Rabu, 08 Februari 2012

Dasar Sengketa Wilayah Laut Cina

0

Seperti telah diketahui, Konperensi Hukum Laut 1958 telah menghasilkan landas kontinen yang memberikan hak sepenuhnya kepada negara pantai untuk mengadakan eksploitasi dan eksplorasi sumber-sumber kekayaan alamnya. Sejak konvensi ini dihasilkan sampai tahun 1960 tidak ada suatu negarapun yang mengadakan tuntutan terhadap landas kontinen wilayah-wilayah di Laut Cina. Tetapi setelah dikeluarkannya laporan dari ECAFE (Economic Commission for Asia and the Far Fast) yang menyatakan bahwa landas kontinen antara Taiwan dan Jepang merupa­kan salah satu sumber minyak yang paling kaya di dunia timbullah tuntutan-tuntutan terhadap lan­das kontinen di Kawasan Laut Cina. Negara-negara Cina (IRRC), Taiwan dan Jepang merupakan salah sa­tu sumber minyak yang paling kaya. Demikian pula Korea Selatan, Korea Utara, Vietnam telah menyatakan tuntutannya terhadap dasar laut di Laut cina Selatan dan Laut Cina Timur. Akibatnya terjadi wilayah tumpang-indih yang merupakan sumber per­sengketaan diantara negara-negara di kawasan ini.

Di Laut Cina Selatan, wilayah utama yang menjadi persengketaan antara Vietnam dan Cina meliputi hampir seluruh wilayah, dari Pulau Hainan meluas sampai ke pantai Kalimantan, mencakup Teluk Ton­kin, Kepulauan Paracel dan Kepulauan Spratly. Tuntutan Gina yang meluas sampai ke pantai Kalimantan mengakibatkan wilayah konsesi minyak Malaysia, Tsengmu Reef, di pantai Utara Serawak dan Sabah, masuk ke dalam tuntutan wilayah Cina di atas. Begitu pula dengan wilayah konsesi minyak di Pilipina di Reed Bank dekat Spratly. Secara keseluruhan tuntutan wilayah dasar laut Cina ini berbentuk lidah.

Di Laut Cina Timur, tuntutan Cina terhadap landas kontinen di wilayah ini, menciptakan be­berapa wilayah tumpang-tindih dengan tuntutan landas kontinen negara-negara Jepang, Taiwan dan Korea Selatan. Di landas kontinen yang terbentang dari sebelah Timur pantai Cina dan meluas sampai ke Okinawa Trough (Palung Okinawa), ter­masuk bagian Barat Daya Selat Taiwan, telah diberikan konsesi-konsesi minyak oleh ketiga negara tersebut. Dalam wilayah ini, 100 mil dari Timur Laut Taiwan terletak Kepulauan Sengkaku yang dipersensetakan oleh Taiwan, Jepang dan Cina.

Cina mulai mengajukan tuntutannya terhadap landas kontinen dalam suatu kertas kerja mengenai yurisdiksi nasional atas wilayah laut dalam tahun 1973. Dalam kertas kerja ini di­kemukakan bahwa landas kontinen Cina adalah "The Natural Prolongation of the Continental Te­rritory." Dengan demikian Cina tidak mengikuti kriteria kedalanan 200 meter atau eksploitasi. Disamping itu Cina menghubungkan kedaulatan laut dan rancangan batas lautnya dengan tuatutan pulau. Hal ini yang menyebabkan tuntutan Cina demikian luas, mencakup pulau-pulau di tengah samudra (mid-ocean islands,) yang menimbulkan reaksi dari negara-negara lainnya. Masing-masing negara merasa berhak atas pulau-pulau tersebut dengan meng­ajukan dasar tuntutannya. Selain masalah tumpang tindih yang akan teriadi akibat tuntutan landas kontinen RFC di wilayah ini masalah tuntutannya terhadap Kepulauan Senkaku akan menimbulkan pertentangan dengan Jepang dan Taiwan yang juga menuntut kepulauan tersebut.

