latar belakang lahirnya hukum belanda maka tidak bisa lepas dari hukum Romawi.
Terdapat banyak catatan menarik mengenai pengaruh hukum Romawi terhadap hukum Eropa pada umumnya dan hukum Belanda pada khususnya, tetapi paling penting diantaranya adalah apa yang dicatat oleh Rene Daniel sebagai kelompok keluarga hukum Romawi Germania (Maramis, 1994: 17), pengaruh hukum publik terutama hukum internasional pidana dan tata negara agaknya tidak teradaptasi dari hukum Romawi lebih dari hukum perdata (sipil) kebanyakan teradaptasi adalah hukum sipil yang lebih dikenal dengan Ius Civil. Hal ini tidak lepas dari sejarah imperium roma itu sendiri.

Hadirin yang saya muliakan
Hiruk Pikuk Deklarasi Bongaya
Seberapa jauh penggambaran pengaruh-pengaruh hukum romawi dalam sistem hukum perang klasik selama perang Makassar. Jika membaca referensi yang menggambarkan kejadian dalam perang maka terasa sekali pengaruh-pengaruh itu ada. Sebagai contoh dalam praktek resiprositas tentang karangnya kapal Belanda De Walvis tahun 1662 dan De Leeuwin tahun 1664 (F.W. Stapel, 1922; Abdurrazak Daeng Patunru, 1967: Leonard Y. Andaya, 1981; Mattulada, 1991).
Kapal Belanda De Walvis yang berlayar dari Batavia menuju Maluku tahun 1662 memasuki perairan Makassar dan kandas di atas sebuah gunung di lautan Makassar. Orang-orang makassar yang mengejar kapal itu dapat menyita 16 pucuk meriam dari kapal itu. Kemudian Belanda menuntut kepada Sultan Hasanuddin agar mengembalikan meriam-meriam itu, akan tetapi tuntutan itu ditolak oleh Sultan berhubung waktu itu antara kerajaan Gowa dengan Belanda masih dalam keadaan perang (Patunru, 1967: 48).
Mattulada (1991: 78) secara menarik membelah kasus ini dalam dua versi yaitu dalam versi Belanda dan versi Makassar. Menurut versi Belanda dalam tahun 1662 sebuah kapal Belanda De Walvis namanya, terdampar di perairan Makassar. Kapal yang terdampar ini dirampok oleh orang-orang Makassar. Enam belas pucuk meriam jatuh ke dalam tangan seorang Rijkgraten (pembesar kerajaan) dan tidak mau mengembalikannya.
Meurut versi Makassar, dalam tahun 1661, ada sebuah kapal Belanda bernama De Walvis, memasuki batas perairan Makassar tanpa pemberitahuan lebih dahulu. Kapal disergap oleh kapal-kapal pengawal pantai kerajaan Gowa di perairan Makassar. Kapal itu sesungguhnya dikejar dalam wilayah kedaulatan Perairan Makassar, namun karena tidak mengetahui letak-letak kerajaan Gowa, maka kapal itu disita dan enam belas pucuk meriam yang dipergunakan dalam melakukan perlawanan itu disita oleh pemerintah kerajaan Gowa.
Hadirin yang saya muliakan,
Sementara itu, insiden kapal De Leeuwin terjadi dua tahun kemudian, 24 Desember 1664. Kapal Belanda De leeuwin yang dahulu telah membawa Arung Palakka dan kawan-kawannya dari Buton ke Batavia, kandas di Pulau Doang-Doang. Kapal ditahan oleh Armada Gowa yang menjaga perairan Makassar untuk mempertahankan kedaulatan kerajaan Gowa. Dari anak-anak buah kapal itu ada 40 orang yang masih hidup diangkat oleh orang-orang Makassar ke Somba Opu. Akan tetapi kemudian dari pihak Belanda menyampaikan tuduhan bahwa dari atas kapal itu ada sebuah peti yang berisi uang perak sebanyak 1425 ringgit yang telah disita oleh orang-orang Makassar. Berhubungan dengan tenggelamnya De Leeuwin, maka Onder-koopman Belanda yang bernama Ir. Cornelius Kuyff bersama 14 orang anak buahnya berangkat ke tempat di mana kapal itu kandas untuk memeriksa sendiri keadaan kapal itu, akan tetapi kepergiannya ke sana tidak diketahui dan tidak seizin Sultan. Baru saja mereka itu tiba di sana, maka pasukan kerajaan Gowa yang menjaga tempat itu memerintahkan supaya orang-orang Belanda itu menyerah, akan tetapi mereka itu menolak, bahkan mengadakan sehingga terjadi pertempuran yang mengakibatkan habis terbunuh semua oleh tentara Gowa (Patunru, 1967: 44).
Insiden De Walvis dan De leeuwin ini menarik, karena insiden inilah yang dipandang sebagai implemetasi dari azas-azas resiprositas yang diacu oleh Belanda dari hukum Romawi (azas ius gentium dan ius generale). Insiden ini menjadi pasal paling krusial diperbincangkan dalam perjanjian Bongaya tahun 1667. Untuk menekankan pentingnya azas resiprositas ini Belanda memajukan khusus dua pasal dalam perjanjian Bongaya yaitu:

Pasal 3: bahwa kepada kompeni akan diserahkan dan dikembalikan semua perlengkapan kapal, meriam-meriam, mata uang-mata uang, dan barang lainnya tanpa kecuali, yang disita dari kapal de Walvis di pulau Selayar dan kapal yang karam di Pulau Doang-doang.
Pasal 4: bahwa akan dilaksanakan secepatnya proses peradilan di hadapan dan dilaksanakan oleh presiden Makassar terhadap orang-orang yang bersalah dan masih hidup karena melakukan pembunuhan terhadap orang-orang Belanda di tempat-tempat yang berbeda itu.

