Masih ingat Perang Makassar? Tidak lama memang, hanya 10 tahun (1660-1670). Meski terbilang singkat, namun peristiwa konflik tersebut pada masa itu dianggap sebagai perang terbesar di Asia Tenggara. Perang Makassar tidak banyak dimunculkan implikasi kemanusiaannya dalam tulisan para ahli, padahal untuk studi hukum internasional Perang Makassar termasuk yang sangat penting.
‘’Skeptisisme sesungguhnya muncul mengapa tulisan para ahli, khususnya ahli-ahli Belanda tidak mengungkapkan hal-hal ini. APakah sengaja disembunyikan untuk suatu justifikasi menyesatkan bahwa lawan Belanda dalam Perang Makassar bukan Negara yang beradab dan punya pemerintahan yang mendapatkan pengakuan internasional, melainkan perompak dan bajak laut (piracy)?,’’ sebut Prof.Dr.Syamsuddin Muhammad (SM) Noor dalam orasi penerimaan jabatan Guru Besar Hukum Internasional di Unhas, 2 November 2010.
Dalam orasi bertajuk PERANG MAKASSAR (Studi Modern Awal Kebiasaan dalam Hukum Perang), pria yang akrsb disapa SM Noor itu mengatakan, menangkal justifikasi itu tidak bisa dengan pemikiran temperamen yang sempit, tetapi harus dibongkar melalui penelitian-penelitian ilmiah berargumentasi hukum kenegaraan dan hokum internasional yang kuat. Apakah kerajaan Gowa memang merupakan kerajaan perompak, kerajaan bajak laut seperti yang dituding oleh Kompeni VOC dalam banyak tulisan? Apakah Kompeni VOC satu-satunya Negara yang beradab dengan tradisi Kisten-Protestan penuh di India Timur pada abad XVII.
‘’’Apakah Kerajaan Gowa yang dianggap bajak laut pembunuh dengan tradisi agama Islam suku Makassar biadab, tanpa peradaban, tanpa etika kenegaraan dan sopan santun dan tatakrama dalam perang?,’’ tanya SM Noor dalam Rapat Senat Terbuka Luar Biasa Unhas yang dipimpin Prof.Dr.dr.Idrus A Paturusi.
Perang Makassar (Makassar War) eksistensinya diakui oleh para sarjana (Andaya, Reid, Mattulada, Staffel, Zainal Abidin Farid, Valentijn, Pelras, Noorduyn, Edward Polinggomang, Kern, Mangemba, Patunru, Sagimun MD). Namun, agak sayang sedikit sekali terungkapkan soal-soal hukum tentang Perang Makassar. Padahal, melakukan studi tentang perang tidak bisa lepas kaitannya dengan implikasi-implikasi humaniter. Sukar melakukan rekonstruksi sejarah hukum (khususnya hukum internasional) dengan data-data yang sedikit. Padahal untuk melakukan studi tentang hukum perang diperlukan materi dan kasus-kasus sejarah secara umum yang jelas.
SM Noor memberikan contoh, beberapa kasus yang ditulis secara sambil lalu oleh para sarjana; kasus pembantaian (holocaust) di Pulau Banda, kasus pembantaian tawanan (trial sacrifice) di Pulau Luwito, Selatn Buton, kasus pembumihangusan di Benteng Somba Opu (1669), Kasus Pembumihangusan Benteng Tosora (1680). Kasus-kasus ini ditulis dalam berbagai referensi tetapi cenderung dilakukan hanya sambil lalu serta tidak sistematis dan komprehensif. Begitu pula tentang data-data kuantitatif yang saling berbeda satu sama lain. Data korban pembantaian tawanan di Pulau Liwuto (sekarang Pulau Makassar), sebuah pulau yang terletak kurang lebih satu mil di luar kota Bau-Bau, saling berbeda antara Mattulada dengan Andaya. Mattulada (Menelusuri Jejak Sejarah Kebudayaan Sulawesi Selatan) mematok, jumlah korban pembantaian di pulai kecil itu sekitar 9.000 orang. Sedangkan Andaya (The Herritage of Arung Palakka) menulis angka 5.000 orang.
Dosen Fakultas Hukum Unhas ini juga mengatakan, sehubungan dengan hal tersebut, beberapa sumber pada tingkat observasi ditemukan beberapa tempat yang memiliki nana sama yaitu, kanre apia (Makassar), atau kanre api (Bugis), atau kande api (Mandar) merupakan nama yang berhubungan dengan implikasi hukum perang Perang Makassar. Kanre apia yang terdapat di Desa Lembanna Kecamatan Tinggimoncong Kabupaten Gowa memiliki karakter peristiwa yang sama dengan kande api di Kabupaten Majene serta kanre api di Kabupaten Maros.
Kanre api artinya pembakaran kampung atau tempat atau logistic merupakan tindakan pembumihangusan yang dilakukan oleh pasukan Arung Palakka dalam rangka blokade atau meruntuhkan mental tentara Gowa agar tidak lagi melakukan perlawanan dengan pembakaran hidup-hidup orang masih loyal terhadap musuh merupakan hukum alam yang berlaku dalam perang.
Selain tradisi kanrea api (pembumihangusan), maka terdapat tradisi perang lain dalam peperangan klasik di abad XVII yaitu, tradisi pemenggalan kepala bagi pemimpin tentara (lasykar). Tradisi ini dikenal selama berlangsungnya Perang Makassar sebagai tunibatta (Makassar) todipolong (Mandar), todigerek (Bugis). Banyak pemimpin perang kedua belah pihak mengalami eksekusi seperti ini dan hal ini tampaknya sudah menjadi hukum kebiasaan dalam perang. Sama dengan tradisi kanre api dalam tradisi tunibatta merupakan salah satu bentuk untukmeruntuhkan moral tentara yang dipimpinnya.
‘’Sesungguhnya tradisi kanre apia dan tunibatta pada abad XVII sudah berlaku sebagai hukum kebiasaan internasional. Tradisi hukum perang klasik seperti ini berlaku universal, tidak saja terjadi pada Perang Makassar,’’ sebut SM Noor.
Dalam rangkaian peperangan pada masa Imperium Roma (Roma Empire) tradisi hukum perang ini telah terjadi. Hal ini agaknya sudah menjadi legalitas umum dalam rangkaian peperangan di masa Imperium Roma. Pernyataan kekalahan dalam perang senantiasa disertai dengan tindakan perlambang kekuasaan bagi pemenang perang. Apakah dengan cara pembakaran kota atau wilayah yang dikalahkan dalam peperangan ataukah dengan cara memenggal kepala panglima perang untuk diserahkan kepada Kaisar.
Dari segi hukum internasional setidak-tidaknya ada dua hal yang membawa pengaruh besar terhadap Perang Makassar (1660-1670), yaitu pengaruh Perjanjian Westphalia 1648 dan kedua adalah pengaruh dari perkembangan doktrin Hugo Grotius di Eropa. Dua peristiwa ini membawa pengaruh atas bangsa-bangsa Eropa pada abad pertengahan.
Perjanjian Westphalia mengkahiri Perang Tiga Puluh Tahun yang sudah berlangsung di Eropa dari tahun 1618 hingga 1648 yang merupakan perang perseteruan agama Katolik dan Protestan. Hampir semua semua Negara Eropa terlibat dalam perang tersebut.
Isi perjanjian ini kemudian berpengaruh hingga ke koloni Eropa di Timur, misalnya satu perjanjian di Haiderabat, India, dibagi menjadi dua bagian, India Barat (West India) dan India Timur (East India).
0 komentar:
Posting Komentar