Di Laut Jepang, usaha pengembalian hubungan akrab antara Jepang dan RRC mempunyai latarbelakang pertentangan dengan Uni Soviet sangat mempengaruhi sikap-sikap Jepang dan Uni Soviet dalam persengketaan mereka atas Kepulauan Kuril. Kepulauan Kuril ditemukan oleh seorang pelaut Belanda Martin de Vries tahun 1634. Kemudian Uni Soviet menduduki bagian Utara dan Jepang menduduki bagian Selatan. Tahun 1875 Uni Soviet setuju memba­talkan tuntutannya sebagai ganti penarikan mundur pasukan Jepang dari Sakhalin. Tahun 1945 Uni So­viet menduduki Kuril sesuai dengan keputusan Kon­perensi Yalta 1945 sebagai imbalan peranannya mengalahkan Jepang. Tahun 1947 Kuril menjadi bagian Sakhalin Oblast, wilayah Uni Soviet. Dalam Perjanjian Perdamaian Amerika serikat-Jepang ta­hun 1951, Jepang melepaskan seluruh tuntutannya terhadap Kepulauan Kuril, tetapi tidak dinyatakan di serahkan secara khusus ke Uni Soviet. Pada ta­hun 1956, dalam perundingan normalisasi hubungan kedua negara, Uni Soviet memberikan jaminan akan mengembalikan Habomai dan Shikotan setelah persetujuan perdamaian tercapai. Tetapi Jepang mengi­nginkan pengembalian keempat pulau Kuril Selatan sebagai prasyarat untuk mencapai suatu persetujuan perdamaian tersebut. Dalam Sidang Umum PBB 21 Oktober 1970, Jepang mengajukan tuntutannya kembali, tetapi Uni Soviet menolak karena negara ini menganggap keempat pulau tersebut nerupakan bagian dari gugusan Kepulauan Kuril yang menjadi wilayahnya.

Semertara itu pada pertengahan April 1978, hubungan RRC dan Jepang menjadi tegang karena terjadinya insiden dimana kapal ikan RRC (sebagian daripadanya bersenjata) memasuki wilayah Senka­ku. Dua bulan setengah kemudian (Juli), setelah insiden reda, perundingan-perundingan kedua negara dimulai lagi dan tanggal 12 Agustus 1978 perjanjian perdamaian dan persahabatan RRC Jepang di tandatangani di Beijing.

Sebetulnya timbulnya insiden Senkaku dan ter­capainya perjanjian tersebut sangat erat kaitannya dengan motivasi-motivasi kedua negara.

Di dalam negeri Jepang, PM Fukuda mendapat desakan dari oposisi dan golongan penting dalam Partai Demokrasi Liberal (LDP) serta masyarakat bisnis Jepang untuk menandatangani perjanjian tersebut. Begitu Pula Amerika Serikat memberi lampu hijau untuk menandatanganinya. Sementara selama 1978, Jepang menghadapi tekanan RRC yang menginginkan perjanjian pihak Uni Soviet tidak ragu­-ragu menentangnya. Tetapi sehubungan dengan si­kap ini, Jepang percaya bahwa Uni Soviet tidak akan memperburuk hubungannya dengan Jepang, kare­na masih membutuhkan Jepang dalam eksplorasi dan pembangunan sumber-sumber mineral di Siberia, Soviet Timur Jauh. Uni Soviet akan mendapat beban berat jika melepaskan Jepang, karena sulit untuk­ menemukan penggantinya. Lagi Pula selama masalah teritorial ada diantara mereka, pihak Soviet je­las lebih lemah. Keinginan Jepang untuk membicarakan tuntutannya terhadap keempat pulau di sebelah Utara Hokaido, diremehkan. Hal ini menjauhkan Uni Soviet dari Jepang. Kepentingan Uni Soviet a­kan lebih diperhatikan jika negara ini dapat menerima tuntutannya terhadap kepulauan tersebut tetapi negara tersebut tidak memperdulikan hal i­ni, sementara RRC mendukung tuntutannya.

Bagi RRC suatu perjanjian perdamaian adalah penting untuk mengimbangi strategi “pincer” (sepitan) Vietnam-Uni Soviet. Perjanjian ini tidak saja perlu untuk menggambarkan kekuatirannya terhadap Uni Soviet kepada negara-negara Asia lainnya, tetapi juga diam-diam dia ingin memperoleh dukungan Jepang bagi posisinya. Selain itu perjanjian ini menggambarkan pula kepentingan politik dan teritorial yang lebih tegas di Laut Cina Laut. Terhadap masalah-masalah teritorial yang di tuntut RRC, Jepang dan Korea, negara ini ingin menegakkan pengaruhnya dan mengemukakan, bahwa masalah teritorial akan dikonsultasikan mengenai setiap permasalahan. Oleh karena itu RRC merasa terganggu dengan keseganan Jepang terhadap penan­datanganan perjanjian sehubungan dengan adanya galongan yang menginginkan penyelesaian masalah Senkaku dibicarakan terlebih dahulu, karena pemecahan masalah ini akan dibicarakan di masa yang akan datang. Faktor inilah yang sebenarnya menjadi latarbelakang insiden tersebut. Pengiriman kapal-kapal ikan yang berserjata ke wilayah Senkaku meru­pakan taktiknya untuk mengajak Jepang ke meja perundingan. Demikianlah perundingan perjanjian per­damaian, dan persahabatan kedua negara dimulai tanpa menyelesaikan terlebih dahulu masalah Senkaku.