Pasal-pasal ini mejadi gempar dan terjadi keributan dan kepanikan bahkan beberapa petinggi Gowa mencabut badik berteriak-teriak menghujat pasal yang tidak adil ini. Sesungguhnya pasal ini telah dirundingkan setahun sebelumnya, 17 Desember 1666. Perundingan berlangsung di atas sebuah kapal Belanda yang bernama Tertholen, di perairan Tana Keke (Andaya, 1981: 73). Dua orang bangsawan Gowa datang ke kapal dengan maksud baik untuk berdamai sambil membawa 1.056 emas sebagai tebusan atas terbunuhnya orang Belanda di pulau Doang-doang dari insiden De Walvis dan 1435 ringgit Belanda yang diambil dari bangkai kapal De Leeuwin. Reaksi Speelman kemudian meminta utusan itu untuk mengirim suratnya, mereka menolak dengan mengatakan sampai mati pun mereka tidak akan melakukannya karena mereka hanya diperintah untuk mengantar uang itu, dan tidak untuk lainnya.
“Darah dibayar dengan darah, tidak dengan uang !”, dalam pernyataan Admiral Cornelius Jancoon Speelman ini nampak arogan dan menantang, namun itulah karakter pencapaian azas resiprositas yang berlaku. Selain tentunya pengembalian harga diri bangsa. Penyitaan dua kapal tersebut disertai dengan pembunuhan dan penawanan anak-anak buah kapal dipandang telah menjatuhkan harga diri dan martabat Belanda serta merupakan tindakan pelecehan. Selain itu bertentangan dengan perjanjian yang telah disepakati antara Gowa dan Belanda tahun 1660. Oleh karena itu Belanda menuntut pengembalian harga diri tersebut.
Hadirin yang saya muliakan,
Perdebatan panas tentu saja tidak bisa dihindari karena para perunding Gowa yang disangsikan langsung oleh Sultan Hasanuddin menolak mentah-mentah usulan dua pasal ini. Andaya (1981: 76) menggambarkan perundingan panas ini berlansung selama enam hari dan separuh waktu dihabiskan memperkarakan dua klausul tentang insiden kapal De Walvis dan De Leeuwin ini. Perundingan ini awalnya dipimpin langsung oleh Sultan Hasanuddin dari pihak Gowa dan Speelman dari pihak Belanda. Tetapi karena faktor komonikasi bahasa, maka ditetapkan karaeng Karunrung sebagai juru runding. Sekalipun Karaeng Karunrung tidak sehebat ayahnya, Karaeng Pattingaloang, dalam soal bahasa-bahasa Eropa, namun Karaeng Karunrung sangat fasih dalam dua bahasa Portugis dan Inggris. Disepakati dipergunakan bahasa Portugis. Dalam Kronik Entje Amin (Skinner, 1967: 178-180) digambarkan bahwa sesungguhnya Speelman fasih juga dalam bahasa Inggris, namun ajakan Karaeng Karunrung untuk menggunakan bahasa Inggris dalam perundingan ditolak oleh Speelman. Penolakan itu bukan karena ketidakfasihan Speelman melainkan lebih karena kebenciannya yang mendalam terhadap orang-orang Inggris yang menjadi lawannya berperang dalam perang di Teluk Benggali (selat Hindi) India, penugasan sebelumnya ketika kemudian ditarik untuk memimpin tentara Belanda Makassar yang digambarkannya lebih ganas dari perang Teluk Benggali.
Sesungguhnya tuntutan Belanda Pasal 3 perjanjian Bongaya bisa dilakukan oleh Gowa untuk mengembalikan semua barang-barang yang disita dari kapal termasuk ganti kerugian barang-barang yang disita dari kapal termasuk ganti kerugian barang-barang yang telah hancur dan sekalipun tuntutan itu berlebihan. Tetapi Pasal 4 sangat berat dilaksanakan oleh pemerintah Gowa. Orang-orang yang dianggap bertanggung jawab terhadap penyergapan kapal itu serta pembunuhan dan penahanan awaknya merupakan prajurit-prajurit resmi gowa yang menjalankan perintah komandan mereka. Beberapa nama yang masuk dalam daftar tuduhan Belanda adalah bangsawan-bangsawan utama kerajaan Gowa, beberapa diantaranya menjadi saksi dalam perundingan ini. Secara rahasia Karaeng Karunrung meminta daftar pencarian orang (DPO) buatan Speelman dan karaeng karunrung kaget melihat daftar itu. Karena selain Itanrawa RI Ujung Karaeng Bontomarannu (Panglima perang kerajaan Gowa yang ditakuti dengan sebutan Del Monte Maranno) bersama raja Bima, Raja luwu, arung Matoa Wajo, Raja Balanipa (Mandar), Raja Tambara, Raja Sanggar serta Karaeng Dompo (Dompu), yang semuanya ditempatkan dalam pasal tersendiri (Pasal 15), juga terdapat beberapa bangsawan yang ikut serta mengawal perundingan ini. Serta Karaeng Karunrung menolak pasal ini, karena yang dituduhkan Belanda dalam DPO tersebut adalah panglima-panglima kerajaan Gowa yang sama sekali tidak terlibat dalam penyergapan itu, tetapi kebanyakan penentu kebijaksanaan, menyerahkan orang-orang ini sama saja menggerogoti kekuatan perang Kerajaan Gowa. Lagi pula mereka ini tidak dapat dituntut sebagai pelaku pembunuhan karena situasinya dalam perang (Mattulada,1991: 89).

Hadirin yang saya muliakan
Kesimpulan
Amar yuridis menyangkut interpretasi kedua klausul krusial dalam perjanjian Bongaya ini adalah alasan-alasan kedua belah pihak.
Pihak Belanda memandang bahw a tindakan itu perampokan (phiracy), perampasan dan pembunuhan karena kedua kapal itu melakukan transit serta membuang jangkar dengan damai di peraiaran bebas, di luar tapal-batas perairan kedaulatan Gowa. Serangan itu dilakukan secara tiba-tiba tanpa pernyataan perang lebih dahulu dan hal ini melanggar kebiasaan perang (secara internasional) yang berlaku. Lebih dari itu serangan ini merupakan pelanggaran terhadap azas perjanjian yang telah disepakati antara Gowa dan Belanda tahun 1660 sebagaimana kesepakatan yang telah tertuang dalam Pasal 2 perjanjian Bongaya.
Pihak Gowa menilai bahwa perjanjian tahun 1660 itu dengan sendirinya telah tereliminir arena Beanda sendiri dipandang telah menyatakan perang setelah melakukan pembantaian di Pulau Banda Februari 1661 karena penduduk Banda masih merupakan federasi protektorat dari Gowa. Bukan saja pembantaian di pulau Banda yang menjadi musabab timbulnya perang antara Belanda dan Gowa, melainkan Blokade yang dilakukan kapal-kapal belanda terhadap kapal-kapal asing lainnya (terutama kapal dagang Inggris) yang menjadi sahabat Gowa serta kapal-kapal Gowa sendiri di perairan laut bebas menjadi isyarat bagi Gowa bahwa perjanjian tahun 1660 sudah tidak berlaku lagi dan dengan demikian perang sudah dinyatakan tidak berlaku lagi dan dengan demikian perang sudah dinyatakan oleh Belanda.
Alasan yang kedua dalam interpretasi Gowa adalah bahwa kedua kapal itu tidak melintas dengan damai tetapi melakukanka perlawanan. Pasukan pengawal pantai kerajaan Gowa diperintahkan untuk memeriksa kapal itu karena telah berada dalam perairan kedaulatan Gowa tetapi mereka memperlihatkan isyarat untuk berperang, padahal sultan Gowa sudah meminta pengawal Pantai Menanya baik-baik apa tujuan mereka berlabuh di perairan ini.

Read more

Minggu, 19 Februari 2012

Laporan Hasil Penelitian Sengketa Internasional Di Kawasan Perairan Laut Cina

0

Akhir-akhir ini Laut Cina Selatan kembali menjadi fokus perhatian masyarakat internasional setelah Cina dan beberapa negara di kawasan Asia Tenggara terutama Pilipina, Vietnam dan Malaysia mempertegas klaim mereka. Bahkan Cina telah mengeluarkan ancaman untuk mengambil tindakan militer jika integritas wilayah kawasannya di Laut Cina Selatan terancam. Cina menganggap bahwa wilayah itu adalah bagian integritasnya oleh karena itu di beri nama demikian.






Demikian pula di kawasan Laut Cina Timur telah menimbulkan konflik sengketa wilayah antara Cina dan Jepang di perairan bagian timur Kyushu dan Pulau Nansei milik Jepang. Kepualauan yang di persengketakan terutama adalah Kepulauan Diaoyu (versi Cina) atau Kepulauan Senkaku (versi Jepang).



