Perkembangan
yuridis tentang kedudukan individu dalam arti terbatas sudah agak lama dianggap
sebagai subyek hukum internasional. Menurut Krabbe dalam bukunya "Die Moderne Staatsidee" yang
ditulis pada pada tahun 1906 mengatakan bahwa "...individual only may be subject of law... including international
law..." Peristiwa lain yang menandai kedudukan individu
sebagai subyek hukum internasional yaitu dengan dicantumkannya individu dalam
perjanjian Versailles (Treaty of
Versailles) tahun 1919 antara Jerman dengan Inggris, Perancis,
dan sekutu-sekutunya. Pasal 297 dan 304 dari perjanjian tersebut memberikan kemungkinan
bagi orang perorangan untuk mengajukan perkara kehadapan mahkamah-mahkamah
arbitrase internasional. Ketentuan serupa diatur pula didalam perjanjian Upper-sile-sia pada tahun 1922 antara
Jerman dan Polandia.
Rabu, 11 Juli 2012
Individu Sebagai Subjek Hukum Internasional
0
Ketentuan
selanjutnya dapat ditemukan didalam Keputusan Mahkamah Internasional Permanen (Permanent court of International Justice)
dalam perkara Kereta Api Danzig (Danzig
Rail way official's case) pada tahun 1928,38 yang menyatakan
bahwa apabila suatu perjanjian internasional, memberikan hak-hak tertentu
kepada orang perorangan, maka hak-hak itu harus diakui dan mempunyai daya laku
(dapat diterima) di dalam hukum internasional, artinya diakui oleh suatu badan
Peradilan Internasional.
Ketentuan
serupa ditemukan pula didalam keputusan Mahkamah Penjahal Perang yang
dilaksanakan di Nuremberg dan Tokyo, terhadap bekas pemimpin-pemimpin Perang
Jerman dan Jepang setelah Perang Dunia II sebagai individu atau orang
perorangan yang melakukan perbuatan- perbuatan yang dikualifikasikan sebagai
kejahalan. Pengadilan Penjahal Perang ini didirikan dalam suatu perjanjian
antara Inggris, Perancis, Rusia, dan USA di London, pada tanggal 8 Agustus 1945
yang dikenal dengan nama perjanjian London.39 Menurut pendapat
Mahkamah Kejahalan Perang hanya dapat dilakukan oleh individu, dan bukan oleh
suatu kesatuan seperti negara. Sedangkan menurut Mahkamah Peradilan Nuremberg
dan Tokyo kejahalan-kejahalan yang dilakukan oleh bekas pemimpin Jerman dan Jepang
dapat dikategorikan kedalam: (1) Kejahalan terhadap perdamaian.; (2) Kejahalan
terhadap perikemanusiaan; dan (3) Kejahalan-kejahalan perang (yaitu pelanggaran
terhadap hukum perang) dan permufakatan jahal untuk mengadakan kejahalan-kejahalan
tersebut.40
Asas-asas hukum
yang berhubungan dengan Nurenberg dan Tokyo ini, kemudian dituangkan ke dalam The United Nations Draft Code of Offences
Against The Peace and Security of Mankind, yang dirumuskan oleh International Law Commision (ILC).
Perkembangan
selanjutnya mengenai kedudukan hukum individu sebagai subyek Hukum Internasional
dikukuhkan dalam Konvensi Genosida atau Genocide
Convention yang telah diterima oleh Sidang Umum PBB pada tanggal 9 Desember
1948.41 Genosida adalah Tindakan pembunuhan manusia secara masaal
yang bertujuan untuk memusnahkan suatu kelompok bangsa atau suku bangsa, karena
alasan ras, agama, dan sebagainya. Percobaan (attempt) atau "turut serta" dalam tindakan Genosida ini
dapat dituntut pula.
Disamping
beberapa kasus di atas, yang telah menjelaskan letak dan atau posisi individu
sebagai subyek hukum internasional, masih terdapat pula kasus yang menggambar
perkembangan kedudukan individu sebagai subyek hukum internasional dalam
konteks tanggung jawab individu. Kasus tersebut dapat dilihat pada kasus
Jenderal Augusto Pinochet di Chili Tahun 1973 dan kasus Presiden Filipina
Ferdinand Marcos.