Setelah RRC dan Jepang menandatangani perjan­jian mereka dan dinormalisasinya hubungan RRC-Amerika Serikat Uni Soviet menunjukkan rasa tidak­senangnya dengan meningkatkan perlengkapan latihan militernya di Shikotan. Negara ini telah menempatkan 2000 pasukannya di wilayah menurut informasi ‘Japan Defence Agency’ (JDA), secara ke seluruhan. terdapat 10.000 - 2.2.000 pasukan di ketiga pulau Etorofu, kunashiri dan Shikotan. Dengan tindakannya Uni Soviet berusaha memperingatkan dan menakut-nakuti Jepang bahwa dia bermaksud untuk mempertahankan wilayahnya di- Asia dan agar pihak lain yang menuntut wilayah tersebut mundur teratur. Jepang akan menghadapi tanggung-jawab yang serius jika negara itu melibatkan diri dengan suatu aliansi militer. Tetapi pada saat yang sama, adalah cukup jelas bahwa Uni Soviet menginginkan peningkatan hubungan bilateral de­ngan Jepang berupa bantuan ekonomi dalam rencana pembangunan Siberia.

Bagi Uni Soviet, Kepulauan Kuril mempunyai ar­ti strategis yang penting. Dengan menguasai wila­yah ini, maka praktis Laut Okhotsk yang terletak ­antara jazirah Kamchatca dan Kepulauan Kuril akan diawasi secara keseluruhan olehnya. Laut Okhotsk akan menjadi Laut dalam dia, sehingga dengan de­mikian armada lautnya tidak dapat diawasi oleh Jepang dan Amerika Serikat jika mereka akan keluar dari Vladivostok ke Sdamudra Pasifik, kecuali-le­wat Selat Tsushima.

Jepang menginginnkan kembali Kepulauan Kuril sebagai suatu kesatuan (integritas) wilayah yang juga menyangkut kepentingan keamanannya. Pembangunan perlengkapan militernya di wilayah itu merupakan ancaman dari utama apabila terbang permanen yang diperlengkapi dengan radar.

Sementara itu pula persepsi itu terhadap meningkatnya peranan laut bagi pembangunan ekonomi cenderung mendorong sengketa-sengketa ini mening­kat menjadi suatu sumber konflik yang lebih be­sar. Hal ini disebabkan makin majunya kemampuan tekonologi mengeksploitasi sumber-sumber daya laut baik hayati maupun non-hayati yang terdapat di dasar laut dan tanah dibawahnya serta air diatasnya. Diakuinya hak-hak yurisdiksi negara-negara pantai terhadap landas kontinen serta zona ekonomi eksklusif (ZEE) 200 mil untuk mengeksploitasi dan mengeksploitasi sumber-sumberr daya laut tersebut makin memperkuat persepsi tersebut.

Seorang ahli geologi dan Kelompok Peneliti Universitas Tokai meramalkan bahwa potensi mi­nyak di landas kontinen Laut Cina merupakan sa­lah satu dari lima wilayah penghasil minyak ter­besar di dunia, Baik Taiwan, Jepang dan Korea Selatan sejak tahun 1970 telah mengadakan konsesi­ minyak di landas kontinen laut Laut Cina.