Terjadinya persengketaan mereka karena masing-masing mengajukan metode penyelesaian sengketa yang berbeda. Cina menggunakan konvensi hukum laut ketiga (UNCLOS III) sedangkan Jepang menggunakan konvensi hukum laut kedua (UNCLOS II). Selain itu juga antara Cina dan Jepang berbeda resim. Cina memiliki resim landas kontinen sedangkan Jepang memiliki resim kepulauan.

Read more

Rabu, 08 Februari 2012

Sikap Negara-Negara Berkembang Terhadap Hukum Internasional

0

Pada bagian kedua abad ke-20, salah satu ciri pokok masyarakat internasional ialah bermunculannya negara­-negara baru sebagal akibat implementasi dekolonisasi. Bila di waktu berdirinya di tahun 1945, PBB hanya beranggotakan 51 negara, sekarang jumlah tersebut hampir mencapai 4 kali lipat yaitu 191, ditambah Vatikan yang tetap berada di luar organisasi dunia tersebut. jumlah negara merdeka di dunia dewasa ini adalah 192 dan 141 lahir sesudah tahun 1945. Ini berarti bahwa negara-negara baru tersebut sama sekali tidak ikut merumuskan ketentuan-ketentuan hukum internasional zarnan sebelumnya yang mengatur kehidupan dalam pergaulan antarbangsa. Lalu timbul pertanyaan mengenai sikap mereka terhadap, hukum internasional.

Negara-negara berkembang yang jumlahnya sekitar 145 dengan sistem pemerintahan yang saling berbeda tidak selalu mempunyai pandangan dan sikap yang sama terhadap hukum internasional. Namun dalam banyak hal terutama bagi Negara-negara Asia dan Afrika terdapat kesamaan pandangan terhadap sistem hukum tersebut.

Sebelumnya negara-negara Asia dan Afrika mempunyai sikap yang kritis terhadap hukum internasional dengan alasan sebagal berikut:

1. Pengalaman pahit yang dialami di waktu berada di bawah hukum internasional di zaman kolonial karena ketentuan‑ketentuan hukum yang dibuat pada waktu itu hanya untuk kepentingan kaum penjajah. Bahkan akibatnya masih dirasakan sampai zaman sesudah kemerdekaan.

2. Negara-negara tersebut belum lahir waktu dibentuknya hukum internasional. Dengan demikian nilai-nilai, kebudayaan dan kepentingan mereka tidak tercerminkan dalam hukum internasional waktu itu. Ketentuan-­ketentuan hukum internasional tersebut dibuat tanpa partisipasi negara-negara Asia dan Afrika yang keselu­ruhannya didasarkan atas nilai-nilai dan kepentingan Eropa dan karena itu tidak sesuai dengan kepentingan negara-negara tersebut." Oleh karena hukum inter­nasional tersebut merupakan produk kebudayaan Eropa, sehingga tidak dapat bersikap tidak memihak terhadap sengketa-sengketa yang terjadi antara Negara-negara Eropa dan Afrika.14

3. Dalam hal tertentu, negara-negara Barat menggunakan hukum internasional untuk memelihara status quo dan mempertahankan 'kolonialisme." Hukum internasional pada waktu itu tidak banyak membantu pelaksanaan hak menentukan nasib sendiri kecuali setelah suatu negara memulai perjuangan kemerdekaannya.

4. Di antara negara-negara Asia dan Afrika, banyak yang berada dalam keadaan miskin dan karena itu berusaha keras untuk memperbaiki keadaan ekonomi mereka. Di antara negara-negara tersebut ada pula yang mempraktek­kan sistem ekonomi sosialis yang tentunya bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum internasional klasik.

5. Jumlah wakil-wakil dari Asia dan Afrika dalam berbagai badan hukum PBB seperti Mahkamah Internasional, Komisi Hukum Internasional dan Biro-biro Hukum berbagai organisasi internasional, sampai akhir-akhir ini sangat sedikit, sehingga menyebabkan mereka tidak terwakili secara memadai dalam badan-badan tersebut dan tidak dapat berpartisipasi dalam menciptakan norma­-norma hukum internasional.

Itulah antara lain faktor-faktor yang menyebabkan negara-negara Asia dan Afrika sebelumnya sangat kritis terhadap hukum internasional. Tetapi itu bukan berarti bahwa negara-negara tersebut menolak hukum inter­nasional. Walaupun hukum internasional tersebut tidak memadai seperti yang dikemukakan di atas namun negara­-negara berkembang, meskipun selalu bersikap kritis, tetap mendukungnya dan dalam hal-hal tertentu hukum internasional telah banyak membantu perjuangan negara­-negara berkembang seperti contoh-contoh berikut:

1. Perjuangan kemerdekaan Indonesia dan juga bangsa-­bangsa terjajah lainnya mendapat perhalian penuh dan PBB karena perjuangan tersebut sesuai dengan prinsip­-prinsip dalam Piagam PBB tentang hak menentukan nasib sendiri. Di samping itu Negara negara Afrika selalu menunjuk pada prinsip-prinsip umum hukum inter­nasional dalam per uangannya melawan kolonialisme dan imperialisme.16

2. Langkah pertama yang diambil oleh negara-negara yang baru merdeka adalah mencalonkan diri untuk menjadi anggota PBB dan Badan-badan khusus lainnya. Sebagai anggota, negara-negara baru tersebut ikut merumuskan ketentuan-ketentuan baru untuk memperjuangkan dan melindungi kepentingan mereka.

3. Walaupun sudah merdeka, banyak negara-negara baru tersebut masih lemah, baik dari segi ekonomi maupun dan segi militer. Satu-satunya perlindungan terhadap intervensi asing adalah pengandalan dari dukungan terhadap hukum internasional. Oleh karena itu negara­negara tersebut selalu merujuk pada prinsip-prinsip hukum internasional yang mendasari hubungannya dengan negara-negara lain.17

4. Negara-negara berkembang pada hakekatnya men­dukung hukum internasional mengingat besarnya manfaat yang diperoeh melalui kerjasama internasional untuk mempercepat terlaksananya pembangunan nasional di berbagai bidang. Dukungan mulai nampak nyata dari partisipasi aktif negara-negara tersebut dalam berbagai forum untuk merumuskan dasar-dasar kerja­sama dalam bidang-bidang yang baru. Sebagai kesimpulan dapat dinyatakan bahwa pada mulanya negara-negara berkembang sangat kritis terhadap hukum internasional yang sama sekali tidak mencerminkan nilai-nilai kebudayaan dan kepentingan mereka. Tetapi segera setelah lahir, dengan aktif negara-negara tersebut berperan serta dalam berbagai forum dunia untuk ikut merumuskan berbagai ketentuan hukum yang selanjutnya juga mencer­minkan pandangan dan kepentingan dunia ketiga. Forum PBB dan berbagai forum dunia lainnya telah dapat dimanfaatkan oleh negara-negara berkembang untuk mengakhiri era kolonialisme dan memperjuangkan kepentingan mereka di bidang ekonomi dan sosial. Usaha­-usaha ini masih tetap dilanjutkan untuk merombak ketentuan-ketentuan yang masih berbau kolonial di samping upaya untuk mewujudkan suatu tatanan dunia baru yang bebas dari perang, ketidakadilan, kemiskinan dan keter­belakangan. Karena mayoritas negara di dunia dewasa ini terdiri dan negara-negara berkembang, maka dapatlah diharapkan bahwa selanjutnya hukum internasional akan lebih memperhalikan aspirasi dan kepentingan negara­-negara dunia ketiga.