Pada kasus
Jenderal August Pinochet, kasus ini meletakkan tanggung jawab pada individu
yang melakukan tindak pidana kejahalan. Mantan diktator Chili yang terkenal
dengan kebijakan pernerintahannya yang sangat fanatik anti komunis, Augusto
Pinochet dikenakan tuduhan telah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) yang
berkaitan dengan peristiwa penculikan dan hilangnya tujuh (7) orang yang
terjadi sekitar awal pemerintahan Pinochet dari tahun 1973-1990. Pada masa pemerintahannya
Pinochet sekitar 3000 orang terbunuh dan hilang. Tuduhan ini merupakan bagian
dari kasus pelanggaran HAM pada saat operasi militer yang dilakukan oleh
Pinochet untuk menggulingkan pemerintahan terpilih dari sayap kiri, Salvador
Alende pada tahun 1973 lewat kudeta berdarah yang dikenal dengan "Operasi
Condor atau Operation Colombo",
dimana dalam operasi ini 119 orang telah dinyatakan hilang. Dalam kasus ini
Jaksa memberikan tuduhan terhadap Pinochet setelah menanyai terdakwa (Pinochet)
dan bekas tentara polisi rahasia untuk mengetahui siapa yang bertanggung jawab
atas hilangnya ke 119 orang tersebut. Pada akhirnya Jaksa menetapkan dan
membebankan tanggung jawab atas tindak pidana kejahalan tersebut pada tanggung
jawab individu yang harus dibebankan pada Pinochet, sehingga keputusan untuk
kasus ini Pinochet dikenakan hukuman tahanan rumah.
Sedangkan pada
kasus Presiden Filipina Ferdinand Marcos, bukan merupakan suatu pengecualian
dari prinsip kedaulatan negara, karena pemerintah Filipina sendiri telah
mencabut kekebalan (immunitas) yang dimiliki Marcos. Pada kasus ini, Marcos
secara pribadi menguasai lembaga keamanan dan kemungkinan besar secara pribadi
pula bertanggung jawab karena telah menyetujui kekejian yang menjadi subyek
tuntutan tersebut, khususnya pada penculikan, penyiksaan dan pembunuhan
terhadap mahasiswa Declemedes Trajano. Akan tetapi, akhir kasus ini belum
memberikan keputusan apapun karena ketika proses penuntutan tengah berlangsung
Marcos meninggal dunia.
Rentetan
kasus-kasus yang menempatkan individu sebagai subyek hukum internasional,
membawa sebuah konsekuensi logis yaitu berupa kecenderungan seusai Perang Dunia
II untuk memberikan apresiasi yang besar terhadap eksistensi keberadaan manusia
sehingga manusia harus dilindungi dan diakui hak asasinya. Kecenderungan ini
didasarkan pada berbagai ketentuan yang diatur dalam salah satu Konvensi di
Eropa yang dikenal dengan sebutan European
Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms,42
yang kemudian dibentuk aturan pelaksanaannya berupa Komisi Eropa tentang
Hak Asasi Manusia (European Commission on
Human Rights) dan Mahkamah Eropa tentang Hak Asasi Manusia (European Court on Human Rights) yang
telah mulai bekerja menangani perkara pada tahun 1959.
Jaminan hak
asasi manusia yang diberikan oleh Komisi Eropa memberikan implikasi berupa
jangkauan individu yang dapat mengadukan negaranya sendiri, sebagaimana diatur
dalam Pasal 25 Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa (European Convention on Human Rights) yang menyebutkan bahwa "individuals can initiate claims alleging
breaches of the Convention by their national state... "43
Akan tetapi, Komisi Eropa memberikan batasan atas kedudukan individu yaitu
individu tidak dapat langsung mengajukan gugatannya, melainkan harus
melakukannya melalui negaranya atau melalui Komisi Eropa.44
Perkembangan
kedudukan individu sebagai subyek hukum internasional pada akhir abad ke-20
tepatnya dalam kurun waktu 1993-1998 ditandai dengan terjadinya peristiwa
pembantai dan perbuatan keji di Yugoslavia dan Rwanda (Genosida dan kejahalan
terhadap kemanusiaan) yang kemudian Melahirkan International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal for Rwanda
(ICTR),45 dimana individu harus mempertanggungjawabkan perbuatannya karena
disamping dipandang pantas untuk mempertanggungjawabkan perbuatan secara
pribadi, juga dalam kedudukannya sebagai subyek hukum internasional.