Pada awal Agustus 1979 Cina mengadakan persetujuan dengan perusahaan-perusahaan asing untuk mengadakan seismic, yaitu Exxon, Philips, Union, Amoco, Atlantic Richfield. Begitu pula dengan Jepang diadakan suatu konsesi besar, yaitu setelah ditandatanganinya perjanjian, perdamaian dan per­sahabatan kedua negara 1978. Bagi Cina, minyak­ dan gas yang tersedia merupakan kepentingan eko­nomi dan strategis yang khusus terhadap Jepang yang berusaha mengurangi ketergantungan minyaknya dari Timur Tengah. Jepang merupakan pasar yang sudah tersedia bagi minyak dan gas Cina. Dewan Nasional perdagangan Cina-Amerika Serikat, mimperkirakan produksi minyak RRC kira-kira 102 juta ton dalam tahun 1978 dan akan meningkat sekitar 178-232 juta ton dalam tahun 1985. Dalam rangka rencana pembangunan ekonomi nasional sepuluh tahun (1976-1985)nya, RRC sangat membutuhkan teknologi dan keahlian pengelolaan (managerial skills) dari Jepang. Demikian pula landas kontinen laut Cina Selatan, khususnya “offshore sediamentary basin” yang meluas dari pantai-pantai Serawak, Brunei, Sabah sampai ke pantai Vietnan bagian Selatan. Muara Sungai Mekong di perkirakan mempunyai kekayaan minyak yang sangat potensial. Selain hasil perikanan laut Cina Selatan mencapai 5 juta ton tiap tahun, dan di-perkirakan akan me­ningkat dengan sebanyak 3 ton pertahun.

Cina dan Vietnam telah mengutamakan kepentingan penemuan sumber minyak dan kemudian mengekspioitasinya dalam rangka rencana pembangunan ekonomi mereka. Untuk membangun ekonomi negaranya yang hancur akibat perang selama 30 tahun, Viet­nam yang kurang mempunyai sumber-sumber lainnya untuk diekspor sangat mebutuhkan minyak tersebut. Dalam rangka ini Vietnam telah mengadakan kontrak prospek penggalian minyak dengan negara-nega­ra Comecon yaitu Uni Soviet, Cekoslowakia, Bulga­ria, Hongaria dan Polandia. Selain itu juga Vietnam berusaha melakukan hal yang sama dengan peru­sahaaan minyak asing Barat lainnya, yaitu Deminex (Jerman Barat), AGIP (Italia), Bow Valley (Cana­da), Elf-Awuitaine (Prancis). Diperkirakam kemam­puan minyak Vietnam mencapai 500.000 - 1000.000 barel perhari.

Di Laut Kuning adalah merupakan wilayah konsesi minyak yang terbanyak di Asia. Timur terutama wilayah-wilayah konsesi minyak Korea Selatan. Laut Kuning mulai dari Delta Sungai Yalu yang membelah Teluk Po Hai dan Teluk Korea pada bagian Utara sampai ke Delta Sungai Yangtze di Semenan­jung Kiangshu di Selatan merupakan paparan landas kontinen yang kaya dengan minyak sehingga pembagian landas kontinen di wilayah ini terjadi tumpang tindih antara negara-negara Korea Selatan, Korea Utara dan Cina. Selain masalah tumpang-tindih landas kontinen antara ketiga negara itu di Laut Ku­ning dimana wilayah-wilayah konsesi minyak. Korea Selatan SOCAL yang kerjasama dengan perusahaan pengeboran minyak Amerika Serikat TEXACO terdapat, juga tumpang-tindih masalah zona perikanan. Korea Selatan mengajukan tuntutan kepada Cina karena menganggap Cina telah melakukan kontrol wilayah perikanan memasuki wiIayah Korea Selatan terutama Proteksli Wilayah Perikanan Cina di Kepulauan, So­huksan (Sohuksan Do) yang diklaim oleh Korea Selatan. Korea Selatan menganggap bahwa Cina telah ditetapkan menurut hukum. Demikian pula dengan adanya hubungan yang tidak serasi antara dua Negara komunis Cina dan Korea Utara oleh penetapan zona militer (Militery Warning Zone) di mulut Teluk Po Hai yang sebagian masuk Wilayah Korea Utara di Teluk Korea. Penetapan Zona militer yang ditarik oleh Cina dari garis lurus yang membentang dari Tanjung Port Arthur di ujung semenjung Liao Thung ke Tanjung Peng-loi terus ke tanjung Jung-chen di Semenanjung Shan-tung terus ke Delta Sungai Yalu. Dengan demikian segi empat antara titik Port Arthur, Tanjung Peng-loi, Tanjung Jung-chen dan Delta Sungai Yalu telah ditetapkan oleh Cina sebagai Zona Militer (Lilitery Warnibf Zone).

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by r3d3 | Bloggerized by Blogger - desain blogger