Read more

PENGAKUAN DALAM HUKUM INTERNASIONAL

0

1. Pendahuluan

Apabila Idta mempelajari hukum internasional, terutama sejak abad ke-18 sampai dewasa ini, maka kita akan menemukan betapa pentingnya peranan lembaga pengakuan internasional dalam hubungan antar negara sebagaimana diakui oleh semua sarana hukum internasional. Malahan tidak berlebihan kalau kita mengatakan disini bahwa pemberian atau dalam segi negatifnya penolakan pemberian pengakuan itu, telah merupakan faktor yang banyak pengaruhnya terhadap perkembangan sejarah internasional.

Penolakan pemberian pengakuan oleh Amerika Serikat kepada Uni-Soviet selama 16 tahun lamanya misalnya semenjak revolusi Oktober 1917 di Rusia telah sangat mempengaruhi keadaan dunia pada masa tersebut, sebagaimana halnya penolakan pemberian pengakuan oleh Amerika Serikat kepada pemerintah Republik Rakyat Tiongkok semenjak berkuasanya rezim itu di Tiongkok mulai akhir tahun 1949, sangat banyak mempengaruhi keadaan politik di dunia umumnya, di Asia khususnya.

Pembahasan mengenai lembaga pengakuan inter­nasional ini semoga ada manfaatnya, oleh karena tetap merupakan suatu masalah aktual yang menyangkut berbagai bidang hubungan antar negara. Masyarakat internasional merupakan masyarakat yang dinamis berubah dari waktu ke waktu ada negara yang dikuasai negara lain dan ada pula negara baru yang lahir. Demikian pula pemerintah lama terguling, pemerintah baru lahir. Lahirnya negara/ pemerintah tersebut ada yang melalui cara-cara damai, ada pula yang melalui cara-cara kekerasan. Perubahan­-perubahan ini menyebabkan anggota masyarakat inter­nasional lainnya dihadapkan pada dua pilihan, yaitu mau menyetujui atau menolaknya. Tanpa mendapatkan penga­kuan ini negara tersebut akan mengalami kesulitan dalam mengadakan hubungan dengan negara lainnya. Negara yang belum mendapatkan pengakuan dapat memberi kesan dalam negara lain bahwa negara tersebut tidak mampu menjalankan kewajiban-kewajiban internasional. Oppen­heim mengatakan bahwa pengakuan merupakan suatu pernyataan kemampuan suatu negara baru.1 Nampaklah bahwa negara-negara dalam memberikan pengakuan ini semata-mata hanya didasarkan pada alasan-alasan politis, bukan alasan hukum. Dari praktek negara-negara tidak ada keseragaman dan tidak menunjukkan adanya aturan-aturan hukum dalam masalah pengakuan ini. Namun dengan diakuinya suatu negara/pemerintah baru, konsekuensi yang ditimbulkannya dapat berupa konsekuensi politis tertentu dan konsekuensi yuridis antara negara yang diakui dengan Negara yang mengakui.

Konsekuensi politis misalnya, antara kedua negara dapat dengan leluasa mengadakan hubungan diplomatik, sedangkan konsekuensi yuridis misalnya berupa: Pertama, pengakuan tersebut merupakan pembuktian atas keadaan yang sebenarnya, Kedua, pengakuan menimbulkan akibat­-akibat hukum tertentu dalam mengembalikan tingkat hubungan diplomatik antara negara yang mengakui dan yang diakui; Ketiga, pengakuan memperkokoh status hukum negara yang diakui dihadapan pengadilan negara yang mengakui.2

Selain alasan politis pemberian pengakuan suatu Negara kepada negara lain terlebih dahulu harus ada keyakinan bahwa negara baru tersebut telah memenuhi unsur-unsur minimum suatu negara menurut hukum internasional dan pemerintah baru tersebut menguasai dan mampu memimpin wilayahnya.3 Adapun unsur-unsur lain dari pemberian pengakuan yaitu: Pertama, pemerintah dalam negara baru tersebut harus mendapatkan kekuasaannya melalui cara-cara konsitutisional, kedua, negara tersebut harus mampu bertanggung jawab terhadap negara lain.4 Berangkat dari fakta-fakta tersebut, maka dicoba memberikan definisi tentang pengakuan, yaitu tindakan politis suatu negara untuk mengakui negara baru sebagai subyek hukum internasional yang mengakibatkan hukum tertentu.5





2. Fungsi Pengakuan

Para Sarjana Hukum Internasional pada umumnya berpendapat bahwa "Pengakuan" (Inggris: Recognition, Prancis: reconnaissance, Jerman: Anerkennung) adalah suatu lembaga yang sangat penting artinya dalam hubungan antar negara.6

Dalam abad ke-20 ini tidak ada satu negarapun dapt hidup terasing dari negara-negara lainnya dan alat-alat komunikasi modern telah mendorong menciptakan hubungan interpendensi yang erat antara negara-negara di dunia ini.

Tetapi sebelum suatu negara baru dapat mengadakan hubungan dalam berbagai bidang dengan negara-negara lainnya, baik politik, ekonomi, sosial budaya dan sebagainya, maka terlebih dahulu harus melalui pengakuan. Dengan demikian, fungsi pengakuan adalah untuk menjamin suatu negara baru dapat menduduki tempat yang wajar sebagai suatu organisms politik yang merdeka dan berdaulat di tengah-tengah keluarga bangsa-bangsa, sehingga secara aman dan sempuma dapat mengadakan hubungan dengan negara-negara lainnya, tanpa mengkhawatirkan bahwa kedudukannya sebagai kesatuan politik itu akan diganggu oleh negara-negara yang telah ada.7

Brierly mengatakan, bahwa lembaga pengakuan internasional disamping nantinya yang penting dilihat dari segi doktrin hukum internasional, juga merupakan masalah yang selalu menjadi pemikiran bagi kementerian-kemen­terian luar negeri dan bagi para sarjana hukum internasional yang perhaliannya terutama tertuju kepada penerapan sistem itu dalam praktek.8

Demikian pula Starke berpendapat bahwa masalah pengakuan kelihatannya merupakan suatu masalah yang sederhana, tetapi kesan itu tidak demikian, karena masalah ini merupakan salah satu bagian yang paling sulit dalam hukum internasional, bukan saja dilihat dari segi asas-asas, tetapi juga secara intrinsik karena banyaknya masalah-­masalah sulit yang sering terjadi dalam praktek.9

Nampaklah bahwa tidak terdapat perbedaan pendapat diantara para ahli mengenai arti penting dari pengakuan intervensional, sehingga pembahasan mengenai pengakuan masih tetap, penting.