Individu (orang
perorangan) dapat diminta pertanggungjawabannya selama satu (1) dari ketiga (3)
hal dibawah ini terpenuhi, yaitu:
Dimana pribadi
tersebut secara sengaja melakukan, merencanakan, membantu atau mendukung
perencanaan, persiapan tindak pidana kejahalan yang dinilai sebagai pelaku
tindak pidana kejahalan tersebut.
Pribadi atau
individu tersebut bertanggung jawab atas keikutsertaan dalam rencana bersama
atau konspirasi untuk memudahkan terjadinya tindak pidana kejahalan tersebut.
Pribadi atau individu biasa dianggap bertanggung jawab sesuai dengan prinsip
tanggung jawab individu.
Konsep tanggung
jawab individu (orang perorangan) ini juga tercantum di dalam Pasal 6 Ayat (3)
Statuta ICTR Tahun 1994 yang berjudul "tanggung jawab pidana individu (individual criminal responsibility)",
dan di dalam Pasal 7 ayat (3) serta Pasal 25 Statuta Roma mengenai Mahkamah
Pidana Internasional (Rome Statute of The
International Criminal Court) tahun
1998. Pasal 25 Statuta Roma 1998 ini menyatakan bahwa: jurisdiksi International Criminal Court (Mahkamah
Pidana Internasional) adalah orang-perorangan (natural-persons). Seorang tersangka dalam yurisdiksi Pengadilan,
bertanggung jawab secara individual dan dapat dikenai hukuman sesuai ketentuan
pidana dalam Statuta Roma.
Seseorang dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana dan dapat dijatuhi hukuman atas suatu kejahalan
dalam yuridiksi International Criminal
Court (ICC) apabila orang tersebut: Melakukan suatu kejahalan, baik sebagai
seorang pribadi, bersama orang lain atau lewat seorang lain tanpa memandang
apakah orang itu bertanggung jawab secara pidana atau tidak. Memerintahkan,
mengusahakan, atau menyebabkan dilakukannya kejahalan semacam itu dalam
kenyataan memang terjadi atau percobaan. Untuk mempermudah dilakukannya kejahalan
tersebut, membantu, bersekongkol atau kalau tidak membantu dilakukannya atau
percobaan untuk melakukannya termasuk menyediakan sarana untuk melakukannya.
Dengan cara
lain, memudahkan atas dilakukannya atau percobaan dilakukannya tersebut oleh
sekelompok orang yang bertindak dengan suatu tujuan bersama bantuan itu, harus
bersifat sengaja dan harus dilakukan dengan tujuan untuk melanjutkan tindak
pidana atau tujuan pidana kelompok itu, dimana kegiatan atau tujuan tersebut
mencakup dilakukannya suatu kejahalan dalam yurisdiksi Pengadilan; Dilakukan
dengan mengetahui maksud dari kelompok itu untuk melakukan kejahalan.
Berkenaan
dengan kejahalan genosida secara langsung atau tidak langsung menghasut orang
lain untuk melakukan genosida. Berusaha melakukan kejahalan semacam itu dengan
langkah awal yang meyakinkan, namun kejahalan itu tidak terjadi karena
keadaan-keadaan yang tidak tergantung pada maksud orang tersebut, tetapi
seseorang yang membatalkan perbuatan kejahalan tidak dikenai pidana atas
percobaan melakukan kejahalan seperti halnya juga bila orang tersebut secara
sukarela membatalkan perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana individu ini tidak
berpengaruh terhadap tanggung jawab negara berdasarkan hukum internasional.
(Pasal 25 Statute Roma 1998).
0 komentar:
Posting Komentar