Rabu, 08 Februari 2012

Pengertian Sengketa, Internasional Dalam Kasus Laut Cina

0

Sengketa perairan teritorial di kawasan Laut Cina adalah sengketa internasional (international dispute). Oleh karena itu sebelum tiba pada analisa yang lebih jauh mengenai sengketa pera­iran teritorial Laut Cina terlebih dahulu di­ungkap serba sedikit tentang sengketa internasional (International dispute) sebagai pengantar memasuki sengketa perairan-teritorial Laut Cina. Setalah memaparkan secara umum, gambaran sengketa-internasional, kemudian dianalisa, serara khusus model-model sengketa Laut Cina seba­gai obyek pembahasan pokok dalam tulisan ini. Apalagi dalam penyelesaian sengketa internasional Laut Cina mempunyai ciri kekhususan berdasarkan pengamatan para akhli hukum internasional karena merupakan kombinasi penyelesaian sengketa hukum dan politik (to combined both settle­ment disputes Judicial and politic ).
Kesimpulan sementara dari rumusan para ahli mengemukakan bahwa sengketa internasional a­dalah sengketa yang melibatkan antara dua nega­ra atau lebih terhadap suatu obyek yang dipersengketakan. Obyek yang dipersengketakan pada umumnya dapat berupa masalah kedaulatan negara, masalah perbedaan panutan ideologi dan persaingan dalam bidang ekonomi. Tanpa mengindahkan obyek sengketa internasional maka berdasarkan rumusan yang sempit ini, subyek sengketa internasional adalah negara. Negaralah yang dapat dikategorikan sebagai subyek dalam sengketa internasional. Sekalipun demikian beberapa ahli tetap melibatkan individu atau badan-badan hukum lain sebagai subyek dalam sengketa internasional. Starke misalnya menuliskan bahwa timbulnya sengketa negara-negara pada umumnya dengan tim­bulnya sengketa antara individu-individu, kecuali akibatnya sengketa pertama dapat lebih ber­bahaya.
Sengketa internasional secara umum terbagi dalam dua jenis yaitu; sengketa dalam hukum in­ternasional (legal dispute) dan sengketa poli­tik (political dispute). Pembagian umum sengke­ta internasional ini sebenarnya merupakan pembagian yang cukup klasik, tetapi bertahan sampai sekarang. Dalam hal ini Oppenheims-Lauterpach mengemukakan bahwa:
"International differences can arise from a va­riety of grounds. They are generally divided in to legal and political. Legal differences are those in which the parties of the dispute base, their respective claims and contentions on gro­und recognised by International Law. All other controversies are usually referred to as political or as conflicts of interest."
Lebih jauh dikemukakan: "Political and legal differences can be settled either by amicable or by compulsive meansMost State have now undertaken wide obligations in sphere of compulsory Judicial settlement.. The majority of then are bound by the obligations of the so-called optional clause of the Statu­te of the International Court of Justice and even more comprehensive commitments. But this instrument do not substantially affect the rule expressly affirmed by the court that no universal international legal duty as yet exist far state or settle their differences through arbitration or judicial process."
Sebetulnya pandangan Oppenheims Lauterpacht di atas tidak memberi kejelasan yang tepat dimana letak perbedaan antara kedua sengketa hukum dan politik dalam skala internasIonal. Kekaburan yang lama juga dilakukan oleh sarjana-sarjana lain. Dalam praktekpun tergambar secara terang-benderang tentang bagaimana sesungguhnya penyelesaian sengeta menurut hukum (judicial settlement) dan penyelesaian sengketa secara politik. (Political settlement). Jika berpatokan dari cara penye­lesaian untuk mengukur jenis sengketa maka kesu­litan penting dari keduanya karena cara-cara pe­nyelesaian sering terjerumus pada tumpang-tindih keduanya. Apalagi kadang-kadang penawaran penyeIesaian hukum tidak disepakati secara bersama.
Keputusan Mahkamah Internasionalpun sering ti­dak diindahkan oleh salah satu pibak. Sedangkan tindakan kekerasan hanya bisa dilakukan berdasarkan persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan menurut penelitian Dewan Keamanan PBB pasal 34:
"The Security Counsil may investigate any dispute, or any situation which might lead to inter­national friction or give rise to a dispute, in the order to determine whether the continuance of the dispute or situation is likely to endanger the maintenance of international peace and security”
Yaitu yang memang benar-benar membahayakan keamanan dan terciptanya perdamaian internasional.
Sekalipun timbul kekaburan dalam menganalisa secara parsial kedua jenis sengketa ini tetap beberapa sarjana mencoba memberinya perbedaan terutama patokan mereka pada tafsiran Piagam PB­B. Sebagaimana dituliskan oleh Starke25 peratur­an-peraturan dan prosedur yang telah diterima oleh hukum internasional berkenan dengan pertika­ian itu sebagian berupa kebiasaan atau praktek dan sebagian merupakan konsepsi-konsepsi yang membentuk hukum seperti Konpensi Den Haag 1899 serta 1907, guna penyelesaian secara damai dari pertikaian-pertikaian internasional (Pacific Settlements of International Disputes) serta Piagam PBB yang dibuat di San Francisco 1945. Pandangan Starke ini kurang lebih banyak dijadikan patokan para ahli berikutnya sebagai sandaran un­tuk menganalisa sengketa hukum internasional u­tamanya kebiasaan-kebiasaan dalan praktek dan konsepsi hukum tentang sengketa internasio­nal.
Apabila diambil pedoman pandangan di atas maka terutana dalan praktek dan konsepsi hukum landasan pokok yang pada umumnya dijadikan patokan para ahli untuk menganalisa sengketa hukum internasional adalah pasal.33. Bab VI Piagam PBB :
"The parties to any dispute, the continuance of which is likely to endanger the maintenance of international peace and security, shall, first of all, seek a solution- by, negotiation, enquiry, mediation, conciliation, arbitration, judicial settlement, resort to regional agencies or arrangements, or other peaceful means of their own choice," (ayat 1).
Patokan pasal 33 ayat 1 ini merupakan landasan secara umum dari keseluruhan Bab VI Piagam PBB yang disebutnya Penyelesaian Sengketa Secara Da­mai (Pacific Settlement of Dispute), dan menjadi analisa panjang para ahli.
Yang cukup mengesankan dari analisa-analisa para ahli hukum internasional adalah ditariknya semua konsepsi pasal 33 ini sebagian cara penyelesaian menurut hukum, tanpa mengindahkan bahwa terdapat anak kalimat dalam pasal ini mengenai penyelesaian secara hukum (judicial settlement). Dalam praktekpun seringkali beberapa unsur dalam pasal 33 diwarnai dengan “Solusi politik”. Terutama sekali dalam hal "seek a solution by negotiation and mediation”' kadang-kadang negara-negara yang menjadi penengah sering “berpihak,". Contoh, kedudukan Amerika Serikat dalam menyelesaikan Perang Arab-Israel. Pandangan ini sesungguhnya cukup kontroversial karena dominasi penyelesaian, sengketa secara damai dianggap pula sebagai penyelesaian sengketa secara hukum.
Jika semua unsur yang terdapat dalam pasal 33 Piagan ini diterima sebagai patokan penyelesaian merurut hukum (judicial settlement) yang berarti timbulnya sengketa internasional yang berpatokan pada pasal ini, lalu sengketa politik itu bagaimana ?
 

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by r3d3 | Bloggerized by Blogger - desain blogger