3. Bentuk-Bentuk Pengakuan

Pada umumnya terdapat persamaan pandangan diantara para sarjana Hukum Internasional tentang bentuk-­bentuk pengakuan, Oppenheim-Lauterpacht membagi bentuk pengakuan sebagai berikut :10

a. Recognition of states (pengakuan negara);

b. Recognition of new heada of governments of old states (Pengakuan kepala pemerintah baru dari negara yang lama)

c. Recognition of governments and representation in the United Nation (Pengakuan pemerintah dan perwakilan dalam PBB)

d. Recognition of belligerency (pengakuan beligerensi)

e. Recognition of insurgency (pengakuan pemberontakan)

f. Recognition of new terotorial titles and international situation (pengakuan hak-hak teritorial dan situasi internasional baru)

Schwarzenberger melihat pengakuan itu dalam arti yang lebih luas, bahwa pengakuan dapat diartikan sebagai penerimaan suatu situasi dengan maksud menerima akibat­akibat hukum dari keadaan sedemikian itu.11

Dalam tulisan ini akan dibatasi pada pembahasan bentuk-bentuk pengakuan terpenting yang selalu menarik perhalian umum, yaitu :

a. Pengakuan negara baru

b. Pengakuan pemerintah baru

c. Pengakuan sebagai pemberontak

d. Pengakuan beligerensi

e. Pengakuan sebagai bangsa

f. Pengakuan hak-hak teritorial dan situasi internasional baru

Bentuk pengakuan ini akan dibahas baik berdasarkan teori maupun praktek yang dilakukan oleh negara-negara, beberapa yurisprudensi terkenal dari berbagai negara.

4. Pengakuan Negara Baru (Teori-Teori Pengakuan)12

Di kalangan para sarjana hukum internasional, terdapat 2 (dua) golongan besar yang mengemukakan pendapat yang berbeda.

Golongan pertama berpendapat, bahwa apabila semua unsur kenegaraan telah dimiliki oleh suatu masyarakat politik, maka dengan sendirinya telah merupakan sebuah negara dan harus diperlakukan secara demikian oleh negara­-negara lainnya. Jadi secara ipso facto harus menganggap masyarakat politik yang bersangkutan sebagai suatu negara dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dengan sendirinya melekat padanya.

Pengakuan hanyalah bersifat pernyataan dari pihak­-pihak lain, bahwa suatu negara baru telah mengambil tempat disamping negara-negara yang telah ada. Golongan pertama ini dikatakan menganut teori declaration.

Sebaliknya golongan kedua berpendapat, walaupun unsur-unsur negara telah dimiliki oleh suatu masyarakat politik, namun tidak secara langsung dapat diterima sebagai negara di tengah-tengah masyarakat internasional. Terlebih dahulu harus ada pernyataan dari negara-negara lainnya, bahwa masyarakat politik tersebut benar-benar telah memenuhi semua syarat sebagai negara.

Apabila telah ada pernyataan demikian dari negara­negara lainnya, masyarakat politik tersebut mulai diterima sebagai anggotabaru dengan kedudukannya sebagai sebuah negara, di tengah-tengah negara lainnya yang telah ada. Setelah itu barulah dapat menikmati hak-haknya sebagai negara baru. Golongan kedua ini dikatakan menganut teori Konstitutif.

Diantara kedua golongan ini terdapat beberapa sarjana yang menganut pendirian jalan tengah, memang selalu terdapat perbedaan dalam praktek negara dalam memberikan pengakuan terhadap negara atau pemerintah baru yang pada hakekatnya dapat dikembalikan pada perbedaan pendapat antara penganut teori deklarator dan teori konstitutif. Penganut teori deklarator antara lain: Brierly, Erich, Fiscker Williams, Francois, Tervboren, Schwezen­berger. Dalam tulisan ini akan dibahas beberapa pendapat Para sarjana tersebut.

Brierly menganggap teori konstitutif sulit dipertahankan secara konsekuen dengan mengemukakan, bahwa kemung­kinan ada suatu negara yang diakui oleh negara A, tetapi tidak diakui oleh negara B, dengan demikian pada saat yang sama negara yang bersangkutan bagi negara. A merupakan pribadi internasional, tetapi tidak untuk negara B.

Demikian Pula kritik terhadap teori konstitutif terletak pada adanya keharusan bagi penganutnya, bahwa suatu negara yang tidak diakui tidak memiliki hak-hak dan kewajiban menurut hukum internasional misalnya intervensi pada umumnya dianggap sebagai suatu perbuatan illegal, namun tidak demikian jika dilakukan terhadap negara yang tidak diakui sebaliknya jika negara yang tidak diakui terlibat dalam suatu peperangan, maka negara tersebut tidak berkewajiban menghormati hak-hak negara netral sebagaimana diharuskan oleh hukum internasional.

Erich berpendapat bahwa ia cenderung mengatakan bahwa pengakuan itu sifatnya declaration semata, karena yang diakui adalah negara yang sudah ada. Kalau suatu pemerintah asing mengakui suatu negara baru, maka pemerintah itu menyatakan sikapnya, bahwa ia berhadapan dengan kenyataan yaitu dengan suatu badan tersusun yang tidak dapat dibantah lagi dan diakui karena memang ada dalam kenyataan.

Schwarzenberger condong pada teori deklaration, tetapi tidak dinyatakan secara tegas. la berpendapat bahwa setiap negara bebas untuk memberikan atau menolak memberikan pengakuan. Dengan demikian dapat terjadi suatu negara dalam hubungannya dengan satu atau beberapa subyek Hukum Internasional, tetapi tidak dengan yang lainnya.

4.1. Teori Konstitutif

Penganut teori ini adalah Wheaton, Hershey, Von Liszt, Moore, Schuman dan Lauterpacht dalam pembahasan ini akan diuraikan beberapa pendapat dari pelopor aliran/teori ini.

Isheaton berpendapat bahwa jika negara baru ingin berhubungan dengan negara-negara lainnya dalam masyarakat internasional yang anggota-anggotanya memiliki hak-hak dan kewajiban tertentu dan diakui oleh masing-masing, maka negara baru itu terlebih dahulu memerlukan pengakuan dari negara-negara lainnya sebelum dapat mengambil bagian sepenuhnya dalam kehidupan antar negara.

Moore berpendapat bahwa meskipun sebuah negara baru memiliki hak-hak dan atribut-atribut kedaulatan, terlepas dari soal pengakuan, tetapi hanya jika negara baru itu diakui barulah mendapat jaminan untuk menggunakan hak-haknya itu.

Lauterpacht berpendapat bahwa suatu negara untuk menjadi pribadi internasional hanya melalui pengakuan saja. Namun walaupun pemberian pengakuan itu sepenuhnya merupakan kebijakan dari negara yang memberikannya, tindakan itu bukanlah suatu tindakan yang semena-mena saja, tetapi pengakuan atau penolakan itu harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip hukum.

Jadi pengakuan itu memang konstitutif sifatnya, tetapi ada kewajiban bagian negara-negara yang telah ada, jika semua syarat kenegaraan pada negara baru itu telah dipenuhi, untuk memberikan pengakuan yang telah menjadi hak negara baru itu.

4.2. Teori Jalan Tengah

Kedua teori yang telah dikemukakan tidak sepenuhnya memuaskan, sehingga beberapa sarjana telah merumuskan teori baru yang dinamakan teori jalan tengah atau teori pemisah. Penganut teori ini adalah : Rivier, Cavare, Verdross dan Starke.

Rivier berpendapat bahwa adanya suatu negara yang berdaulat adalah terlepas dari adanya pengakuan negara­-negara lain. pengakuan hanya merupakan pencatatan dari suatu hal yang telah terjadi dan sifatnya hanya persetujuan akan hal tersebut. Dengan demikian pengakuan mengadakan ikatan formal untuk menghormati pribadi baru itu, hak-hak dan atribut kedaulatan di bawah hukum internasional. Hanya sesudah mendapat pengakuan, penggunaan hak-hak tersebut akan terjamin. Hubungan politik yang teratur hanya mungkin terjadi antara negara-negara yang saling mengakui. Starke berpendapat, bahwa kebenaran mungkin berada di tengah-tengah kedua teori itu.

Praktek internasional menunjukkan bahwa baik teori deklarasi maupun konstitutif keduanya dianut. Teori konstitutif digunakan apabila pengakuan itu diberikan karena alasan-alasan politik. Negara-negara biasanya memberikan atau menolak memberikan pengakuan atas dasar prinsip­-prinsip hukum atau berdasarkan preseden. Demikian juga pengakuan ditangguhkan karena alasan politik sampai akhirnya pengakuan diberikan sebagai imbalan atas pemberian keuntungan diplomatik secara materil dari negara atau pemerintah yang meminta pengakuan.

Starke menunjukkan pula, bahwa teori declaration mendapat dukungan dari asas-asas yang berlaku dalam masalah pengakuan, yaitu

a. Jika timbul persoalan dalam badan pengadilan negara­-negara baru mengenai lahirnya negara itu, tidak penting untuk memperhatikan bilamana mulai berlakunya perjanjian-perjanjian dengan negara-negara lain yang memberikan pengakuan itu jika semua unsur kenegaraan secara nyata telah dipenuhi, maka saat itulah yang menentukan lahirnya negara tersebut.

b. Pengakuan terhadap, suatu negara mempunyai akibat surat (retroaktif) sampai saat lahirnya negara itu secara nyata sebagai negara merdeka. Asas ini juga berlaku terhadap perkara-perkara di pengadilan yang dimulai sebelum tanggal diberikannya pengakuan itu.

Jika diteliti praktek yang berlaku mengenai persoalan pengakuan ini, terdapat kenyataan bahwa hanya negara-negara yang menentang lahirnya suatu negara yang membuat pernyataan, sedangkan pada umumnya pengakuan yang diberikan pada suatu negara yang baru lahir hanya bersifat implisit, yaitu tampak adanya pengakuan dalam bentuk pernyataan-pernyataan, kecuali negara yang baru lahir tersebut membuat arti dan hubungan yang khusus dengan negara-negara tertentu. Tidak banyak negara lahir di tahun 60 dan 70-an, terutama negara kecil di kawasan Afrika, Pasifik dan Karibia, tanpa disambut berbagai pernyataan pengakuan tetapi itu bukan berarti bahwa kelahirannya ditolak oleh masyarakat internasional. Tetapi ada beberapa pengecualian dimana kelahiran suatu negara ditentang oleh masyarakat internasional dengan merujuk pada sikap PBB.

Sejarah mencatat ada beberapa negara yang kelahiran­nya ditentang oleh masyarakat internasional, yang pada akhirnya negara baru tersebut akan bidang keberadaannya.

Rhodesia misalnya yang memproklamirkan kemer­dekaannya pada tanggal 11 Nopember 1965 melalui kelompok minoritas kulit putih yang dibawah pimpinan Ian Smith dengan melepaskan diri dari kekuasaan Inggris, mendapat kecaman keras dari PBB yang meminta kepada negara-negara anggota PBB untuk tidak mengakuinya dan tidak mengadakan hubungan diplomatik dan hubungan-­hubungan lainnya dengan kekuasaan yang illegal tersebut.

Rhodesia tidak dapat bertahan lama dan kemudian digantikan oleh Zimbabwe yang lahir pada tahun 1980. Contoh lain yaitu kelahiran negara yang ditentang oleh masyarakat internasional ialah Turkish Republic of Northern Cyprus tanggal 15 November 1983. Dalam waktu tiga hari Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi yang mengecam pendirian negara tersebut yang menyebutnya "Legally Invalid".

Pakistan adalah satu-satunya negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang menentang resolusi tersebut dan sampai sekarang hanya. Turki yang mengakui negara tersebut.

Demikian pula dengan negara Israel yang lahir tanggal 14 Mei 1948, sampai sekarang masih tetap tidak diakui oleh negara­-negara Arab, kecuali 2 negara yang telah membuat perjanjian perdamaian dengan negara tersebut, yaitu : Mesir pada bulan Maret 1979 dan Yordania pada bulan Oktober 1994.

Negara-negara berpenduduk Islam non-Arab lainnya juga tidak mempunyai hubungan dengan Israel. Walaupun Israel telah menjadi anggota PBB sejak tanggal 11 Mei 1949, namun keanggotaanya sama sekali tidak merubah sikap kelompok negara tersebut, sampai dicapainya penyelesaian secara menyeluruh sengketa Timur Tengah dengan mengakui hak rakyat Palestine untuk mendirikan negaranya sendiri di wilayah Palestine.13

Dari contoh yang telah dikemukakan, nyatalah bahwa pengakuan adalah suatu kebijaksanaan politik. Pengakuan negara hanya dilakukan satu kali, perubahan bentuk suatu negara tidak akan merubah statusnya sebagai negara. Sebagai contoh: Perancis sejak tahun 1791 sampai tahun 1875 beberapa kali mengalami perubahan, dari kerajaan, republik, kekaisaran, kembali ke kerajaan dan republik dengan pembentukan Republik III tahun 1875, Republik IV tahun 1941 dan sejak tahun 1958 Republik V tetap merupakan negara Perancis.

5. Pengakuan Pemerintah Baru

Pengakuan pemerintah ialah suatu pernyataan dari suatu negara, bahwa negara tersebut telah siap dan bersedia mengadakan hubungan dengan pemerintahan yang baru diakui sebagai organ yang bertindak untuk dan atas nama negaranya. Pengakuan pemerintah ini penting, karena suatu negara tidak mungkin mengadakan hubungan resmi dengan negara lain yang tidak mengakui pemerintahannya. Akan tetapi secara logika pengakuan terhadap suatu negara juga berarti pengakuan terhadap pemerintah negaranya.

Akan tetapi berbagai peristiwa dapat terjadi dengan pemerintah didalam negara jika negara itu suatu kerajaan, maka Raja yang memerintah suatu waktu meninggal dunia dan diganti oleh putra mahkota. Dalam hal negara itu republik, maka presidennya dapat diganti karena meninggal dunia dalam jabatan atau karena habis masa jabatannya. Demikian pula dengan negara yang menganut asas demokrasi parlementer dengan pemerintah yang dikepalai oleh seorang Perdana Menteri, pemerintah itu dari waktu ke waktu dapat berganti.

Oppenheim-Lauterpach14 berpendapat, bahwa dalam hal pergantian kepala negara dari sebuah negara, apakah ia seorang Raja atau Presiden, maka biasanya negara-negara diberitahu tentang penggantian itu dan umumnya negara lain mengakui Kepala Negara baru itu melalui suatu tindakan resmi, misalnya berupa ucapan selamat pemberitahuan dan pengakuan itu sebuah arti hukum, sebab dengan pemberian itu sebuah negara mengumumkan, bahwa individu yang bersangkutan adalah organ-organnya yang tertinggi dan berdasarkan hukum nasionalnya mempunyai kekuasaan untuk mewakili negaranya dengan keseluruhan, hubungan internasionalnya dan sebagai imbangannya dengan adanya pengakuan dari negara-negara lain yang menyatakan bahwa mereka bersedia berunding dengan individu itu sebagai organ tertinggi dari negaranya.

Dalam praktek, kalau Kepala Negara Baru mendapat kedudukannya dengan cara normal dan konstitusional, maka pengakuan itu diberikan sebagai suatu hal yang lumrah.

Penggantian Kepala Negara sebenarnya adalah urusan intern dari negara yang bersangkutan. Pemberitahuan kepada negara-negara lain boleh dianggap suatu formalitas belaka, suatu "Courtesy" dalam kehidupan internasional dan pengakuan seperti itu bukan pengakuan dalam arti hukum. Jika dalam suatu negara berlaku sistem demokrasi parle­menter dimana kepala pemerintah adalah seorang Perdana Menteri, apabila pergantian pemerintah terjadi secara konstitusional, maka praktek menunjukkan bahwa tidak timbul pengakuan Perdana Menteri baru oleh negara-negara lainnya. Sebagai contoh konkrit misalnya, pemerintah buruh yang berkuasa di Inggris dikalahkan dalam pemilihan umum oleh partai konservatif dan terbentuklah pemerintah baru dibawah seorang Perdana Menteri Konservatif, maka pemerintah yang baru ini sama sekali tidak memerlukan pengakuan dari manapun juga.15

Sebagai kesimpulan dapat dikemukakan bahwa setiap penggantian pemerintah yang terjadi secara normal dan konstitusional, menurut hukum internasional tidak memerlukan pengakuan bagi pemerintah baru itu.

6. Macam-Macam Pengakuan Pemerintah Baru

Hukum internasional mengenal dua macam bentuk pengakuan pemerintah baru, yaitu pengakuan pemerintah secara de facto dan pengakuan pemerintah secara de jure.16

Pengakuan de facto biasanya diberikan oleh suatu negara kepada suatu pemerintah baru jika masih timbul keragu-­raguan terhadap stabilitas dan kelangsungan hidup suatu negara, atau terhadap kemampuannya dalam memenuhi kewajiban-kewajiban internasional. Negara yang memberi­kan pengakuan seperti ini masih melihat dan menunggu kelangsungan pemerintah baru tersebut, apakah pemerintah baru itu permanen, dihormati dan ditaati oleh rakyatnya, apakah berhasil menguasai dan mengontrol secara efektif wilayahnya ataukah mampu memenuhi kewajiban-­kewajiban internasional.

Menurut praktek yang dilakukan oleh beberapa negara, diantaranya Inggris, pemberian pengakuan de facto biasanya tidak menimbulkan hubungan diplomatik yang sempurna ataupun memberikan hak-hak imunitas diplomatik kepada wakil-wakil dari pemerintah de facto itu.

Walaupun para sarjana sependapat, bahwa pengakuan de facto sifatnya hanya sementara dan kalau perlu dapat ditarik kembali, namun sekali pemberian pengakuan de facto, akibat hukumnya demikian luas bagi pemerintah yang bersangkutan, sehingga dalam banyak hal tidak berbeda kedudukannya dari suatu pemerintah yang telah mendapat pengakuan de jure.

Sebagaimana dikemukakan juga oleh Oppenheim, bahwa pengakuan de facto walaupun sifatnya sementara dan dapat ditarik kembali, namun pada hakekatnya tidak dapat dibedakan dari pengakuan de jure, karena semua perundang­-undangan dan tindakan-tindakan intern lainnya dari penguasa yang diakui secara de facto itu, dimuka pengadilan dari negara yang memberikan pengakuan diperlakukan sederajat dengan tindakan-tindakan yang diambil oleh suatu pemerintah yang tidak diakui secara de jure.17

Pengakuan de jure diberikan kepada suatu pemerintah baru apabila negara tersebut sudah tidak ragu-ragu lagi terhadap pemerintah tersebut. Pengakuan de jure diberikan berdasarkan atas penilaian faktor-faktor faktual dan faktor-­faktor hukum.

Pemerintah yang diakui secara de jure adalah peme­rintah yang telah memenuhi tiga ciri, yaitu: 18

a) Efektivitas : Kekuasaan yang diakui di seluruh wilayah negara.

b) Regularitas : Berasal dari pemilihan umum atau telah disahkan oleh konstitusi.

c) Eksklusivitas : Hanya pemerintah itu sendiri yang mempunyai kekuasaan dan tidak ada pemerintahan tandingan

Praktek negara-negara mewujudkan, bahwa sering negara-negara mengakui de facto terlebih dahulu dengan membuka hubungan dagang, kemudian diikuti dengan pengakuan de jure. Demikian pula Indonesia juga diakui secara de facto terlebih dahulu oleh sejumlah negara pada waktu revolusi fisik tahun 1945-1949 dan nanti setelah pemulihan kedaulatan diberi pengakuan de jure. Mesir mempunyai tempat tersendiri sebagai negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia secara de facto pada tanggal 23 Maret 1946 dan kemudian secara de jure tanggal 18 November 1946 bersama Syria, Libanon, Saudi Arabia, Yordania dan Yaman dalam kerangka Liga Arab.19

7. Perbedaan Antara Pengakuan Negara dan Pemerintah

1. Pengakuan negara adalah pengakuan terhadap suatu entitas baru yang telah mempunyai semua unsur konstitutif negara dan yang telah mewujudkan kemam­puannya untuk melaksanakan hak-hak dan kewajiban sebagai anggota masyarakat internasional.

2. Pengakuan negara ini mengakibatkan pula pengakuan terhadap pemerintah negara yang diakui dan berisikan kesediaan negara yang mengakui untuk mengadakan hubungan dengan pemerintah yang baru itu.

3. Pengakuan terhadap suatu negara sekali diberikan tidak dapat ditarik kembali, sedangkan pengakuan terhadap suatu pemerintah dapat dicabut sewaktu-waktu. Bila suatu pengakuan ditolak atau dicabut setelah terbentuknya suatu pemerintah baru, maka negara yang menolak atau mencabut pengakuan tersebut tidak lagi mempunyai hubungan resmi dengan negara tersebut. Bila suatu pengakuan ditolak atau dicabut, maka personalitas internasional negara tersebut tidak berubah karena perubahan suatu pemerintah tidak mempengaruhi personalitas internasional suatu negara.

Mengenai pengakuan de jure yang mungkin diberikan kepada pemerintah pelarian (government in exile), hal seperti ini hanya terjadi dalam keadaan perang, yaitu apabila suatu negara diduduki oleh suatu kekuasaan asing dan beberapa pemimpin dari negara tersebut melarikan diri keluar wilayahnya. Di luar negeri mereka membentuk suatu pemerintah pelarian, seperti contoh pemerintah Belanda yang dibentuk di London ketika Nederland diduduki oleh Nazi Jerman selama Perang Dunia ke II.

Pengakuan de jure seperti ini biasanya diberikan oleh negara lain yang juga sedang berperang dengan negara yang menduduki wilayah negara yang bersangkutan.20

8. Penyalahgunaan Pengakuan Pemerintah Baru

Tujuan penyalahgunaan pengakuan pemerintah baru adalah bahwa pengakuan yang diberikan kepada suatu pemerintah baru yang bersifat sebagai alat politik nasional guna menekannya supaya memberikan konsesi-konsesi politik dan lain-lain kepada negara yang akan memberikan pengakuan.21

9. Pengakuan Terhadap Pemberontak (Belligerency)

Bila di suatu negara terjadi pemberontakan dan pemberontakan tersebut telah memecah belah kesatuan nasional dan efektivitas pemerintahan, maka keadaan ini menempatkan negara-negara ketiga dalam keadaan yang sulit terutama dalam melindungi berbagai kepentingannya di negara tersebut. Dalam hal ini, lahirlah sistem pengakuan belligerency. Negara-negara ketiga dalam sikapnya mem­batasi diri negaranya sekedar mencatat bahwa para pemberontak tidak kalah dan telah menguasasi sebagian wilayah nasional dan mempunyai kekuasaan secara fakta. Bentuk pengakuan ini telah dilakukan beberapa kali di masa lampau oleh Amerika Serikat dan juga Inggris. Contoh yang paling dikenal adalah pengakuan belligerency yang diberikan kepada orang-orang Selatan di Amerika Serikat pada waktu perang saudara oleh Perancis dan Inggris serta Negara-negara Eropa lainnya.

Historis:

1. 13 koloni Amerika memisahkan diri dari Inggris tanggal 4 Juli 1776. Kemudian Perancis mengakui koloni-koloni tersebut tanggal 6 Februari 1778 agar dapat membantu mereka. Kebijaksanaan Perancis tersebut dianggap Inggris sebagai kasus Belli. Waktu itu, dalam hukum internasional belum dikenal istilah pengakuan belligerency.

2. Permulaan abad 19, koloni-koloni Spanyol memberontak dengan memproklamasikan kemerdekaan. Inggris dan Perancis mengakui pemberontak sebagai belligerent.

3. Puncak aplikasi Perang saudara Amerika Serikat (1861-1865).

a) Negara-negara bagian selatan, dengan ibukota Richmond, dengan pemerinta dibawah pimpinan Jefferson Davis, dan Angkatan Bersenjata yang di­kepalai Jenderal Lee, pada tanggal 4 Februari 1861 me­nyatakan diri berpisah dari Pemerintah Federal.

b) Pemerintah tandingan ini diakui sebagai Negara oleh negara-negara Eropa tetapi hanya sebagai belligerent terutama oleh Perancis dan Inggris.

c) Mulai saat itu berkembanglah pengertian belligerency dalam hukum internasional.

Pengakuan belligerency berarti:

1. Memberikan kepada pihak yang memberontak hak-hak dan kewajiban suatu negara merdeka selama ber­langsungnya peperangan.

2. Ini berarti:

a. Angkatan perangnya adalah kesatuan yang sah sesuai dengan hukum perang dan bukan para pembajak

b. Peperangan antara pihak harus sesuai dengan hokum perang.

c. Kapal-kapal perangnya adalah kapal-kapal yang sah dan bukan bajak laut.

d. Blokade-blokade yang dilakukannya di laut harus dihormati oleh negara-negara netral.

3. Di lain pihak, pemerintah yang memberontak tersebut tidak dapat merundingkan perjanjian-perjanjian inter­nasional, tidak dapat menerima dan mengirim wakil-wakil diplomatik dan hubungannya dengan negara-negara lain hanya bersifat informal. Pemerinta tersebut tidak dapat menuntut hak-hak dan kekebalan-kekebalan di bidang internasional. la merupakan subyek hukum internasional dalam bentuk terbatas, tidak penuh dan bersifat sementara.

4. Sebagai akibat pengakuan belligerency oleh Negara-negara ke-3, negara induk dibebaskan tanggungjawab terhadap negara-negara ke-3 tersebut sehubungan dengan perbuatan-perbuatan kelompok yang memberontak.

5. Bila negara induk memberikan pula pengakuan bellige­rency kepada pihak yang memberontak, ini berarti kedua pihak harus melakukan perang sesuai denagn hukum perang. Dalam hal ini, pihak ke-3 tidak boleh ragu-ragu lagi untuk memberikanb, pengakuan yang sama.

6. Pengakuan belligerency ini bersifat terbatas dan sementara serta hanya selama berlangsungnya perang tanpa memperhalikan apakah kelompok yang memberontak itu akan menang atau kalah dalam peperangan.

7. Dengan pengakuan belligerency ini, Negara-negara, ke-3 akan mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai Negara netral dan pengakuan belligerency ini terutama diberikan karena alasan humaniter.

Read more

Istilah Dalam Hukum Internasional.

0

Istilah lain yang juga sering digunakan untuk hukum internasional ini adalah hukum bangsa-bangsa (the law of nations), hukum antar bangsa (the law among nations), dan hukum antar negara (inter-states law). Dalam batas-batas tertentu, istilah-istilah itu juga menggambarkan ruang lingkup dan substansi dari hukum internasional itu sendiri, bahkan juga menunjukan masa lalunya. Misalnya istilah hukum bangsa-bangsa dan hukum antar bangsa digunakan ketika mulai dikenal negara-negara yang berdasarkan asas kebangsaan, dimana negara dan bangsa dipandang identik, dan dalam prakteknya digunakan silih berganti. Prinsip-­prinsip dan kaidah-kaidah hukum yang tumbuh dari hubungan hukum antar bangsa-bangsa atau negara-negara yang berasaskan kebangsaan disebut hukum bangsa-bangsa atau hukum antar bangsa.
 
 
Dengan munculnya pembedaan antara negara dan bangsa dimana negara-negara yang belakangan tidak lagi didasarkan atas asas kebangsaan tetapi atas dasar ke­wilayahan atau teritorialitas, jadi antara negara dan bangsa tidak lagi selalu identik. Istilah hukum bangsa-bangsa maupun hukum antar bangsa telah bergeser kedudukannya dan digantikan oleh istilah hukum antar negara (inter-states law). Istilah yang belakangan ini menjkadi semakin populer sejalan dengan perkembangan negara-negara yang lebih menonjolkan asas kewilayahan atau teritorialitas. Meskipun demikian, dalam kenyataannya ketiga istilah tersebut (hukum bangsa-bangsa, hukum antar bangsa, dan hukum antar negara), terutama dikalangan para sarjana, masih tetap digunakan secara silih berganti.

Oleh karena itu, dalam perkembangannya, selain istilah hukum internasional, juga dikenal istilah hukum publik internasional atau hukum internasional publik. Ketiga istilah itu, yaitu hukum internasional, hukum publik internasional, dan hukum internasional publik masih juga sering digunakan silih berganti namun dalam pengertian yang sama. Sedangkan untuk menunjukan hubungan-hubungan hukum antara subyek-subyek hukum yang melintasi batas­-batas wilayah negara yang bersifat perdata (bukan publik), digunakan istilah hukum perdata internasional. Seperti halnya hukum (publik) internasional, hukum perdata internasional-pun memiliki sifat dan ciri tersendiri.

Read more

 
Design by r3d3 | Bloggerized by Blogger - desain blogger